Sudah tidak terhitung lagi berapa kali Cleo mencubit dirinya sendiri. Tidak peduli jika kedua lengannya sudah memerah dan kemungkinan akan jadi membiru besok, ia tetap terus mencubiti lengannya itu. Berharap jika ia mencubit dirinya sampai sangat sakit, ia akan terbangun dari mimpi buruk yang baru saja terjadi.
Arion, matanya yang berkilat keemasan, penjelasan Binar tentang werewolf, mate, dan apa lah itu, Cleo harap semuanya hanya mimpi buruk.
Tetapi, sakit pada cubitannya adalah bukti besar bahwa semuanya nyata.
"Gila...gila banget..." gumam Cleo pada diri sendiri.
Sekarang ia masih berada di kamar tadi. Setelah Binar memberikan penjelasan skak mat pada Cleo dengan mengatakan bahwa dirinya dan Arion adalah mate, alias entah bagaimana Cleo merupakan seseorang yang ditakdirkan untuk jadi pasangannya Arion, mereka semua meninggalkan Cleo sendiri. Katanya, supaya Cleo bisa menenangkan diri.
Tapi, mau sendiri atau ada mereka, Cleo mana bisa merasa tenang lagi! Ditinggal sendiri justru membuatnya semakin panik.
Di atas tempat tidur, Cleo duduk bersandar sembari memeluk lutut. Selain mencubiti diri sendiri, ia juga tidak bisa berhenti menggigiti kuku. Cleo sudah tidak peduli lagi jika kuku-kukunya yang dipoles nail art itu akan gompel sana-sini karena digigit. Ada hal yang lebih penting untuk dikhawatirkan daripada itu.
Berbagai pertanyaan pun muncul di kepala Cleo.
Tapi pertanyaan paling besar adalah, MASA IYA DIA BERJODOH DENGAN WEREWOLF?! MANUSIA SERIGALA?!
"Apa kata Mama kalau tau jodoh anaknya bukan manusia..." erang Cleo frustasi sambil mengacak-acak rambut sendiri.
Ya, memang sih ada yang lebih penting lagi untuk dikhawatirkan, terutama soal keselamatannya. Baru begini saja, Cleo sudah diculik tiba-tiba, bagaimana nanti, kan? Tapi masalah berjodoh dengan seseorang yang bukan manusia juga bagai sebuah kutukan bagi Cleo. Memang Arion Valdi tampan di atas rata-rata, berwibawa, kaya raya, dan bisa dibilang masuk kriteria menantu idaman para mertua. Namun, mau sebagus apa spesifikasi Arion sebagai menantu, tetap saja pria itu bukan manusia. Dan itu jelas masalah besar.
Cleo cuma mau kehidupan yang normal. Bekerja hingga mapan, bertemu dengan pria baik-baik yang sesuai kriterianya, lalu menikah dan punya anak yang lucu-lucu. Dengan merantau ke ibukota, Cleo mau mulai mengejar mimpinya itu.
Tapi, kenapa malah jadi sekacau ini? Baru juga sebentar memulai, dan mimpi Cleo sudah harus patah karena ia dapat jodoh yang jauh dari kata normal.
"Aku dosa apa sih?" Cleo hampir menangis.
Jika sebelumnya ia masih bisa cukup merasa tenang saat ada Binar dan yang lain, maka sekarang rasa tenang itu menguap begitu saja, digantikan oleh kepanikan dan juga ketakutan.
Cleo mau pulang.
Bukan cuma pulang ke kos, tapi pulang ke rumahnya. Ke orangtuanya.
Hidup di rantauan ternyata bisa jadi sekeras ini.
Ketika tiba-tiba saja pintu kamar ini menjeblak terbuka, Cleo tersentak. Ia spontan menegakkan tubuh dan memandang ke arah pintu, hanya untuk mendapati Arion yang baru saja masuk.
Cleo menegang di tempat. Jantungnya pun jadi berdetak tidak karuan, terlebih ketika Arion menutup pintu dengan sedikit membantingnya, lalu berjalan mendekati Cleo yang kini sudah semakin merapatkan punggungnya pada headboard tempat tidur.
Penampilan Arion masih seperti tadi, mengenakan setelan kantor. Bedanya, Arion sudah tidak lagi mengenakan jasnya, menyisakan dirinya hanya memakai kemeja putih yang lengannya digulung sampai siku, memperlihatkan lengannya yang kekar.
Cleo memang takut dengan kehadiran Arion, namun di sisi lain pria itu seolah memiliki magnet yang membuat pandangan Cleo tidak bisa untuk tidak tertuju padanya. Cleo pun jadi tidak tahu, apakah yang membuat jantungnya jumpalitan tidak karuan adalah tatapan tajam dan aura menyeramkan Arion, atau justru wajah tampannya.
Arion menarik sebuah kursi yang ada di ruangan itu, kemudian menempatkannya persis di sebelah tempat tidur, di dekat Cleo. Pria itu duduk di sana, bersidekap, dan terus memandang Cleo tajam. Arion mendengus kasar ketika sepasang matanya kembali berkilat keemasan ketika memandang Cleo.
Sementara Cleo rasanya jadi sulit bernapas karena berada sedekat ini dengan Arion, dan sekarang mereka hanya berdua saja.
"Saya rasa sudah cukup bagi kamu untuk menenangkan diri, iya kan?"
Sebenernya belum, batin Cleo. Namun, kepalanya justru terangguk tak berdaya.
"Bagus," balas Arion dingin. "Kita perlu bicara."
"Hng...oke." Cleo mengangguk lagi, dan kali ini ia memilih untuk melengos. Merasa tidak sanggup sendiri jika harus terus-terusan memandangi sepasang mata Arion yang tajam.
Namun, pria itu justru berujar, "Bukankah seharusnya kamu menatap mata orang yang mengajak kamu bicara? Saya rasa, kamu berpendidikan dan mengerti soal basic attitude seperti itu.
Cleo meringis. Pressure yang dirasakannya saat ini betul-betul jadi berlipat ganda. Selain bicara dengan Arion yang bukan manusia, Cleo juga perlu ingat bahwa kini ia juga sedang berhadapan dengan Arion yang merupakan atasannya di kantor. Sang Bos Besar yang katanya ditakuti karena perfeksionis dan bermulut tajam.
"Maaf...Pak Arion," gumam Cleo setelah dirinya memberanikan diri untuk mengangkat kepala dan kembali menatap Arion.
"Tidak perlu memanggil saya dengan sebutan itu, karena saya bukan mau mengajak kamu bicara soal urusan kantor."
"Maaf..."
Arion berdecak. "Saya nggak akan basa-basi dan akan langsung kasih tau kamu kalau sebenarnya, saya sama sekali nggak suka dengan kenyataan bahwa kamu adalah mate saya."
Cleo diam. Ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana atas pernyataan itu. Sakit hati kah? Kecewa? Atau justru senang karena ternyata Arion sama tidak inginnya mereka jadi mate?
"Kamu sudah dengar semua penjelasan Binar tadi, kan? Intinya, punya mate hanya akan menjadi beban dan masalah bagi seorang werewolf. Karena itu, selama ini saya nggak pernah mau bertemu dengan mate saya sendiri. Sialnya, kamu malah muncul."
Salah aku gitu??? Cleo bertanya dalam hati. Jujur saja, dia sedikit kesal karena Arion seolah menyalahkannya. Padahal, mana Cleo tahu bahwa ia akan bernasib jadi mate-nya Arion ketika mendapat pekerjaan di kantornya.
"Kehadiran kamu itu bagai pedang bermata dua bagi saya. Di satu sisi dengan adanya kamu, saya bisa jadi lebih kuat. Tapi di sisi lain, kamu juga jadi kelemahan saya karena kita jadi terhubung. Apa yang kamu rasakan, saya juga bisa ikut merasakannya. Tapi karena kamu manusia, apa yang saya rasakan, nggak akan memberi pengaruh apapun ke kamu. Benar-benar nggak adil, kan?"
"Terus, saya harus apa?"
Arion tertawa sinis. "Nggak ada yang bisa kamu lakukan karena semuanya sudah terlanjur terjadi. Mau tidak mau, suka tidak suka, kita sudah ter-imprint. Saya sudah terjebak dengan kamu dan selamanya akan begitu. Selamanya."
Cleo menelan ludah. Mendengar kata 'selamanya' terucap dari bibir Arion membuatnya jadi merinding sendiri dan kembali ditampar oleh kenyataan bahwa jodohnya adalah werewolf. Jodohnya bukan manusia.
Takdir telah menjebak mereka untuk bersama selamanya.
"Saya benci mengatakan ini, tapi sekarang hidup saya ada di tangan kamu," ujar Arion lagi. Nada suaranya terdengar begitu tidak ramah dan dipenuhi oleh rasa tidak suka. "Ada sesuatu yang menyakiti kamu, saya akan juga akan merasakan sakit. Kamu menjauh dari sisi saya, maka saya akan jadi lemah."
Arion mencondongkan tubuhnya ke depan hingga posisi mereka jadi lebih dekat.
Cleo menahan napas ketika pria itu berujar pelan, "Kalau kamu mati...saya juga akan mati."
Bukan sesuatu yang menyenangkan mengetahui bahwa nyawa seseorang berada di tangannya sekarang. Dan Cleo pun tidak heran jika Arion tidak suka padanya. Kalau ada di posisi Arion dan harus merasakan hidupnya berada di tangan orang lain, Cleo juga pasti akan merasakan hal yang sama.
"Kamu tenang aja, saya bisa jaga diri baik-baik," ujar Cleo. "Saya jarang banget sakit! Bahkan seumur hidup nggak pernah dirawat di rumah sakit. Saya sehat banget! Saya juga nggak suka dengan aktivitas yang berbahaya karena hobi saya rebahan. Jadi, kamu tenang aja. Saya nggak akan bikin kamu susah, sakit, dan semoga aja...saya juga nggak akan mati muda supaya kamu juga nggak akan begitu."
Arion sama sekali tidak terlihat yakin dengan ucapan Cleo. Pria itu terlihat begitu sangsi bahwa Cleo bisa menjaga diri dengan baik. Mungkin, di mata Arion, Cleo terlihat seperti seseorang yang akan mati muda karena ulah sendiri.
"Saya janji, saya akan berusaha untuk menjaga diri dengan baik." Cleo kembali meyakinkan Arion. Ia bahkan membentuk peace sign dengan jarinya. "Saya akan jaga makan, jaga kesehatan, dan nggak akan membahayakan diri saya sendiri juga. Kamu bisa liat sendiri nanti. I swear! But please...let me go. Aku mau pulang ke kos."
Dari ekspresi Arion yang tidak berubah sedikit pun, Cleo bisa menebak bahwa Arion sama sekali tidak terkesan dengan cara Cleo meyakinkannya.
"Nggak ada jaminan untuk itu," balas Arion dingin. Pria itu menyeringai sinis. "Dan nggak ada jaminan kalau kamu nggak akan kabur kalau sampai saya lepaskan kamu tanpa pengawasan. Bahkan, hari ini pun, kamu hampir pulang ke tempat asalmu, kan?"
"Itu karena saya shock dan ketakutan. Tapi saya janji, setelah ini saya nggak akan pernah kabur dan pergi jauh. Saya bakal stay di kota ini, kecuali kalau ada sesuatu yang mengharuskan saya pulang kampung."
"Kamu nggak ngerti juga ya?"
"Nggak ngerti...apa?"
Arion menghembuskan napas kasar dan berujar, "Hidup kamu nggak akan bisa sama lagi setelah ini. Sekarang kamu ada dalam bahaya."
"Kenapa begitu?"
"Karena saya punya banyak musuh yang mau saya mati. Dan kamu...kamu bisa dijadikan senjata bagi mereka untuk mewujudkan itu."
Cleo langsung lemas mendengarnya.
Ini yang seharusnya lebih dia khawatirkan. Sekarang hidupnya berada dalam bahaya karena ia dan Arion sudah ter-imprint.
Seperti yang dikatakan oleh Arion tadi, Cleo bisa dijadikan sasaran empuk bagi siapa pun itu musuh Arion untuk membunuhnya. Dalam artian lain, untuk membunuh Arion, mereka hanya perlu membunuh Cleo. Yang mana artinya lagi, sekarang keselamatan Cleo jadi terancam.
Tanpa sadar, airmata Cleo yang sebelumnya berhasil ia tahan, akhirnya luruh juga dan mengaliri kedua pipinya.
"Jadi...saya harus gimana?" Bisik Cleo.
Untuk yang pertama kalinya setelah mereka berdua saja di ruangan ini, Arion melengos. Memilih untuk tidak melihat Cleo yang kini menangis.
Tanpa melihat Cleo, ia menjawab, "Kamu harus selalu berada di dekat saya supaya saya bisa terus mengawasi kamu, dan memastikan kondisi kamu selalu aman, karena sekarang hidup saya juga ada di tangan kamu."
"Seberapa dekat?" Tanya Cleo lagi.
Arion kembali melirik Cleo. "Sedekat sekarang."
"Setiap hari?"
"Setiap waktu."
"Tapi kan, saya tinggal--"
Belum sempat Cleo melanjutkan ucapannya, Arion sudah terlebih dahulu memotong dengan tegas, "Kamu harus tinggal di sini sekarang."
"Hah?"
"Apa perkataan saya kurang jelas? Mulai sekarang, kamu harus tinggal di sini sama saya, Cleo."
Cleo mematung dan tergugu. Tidak tahu harus melakukan apa dan bereaksi seperti apa.
Yang Cleo tahu, Arion tidak ingin dibantah.