"Om! Matanya kaya Acha, ya!" Menatap mata kecil yang terlelap di pangkuan Mamanya.
"Hehehe, iya, liat lagi tuh! Bibirnya persis sama, Devid!" jelas om Yogi terkikik.
"Anak kita itu, berpaduan anak tetangga yang suka banget ngobrol sama Ayahnya," ucap Nia dari dalam rumah membawa lap tangan.
"Tante bisa aja! Tapi benar, ya! Mirip kita, Dev!" Sumringah Acha greget menatap bayi mungil itu.
Tiba-tiba Acha memeluk Devid erat, semua mata tertuju menatap mereka dan gelak tawa terciptalah.
"Lebai banget sih, lo!" ucap Devid masih menjaga ekspresinya.
"Mirip kita, Dev! Gak nyangka banget!!"
"Namanya mau apa, Om?" tanya Devid mengalihkan pembicaraan dengan Acha.
"Emm, kayanya perpaduan nama kalian, deh."
"What?!" kejut Devid.
"Bagus, Om! Biar si kecil imutz ini tau kalo aku tetangganya!" cengenges Acha masih mengelus lembut pipi mungilnya.
"Gimana kalo, Decha Yogini?" tanya Nia memberi saran.
"Pas banget, Istriku! Sipp itu yang akan tertera di kartu keluarga!" setujunya.
"Ihh baper deh! Jadinya kan pengen punya anak, hehehe," celetuk Acha tanpa malu.
"Hahaha!" Tiga keluarga itu tertawa lepas karena kepolosan Acha, sedangkan Devid yang dari tadi diam kini pipinya merah merona.
"Kamu buat aja sama Devid, Cha!" gurau Yogi terkikik.
"Bisa?"
"Udah-udah kalian mau masuk SMA, nanti juga tau! Jika sudah menikah itu!" sela Dinda tertawa.
"Dev, juga tau."
"Aishh, jangan atuh, Dev!" balas Sinta.
"Enggak sekarang dong! Entar sama calon istri," jelasnya melirik Acha yang tak bosan menatap wajah mungil nan bersih.
"Hahaha, itu tau!"
Di sore yang cerah itu, mereka rayakan dengan memanggang ayam dan makan-makan. Meski Sinta dan Dinda tanpa suaminya yang masih sibuk dengan pekerjaan di luar sana, tetapi mereka tetap bahagia.
"Kapan party, Cha?" tanya Nia di samping yang sedang memotong kentang.
"Minggu depan, Tan."
"Wihh jadi anak SMA dong, masuk ke mana?"
"Yang deket aja, biar bisa nebeng sama, Dev."
"Kamu ini, bisa aja!"
"Dev dengar, gak b***k kaya, Changcutters!" ucap Devid menghampiri mereka
"Kamu udah tau juga, Dev!"
"Yaelah ...!"
"Untung tante gak kepikiran sama panggilan kamu, Cha, Hahaha!"
"Itu Devid yang buat sendiri, Tan! Jahat tuh orang."
"Bodoamat." Devid kembali duduk dan memainkan gitarnya bersama mamanya dan mama Acha.
"Dia emang nyebelin, Tan, dari lahir kali."
"Tapi kamu sayang?" tanya Nia cengengesan.
"Gak tau!"
"Kamu ini, yuk! Udah mateng nih." Sembari membawa nampan yang berisi kentang goreng.
"Let's go ...."
Di bawah gemerlap langit malam, senandung nyanyian menemani kebahagiaan. Si kecil Decha yang terlelap di kamar, telah hadir menjadi anggota baru di kompleks itu, senyumannya terukir mungil menandakan ia bahagia terlahir.
***
"Tidur trosss ...." Suara bass dari Devid membuat Acha yang sedang terlelap bangun dengan sebal.
"Ganggu mulu kaleng rombeng!" jerit Acha masih dengan mata tertutup.
"Bukannya mau beli baju kebaya, hah?!"
"Masih minggu depan juga partynya, Devid!"
"Yang penting udah beli, mau gak kebagean tuh di butik yang lo sebutin kemaren malam?" tanya David seraya menyusuri foto polaroid dirinya dan Acha terpajang dengan cantik.
"Bodo!" gerutu Acha memilih kembali menutup wajahnya dengan selimut tebal.
"Changcuters! Bangun lu kaya kebo!!"
"Gua masih ngantuk!"
Devid dengan gemas menarik selimutnya sampai terlepas. "Cepet kalo kagak mau, gua mau main, nih!"
Acha menatapnya sebal sembari menuruni tempat tidurnya menuju kamar mandi.
Devid hanya bisa cekikikan menatap Acha yang sejak kecil selalu saja malas bangun tidur, sedangkan dia yang sangat menjaga kualitas tubuh dan kekuatannya selalu memilih olahraga ringan.
"Sana keluar!" usir Acha masih dengan balutan handuk tebalnya.
"Gak bakal ngintip yang tepos juga kali, sans," balas Devid fokus dengan layar ponselnya.
"Anjir! Pergi, Devid, gua udah gede lagi bukan anak SD yang suka mandi bareng, pake baju bareng ama, lo!"
"Tepos juga." Matanya kini menatap langsung Acha yang dari tadi berdiri di ambang pintu kamar mandi hanya memakai handuk.
"Pergi, Devid!!" teriak Acha karena pandangan Devid seakan menilai tubuhnya.
"Huftt .... Gua tunggu di luar!"
Secepat kilat Acha menutup pintu kamarnya keras dan menguncinya. "Kaleng rombeng!"
Selesai acara ritualnya Acha menghampiri Devid yang sudah siap dengan motor asing, Acha mengerutkan keningnya karena tak biasanya Devid mengajaknya menggunakan kendaraan itu selain memakai sepeda atau taksi.
"Ngigo ya, lo? Emang bisa?" ledek Acha.
Devid menatapnya garang. "Emang elo! Kerjaannya tidur, kagak tau apa setiap subuh gua sama om Yogi latihan!" jelasnya sembari memakaikan helmnya yang mengkilat.
Acha memicingkan sebelah matanya ragu. "Naik taksi aja, Dev, curiga lo belum mahir!"
Sekali lagi Devid menatap sahabatnya itu yang meragukan keahliannya. "Naik! Udah paling ganteng plus keren, gini-gini gua juga pinter, Cha. Gampang ngafalin nih benda!" Menepuk jok belakangnya bangga.
"Yaudah, lah, daripada naik taksi gua bayar!"
"Makanya, let's go ...."
Acha memakai helm yang sudah disediakan Devid. Suara mesin motor menggema melaju santai hingga menjejak jalan beraspal suaranya tak terdengar lagi di halaman komplek itu.
***
Sesampainya di tujuan dengan gemetar Acha turun perlahan dari motor Devid.
"Sumpah, lo bawa motor kaya ngajak mati bareng, nih!" sebal Acha masih dengan napas tak beraturan.
Devid membalasnya dengan cekikikan. "Gini nih, ngajak yang pertama kali naik motor, nora tau!"
Acha mendengus sebal. "Bomat! Yang penting udah tau naik pesawat!"
Mereka pun berjalan beriringan memasuki butik yang dari luarnya saja sudah terlihat mempesona dan glamor.
Pintu bergeser otomatis menampilkan beberapa rancangan gaun pengantin dan kebaya cantik, membuat mata Acha tak hentinya mengagumi ciptaan di depannya.
Devid yang merasa pandangan Acha tak pernah berkedip saat memasuki butik itu, satu cubitan kecil di lengan Acha membuatnya terkejut dan mendengus.
"Inilah novelis paling kampungan, masuk butik melongonya kayak dihipnotis, Uya Kuya!"
"Ehh! Lo gak tau cewek ya, ini tuh glamor bin cakep, Devid!"
"Tau gua juga, tapi biasa aja kali tuh muka!"
"Elo—"
"Permisi, ada yang bisa saya bantu?" Potong seorang pramuniaga cantik menghampiri mereka.
"Ini nih, Mba, teman saya mau kebaya buat party SMP," jelas Devid.
"Ohh boleh, mari ke sebelah sini," ucapnya mempersilakan menuju arah kanan.
Mata Acha kini tak lepas dari gaun-gaun yang khusus body seumuran dengannya.
"Dev! Ini butik apa istana baju, sih?" celetuk Acha tak merasa malu.
Devid menelan ludahnya kasar. "Lo bisa gak, sih? Biasa aja liatnya!" bisik Devid.
Acha masih saja mengagumi semua yang nampak di sana nyata. "Mba, saya mau yang biasa aja deh, gak kedodoran gitu biar bisa lari, hahaha!" jelas Acha membuat sang pramuniaga terkikik.
"Ada, mau yang seperti apa? Itu ada di belakang, ayo!"
Dari belakang, Devid hanya melihat-lihat saja tingkah Acha yang kelewatan seperti anak-anak, karena ia sudah terbiasa memasuki toko busana hanya untuk memberikan kejutan pacar kecilnya jadi tak sangat terkejut dengan semua yang ada di sana.
Sejak SD Devid adalah playboy kecil dan manis. Semua wanita mana pun akan selalu melihatnya mendamba menjadi kekasihnya, tetapi dibalik seringnya berganti pacar ada rahasia sampai Acha sahabatnya tak tahu isinya.
"Bagus gak?!" teriak Acha membuat Devid tersadar dari lamunannya dan menatap balutan kebaya berwarna hijau tua dipakai oleh Acha.
"Keren, cocok buat jas gua yang item," balasnya mengangguk.
"Benar, Dek, warnanya selalu serasi dengan jas hitam," sela pramuniaga yang melayani mereka.
"Gitu ya, Mba? Yaudah, aku mau pake sanggul juga!"
"Ada di depan, mari."