1. Bos Besar
Selama setahun lamanya lulus kuliah, Cleo Jovanka menganggur dan kesulitan mendapat pekerjaan. Sudah tidak terhitung lagi berapa surat lamaran pekerjaan yang Cleo kirimkan, dan berapa perusahaan yang memohon maaf padanya karena tidak bisa menerimanya bekerja di sana.
Menjadi pengangguran dan beban keluarga selama setahun ini tentu saja membuat Cleo cukup stress. Padahal, keluarganya juga tidak terlalu masalah dengan Cleo yang sulit dapat kerja. Bisa dibilang, keluarganya masih berada dalam kategori mampu dan berkecukupan, sehingga itu bukan masalah besar bagi mereka. Selain itu, Cleo juga punya dua kakak yang sudah bekerja dan menikah.
Di saat orang tuanya merasa biasa saja, Cleo juga tidak bisa merasa biasa saja. Melihat kakaknya yang bisa langsung bekerja bahkan tidak sampai sebulan setelah lulus kuliah, lalu memiliki karir yang cemerlang setelahnya, menjadi pressure tersendiri buat Cleo. Dia tidak mau jadi seseorang yang gagal di antara kakak-kakaknya yang sukses. Karena itu, Cleo terus berusaha mencari pekerjaan, bahkan hingga ke ibukota yang jauh dari tempat asalnya.
Dan setelah dua belas bulan lamanya berjuang mencari kerja, akhirnya hari ini Cleo resmi lepas dari status penganggurannya! Cleo berhasil diterima di sebuah perusahaan start-up yang bergerak di bidang market place. Meski perusahaan itu baru berjalan dua tahun dan tidak sebesar perusahaan market place berlogo oranye dan hijau itu, namun namanya sudah cukup dikenal, dan perusahaan tersebut juga menawarkan gaji yang cukup memuaskan bagi Cleo yang seorang fresh graduate ini.
"Iya, Mama...ini aku udah mau berangkat ke kantor." Cleo berbicara dengan ibunya lewat ponsel yang dijepit di antara kepala dan bahunya, sementara kedua tangan Cleo sibuk memasangkan sepatu ke kakinya. "Tadi aku juga udah sarapan kok. Makan roti tawar."
"Memangnya makan roti tawar saja kenyang?" Hardik ibunya di seberang sana. "Makan nasi dong, Nak..."
Cleo tidak bisa menahan senyum mendengar ibunya bicara begitu.
"Mama tenang aja, nanti siang aku pasti makan yang banyak."
Sepatu Cleo selesai dipasang.
"Udah dulu ya, Ma? Aku mau berangkat nih."
"Eh, tunggu dulu." Sang ibu menahannya, tidak ingin Cleo langsung mematikan sambungan telepon. "Kamu nanti pulangnya jam berapa?"
"Jam lima sih harusnya udah pulang."
"Jangan malam-malam ya pulangnya, kalau bisa jangan lewatin tempat yang sepi juga. Kamu kan tau sendiri di Jakarta sana lagi heboh karena banyak ditemuin mayat yang mati mengenaskan dengan badan menciut itu loh."
"Mama jangan nakutin dong!" Protes Cleo. Ia langsung mengusap-usap lengannya yang tiba-tiba merinding. "Udah tau anaknya penakut!"
"Mama bukannya nakutin, tapi khawatir sama kamu. Mama tuh nggak tenang tau ngelepas kamu merantau ke sana, apa lagi setelah dengar kabar-kabar aneh gitu. Makanya, kamu harus jaga diri yang baik. Jangan pulang malam!"
"Iya," sungut Cleo. Lalu, ia cepat-cepat berpamitan dan segera mengakhiri telepon tersebut sebelum ibunya kembali menyebutkan kekhawatiran yang pada akhirnya hanya berujung membuat Cleo ketakutan dan paranoid sendiri.
Sebetulnya, bukan ibunya saja yang merasa khawatir dengan Cleo yang untuk pertama kali dalam hidupnya, harus merantau ke kota yang jauh. Selama ini, Cleo selalu tinggal di bawah ketiak sang ibu. Bahkan, kampusnya kemarin pun berjarak dekat dengan rumah, sehingga ia tidak perlu tinggal di tempat kos.
Mulanya Cleo sempat tidak diizinkan untuk bekerja di kota ini karena belakangan, muncul berita aneh mengenai banyak ditemukannya mayat misterius yang mati dalam keadaan mengenaskan. Cleo pernah melihat foto salah satu mayatnya, dan memang kondisinya benar-benar mengerikan dengan keadaan tubuh yang menciut dan kering seperti sebuah jenglot. Salah satu korbannya adalah seorang selebgram cantik dari kampus negeri terkenal yang bernama Sharon. Mayatnya ditemukan di pinggir danau kampusnya. Dan kasus Sharon tersebut mengawali kasus-kasus lain yang datang setelah itu.
Cleo sendiri merupakan seseorang yang sangat penakut, sehingga ia juga sempat paranoid sendiri karena harus merantau ke tempat yang terdapat banyak kasus kematian aneh itu. Tetapi, ia juga tidak bisa menolak pekerjaan yang baru ia dapat ini, setelah sulitnya mencari kerja selama berbulan-bulan.
Terabas aja lah, pikir Cleo. Kalau memang (amit-amit) dirinya berujung jadi salah satu korban, setidaknya ia akan mati dengan cara terhormat, karena matinya tidak dalam status pengangguran.
***
Hari pertama Cleo bekerja bisa dibilang berjalan dengan lancar dan menyenangkan! Padahal, Cleo sudah sempat gugup dan berpikiran buruk tentang hari pertama kerjanya ini. Seperti lingkungan kantor yang tidak menyenangkan, atau rekan kerja yang tidak ramah. Nyatanya, semua pikiran buruk Cleo itu tidak terbukti sama sekali!
Kantornya benar-benar sangat nyaman. Setiap divisi memiliki ruangannya masing-masing, dan desain ruangan mereka pun memiliki tema yang berbeda-beda, namun semuanya memiliki kesan fun sehingga para karyawan tidak akan merasa sumpek sama sekali berada di sana. Termasuk ruangan di divisi tempat Cleo yang bernuansa biru muda dengan banyak hiasan artistik di dindingnya, serta pendingin ruangan yang menyala sejuk. Selain itu, di setiap ruangan divisi juga terdapat snack corner yang bisa dinikmati karyawan secara gratis.
Para rekan kerja Cleo juga ramah dan menyenangkan. Awalnya Cleo sempat merasa canggung dan kikuk berinteraksi dengan mereka semua, karena hanya dirinya sendiri yang anak baru di sana. Namun, mereka semua menyambut Cleo dengan hangat, hingga dengan mudah Cleo bisa merasa nyaman dan santai. Alih-alih merasa seperti anak baru, para rekan kerjanya di divisi itu justru membuat Cleo merasa seperti teman lama mereka.
Di jam makan siang, Cleo diajak oleh para rekan kerja barunya itu untuk makan bersama. Mereka makan siang di kafetaria kantor. Menempati meja yang berada dekat dengan pintu masuk kafetaria.
"Ini meja paling strategis, soalnya paling dekat dengan air minum gratis!" Tamara, salah satu rekan kerja Cleo bicara begitu ketika mereka sudah menempati meja tersebut dengan nampan berisi makanan pilihan masing-masing. Perempuan berambut ikal itu menunjuk sebuah dispenser dengan galon yang masih penuh di dekat meja mereka, menunjukkanya pada Cleo. "Jadi, kalau duduk di sini, kita nggak perlu repot misal air minum kita habis. Tinggal panjangin tangan, terus isi deh tuh gelas minuman," tambahnya.
Cleo tertawa. Senang mendapat informasi baru dari Tamara, yang bisa membuatnya jadi hemat uang karena bisa mendapat air minum gratis. Terlebih lagi, dispenser yang ada di kafetaria ini bukan dispenser biasa karena ada fasilitas air hangat dan air esnya.
"Lumayan kan, bisa hemat lima ribu rupiah buat nggak beli air mineral botol." Jihan, salah satu lagi rekan kerja di divisi Cleo ikut menimpali.
"Bagi anak kos kayak aku sih, lima ribu rupiah tuh berharga banget," ujar Cleo.
Raden, yang menjadi satu-satunya lelaki di meja mereka mengacungkan ibu jarinya untuk Cleo. "Setuju banget! Di warung dekat kos gue, lima ribu udah dapat gorengan lima. Lumayan bikin perut kenyang kan tuh."
Yang lain tertawa saja.
Di divisi Cleo ini isinya ada empat orang staff termasuk Cleo, lalu ada satu ketua divisinya. Hanya sang ketua divisi saja yang tidak bergabung dengan makan siang mereka kali ini, karena katanya ingin makan siang di luar bersama dengan kencannya dari aplikasi online dating. Ketua divisi mereka itu namanya Eldrian, tapi biasa dipanggil Mas El karena memang paling tua di antara mereka semua. Cleo pun sudah bertemu dengan Mas El tadi, yang ternyata juga sama baik dan ramahnya dengan semua orang di divisi itu. Mas El bahkan menyuruh Cleo untuk santai saja dan tidak perlu sungkan kepada mereka semua, walaupun Cleo adalah anak baru.
Sejenak mereka diam karena sama-sama fokus dengan makanan masing-masing. Menuruti perkataan ibunya tadi pagi, siang ini Cleo makan nasi dengan lauk yang lengkap dari kafetaria ini.
Baru saja Cleo makan dua suap ketika tiba-tiba saja para rekan kerjanya menegakkan tubuh dan duduk dengan tegang karena apa yang mereka lihat dari arah pintu masuk kafetaria.
"Ngapain si Bos Besar makan di sini dah," gumam Raden, yang masih bisa didengar jelas oleh Cleo.
Karena posisi duduk Cleo yang membelakangi pintu masuk kafetaria, ia harus memutar tubuh untuk ikut melihat siapa yang mereka lihat. Dan ternyata, yang baru masuk ke dalam kafetaria ini adalah dua orang pria dengan setelan jas rapi.
Meski tidak tahu mereka siapa, namun dari penampilan mereka yang jauh lebih formal dibanding karyawan lain di sini, mudah bagi Cleo untuk menebak bahwa dua pria itu merupakan orang penting di perusahaan ini. Terlebih lagi, barusan Raden menyebut salah satu dari mereka--entah yang mana--dengan julukan Bos Besar.
Dari dua orang pria itu, yang pertama kali menarik perhatian Cleo adalah pria yang bertubuh sedikit lebih tinggi. Cleo rasa, tinggi pria itu mungkin lebih dari seratus delapan puluh centimeter. Postur tubuhnya tegap dengan bahunya yang lebar dan nampak kekar. Pria itu berkulit cokelat muda dengan rambut hitam legam yang dipotong rapi. Begitu melihat ke wajahnya, Cleo harus mengakui bahwa pria itu adalah pria paling tampan yang menurut Cleo pernah dilihatnya. Pria yang sangat sesuai dengan kriteria idaman Cleo selama ini. Garis wajah yang tegas, hidung mancung, sepasang alis tebal, sorot mata yang tajam, dan bibir yang sedikit melengkung ke bawah hingga memberikan kesan dingin pada pria itu.
Cleo bahkan lupa mengerjap karena memerhatikannya. Ia tersentak kembali ke kesadarannya ketika Tamara menepuk meja pelan.
Jihan terkikik geli sembari menuding pada Cleo. "Aduh, terpesona dia."
Raden ikut tertawa.
Sementara Tamara geleng-geleng kepala, lalu membuat tanda silang dengan kedua tangannya.
"Lo nggak boleh terpesona sama Bos Besar!" Desis Tamara. Bicaranya pelan-pelan supaya tidak didengar oleh orang lain di kafetaria ini.
"Bos Besar?" Cleo memandang Tamara bingung, lalu melirik sekilas pada pria tadi yang kini sudah melintasi mereka dan pergi menuju counter pemesanan makanan bersama pria yang berjalan dengannya.
"Yang barusan lewat tadi itu Bos Besar, pimpinan perusahaan ini," jelas Raden. "Dan yah, seperti kebanyakan karyawan baru, lo langsung terpesona dengan kegantengan si Bos."
Cleo bisa merasakan wajahnya memanas karena merasa tertangkap basah. Ia pun hanya bisa menggigit bibir bawahnya dan meringis salah tingkah.
"Santai, Cleo, itu normal. Semua orang juga tau kalau Bos Besar tuh ganteng banget," ujar jihan sambil masih terkikik geli. "Tapi benar apa kata Tamara, sebaiknya jangan sampai terpesona."
"Memangnya kenapa? Udah punya pacar kah?" Tanya Cleo dengan polosnya.
Raden terlihat bersusah payah menahan tawa, dan Jihan tidak repot-repot menutupi tawanya sama sekali.
"Udah. Makanya lo jangan sampai terpesona apa lagi naksir, soalnya percuma!" Tamara lah yang menjawab pertanyaan Cleo. Perempuan berambut ikal itu kemudian mencondongkan tubuh pada Cleo dan berbisik, "Pacarnya yang jalan bareng dia tadi."
Cleo membelalakkan mata. "Ma-maksudnya gimana? Kan yang tadi di sebelah Bos Besar itu...cowok?"
Tamara menyeringai. "Pacarnya memang cowok," ujarnya pahit. "Mereka...gay."
Di saat ketiga teman barunya ini tertawa puas, Cleo justru terbengong-bengong karena tidak menyangka atas informasi yang baru saja didapatnya itu. Masa sih? Pria setampan tadi ternyata gay? Yah, walaupun belum tentu juga dia mau sama Cleo kalau dia straight, tapi tetap saja sangat disayangkan karena mau bagaimana pun, pria itu tidak akan pernah memberinya tatapan tertarik sama sekali, tidak peduli mau ia secantik apa. Karena pria itu gay dan pria itu juga menyukai pria tampan sepertinya. Miris sekali.
"Aduhhh, lo kelihatan patah hati banget, gue ngakak!" Seru Raden sembari memegangi perut karena terpingkal-pingkal. "Beneran udah naksir yak?"
Cleo mendengus saja.
Tamara pun menepuk-nepuk bahu Cleo prihatin. "Lo cuma terpesona sama tampangnya aja. Percaya deh, kalau lo udah tau aslinya gimana, bukannya terpesona yang ada malah mau nabok! Kalau kata Mas El tiap habis rapat sama Bos Besar sih, doi tuh titisan iblis karena hobinya marah-marah dan nyusahin mulu!"
Cleo bergumam tidak jelas saja membalas celotehan Tamara, lalu kembali menyibukkan diri dengan makanan di piringnya. Topik obrolan di meja mereka pun sudah berubah, namun sesekali Cleo masih mencari keberadaan sang Bos Besar di kafetaria ini. Ia masih tidak bisa terima dengan fakta bahwa ternyata pria itu gay alias penyuka sesama jenis.
Masa iya sih? Nggak mungkin. Sayang banget...
Pada lirikan pertama, Cleo melihat pria itu sedang memesan makanan, masih bersebelahan dengan pria yang tadi datang bersamanya.
Lirikan kedua, Cleo melihat pria itu sudah menempati salah satu meja kosong di sini dan duduk berhadapan dengan si pria yang kata Tamara adalah kekasihnya si Bos Besar. Mereka makan sambil sesekali mengobrol.
Pada lirikan ketiga, Cleo nyaris memuntahkan makanannya karena melihat si Bos Besar yang super tampan itu, menyuapkan sesendok makanan kepada pacarnya, kemudian mengelap sudut bibir pacarnya itu dengan ibu jari. Mereka berdua tersenyum hangat, seolah ada hati yang terpancar di mata mereka lewat senyuman itu.
Seketika saja, Cleo jadi kehilangan nafsu makannya.