11. Godaan Tengah Malam

1141 Kata
Cantika memutuskan mengakhiri permainan ranjangnya dengan Batara bahkan saat laki-laki itu belum mencapai klimaks. “Sepertinya kamu kelelahan,” ujar Batara maklum. “Iya, maafkan aku karena nggak bisa membuatmu puas malam ini.” “Nggak usah terlalu dipikirkan soal itu. Lebih baik kamu sekarang tidur saja.” Sedetik kemudian Cantika sudah tertidur lelap sembari memeluk tubuh Batara. Saat ini jam di dinding kamar menunjukkan waktu satu jam menjelang tengah malam. Batara mengalami kesulitan tidur dan memutuskan bangun. Dia bangkit dari ranjang lalu mengenakan celana piyama dan bertelanjang d**a. Dia keluar kamar sembari membawa sebotol wine dan sebuah gelas wine kosong. Niatnya ingin mencari udara segar di dekat kolam luar. Namun pandangannya tertarik pada cahaya yang berpendar dari depan kamar putranya. Batara penasaran lalu mencari tahu cahaya apa yang menarik perhatiannya itu. Setelah semakin dekat akhirnya Batara tahu kalau cahaya tadi berasal dari ponsel Aruna yang tengah menayangkan sebuah film dewasa. Dalam film itu sedang berputar adegan berciuman antar lawan pemain. Penampilan Aruna saat ini membuat Batara kesulitan menelan salivanya. Gadis belia itu hanya mengenakan terusan putih yang belum pernah dilihatnya selama Aruna bekerja. Selimut yang tadinya menutupi tubuh Aruna memang turun ke pinggang karena lama kelamaan mengenakan selimut Aruna merasa kurang nyaman. Bahan terusan yang dikenakan Aruna memang cukup tipis dan menempel di tubuhnya yang otomatis membuat lekuk tubuh gadis itu tercetak jelas. “Kamu suka film genre apa, Aruna?” tanya Batara basa basi. Suara berat milik Batara cukup membuat Aruna terkejut. Gadis itu menegakkan tubuhnya setelah menyadari kehadiran Batara. “Maaf, Tuan. Apa suara ponsel saya mengganggu tidur, Tuan Batara?” tanya Aruna ketakutan. “Sama sekali tidak. Saya merasa agak gerah di dalam kamar dan sedang mencari angin segar,” jawab Batara sambil menilik penampilan Aruna dari ujung rambut hingga bagian dadanya. “Oh, kirain.” “Kamu tadi belum menjawab pertanyaan saya, Aruna.” “Genre apa saja saya suka. Yang penting ada adegan romantisnya,” jawab Aruna tiba-tiba tersipu oleh kata-katanya sendiri. “Adegan romantis atau adegan hot?” tanya Batara dengan tatapan menggoda. “Tuan Batara bisa aja,” jawab Aruna tertunduk malu. “Ngomong-ngomong kamu pernah punya hubungan spesial dengan laki-laki? Semacam pacaran,” tanya Batara langsung duduk di samping Aruna. “Pernah, Tuan. Tapi cuma pacaran ala-ala anak remaja.” “Apa dia pacar pertamamu?” Aruna mengangguk sembari tersenyum tersipu. “Kenapa Tuan Batara menanyakan hal itu?” tanya Aruna bingung. “Berapa lama?” “Apanya, Tuan?” “Kamu sama laki-laki itu pacaran?” “Oh, dari kelas sembilan sampai pandemi. Kira-kira tiga tahunan.” “Kalian sudah putus atau masih berhubungan?” Aruna semakin bingung dengan arah pembicaraan Batara. Hal yang sedang mereka bicarakan ini terasa terlalu remeh untuk menjadi urusan seorang Batara Permana. “Nggak putus. Tapi dia ninggalin saya untuk selama-lamanya. Dia meninggal dua tahun lalu karena wabah penyakit yang menyerang desa kami.” “Apa kamu masih berduka?” tanya Batara datar. “Sudah ikhlas.” Batara hanya mengangguk pelan. “Saya punya wine terbaik dari Jerman. Kamu mau coba?” tanya Batara sambil menuang wine dari botol ke gelasnya. “Boleh?” tanya Aruna. Batara mengangguk pelan. “Tentu saja,” jawab Batara lalu menyerahkan gelas berisi wine pada Aruna. “Ayo, diminum.” “Tapi saya takut mabuk.” “Kalau kamu menghabiskan semua wine yang di botol ini baru mabuk. Kalau hanya satu sampai dua teguk tidak akan membuatmu mabuk.” Aruna menerima gelas tersebut dengan ragu. Namun ucapan bernada perintah dari Batara tadi membuat keraguannya sirna. Perlahan Aruna mulai meneguk cairan berwarna burgundy itu. Dia begitu menikmati setiap mili wine yang masuk ke tenggorokannya. Terasa manis di lidah dan hangat di tenggorokan. Sambil meneguk wine dari botolnya langsung, lirikan Batara menelusuri kulit leher hingga tulang selangka Aruna yang terbuka. Dirinya sangat penasaran pada sesuatu yang tersembunyi di balik terusan Aruna. “Enak? Mau lagi?” tanya Batara hendak menuang gelas wine milik Aruna yang telah kosong. Aruna menggeleng pelan lalu mengembalikan gelas tersebut pada Batara. Ketika gadis itu hendak mengusap bekas wine di atas bibirnya, ibu jari milik Batara sudah lebih dulu melakukan tugas itu. Batara menjilat ibu jari bekas mengusap bibir Aruna. “Manis,” ucapnya sambil tersenyum menggoda pada Aruna. Tatapan Batara sungguh membuat Aruna jadi salah tingkah. Dia takut melakukan sebuah kesalahan dan dituduh menggoda majikannya. Apalagi kalau sampai hal yang sedang dilakukannya bersama Batara saat ini dipergoki oleh Cantika. Namun hal itu tidak dialami oleh Batara. Tangan Batara tiba-tiba terulur lalu dengan ujung jari telunjuk menelusuri kulit terbuka Aruna lantas menangkup payudaranya yang tersembunyi di balik bra. Batara sedikit menekan pelan buah dadaa Aruna seolah sedang memegang sesuatu yang sifatnya elastis. Perbuatannya itu membuat Aruna gelisah. Terutama ketika Batara meremas payudaranya. Satu desahan lolos dari bibir Aruna dan senyum tipis penuh kemenangan terlukis di wajah Batara. Bukannya menolak dan melarang Batara melanjutkan perbuatannya, Aruna justru membiarkan dan menikmati. Sorot matanya saat bertatapan dengan tatapan penuh hasrat milik Batara menunjukkan tanpa mendamba ingin disentuh lebih jauh lagi oleh majikannya itu. Ketika tangan Batara menulusup mudah memasuki terusan dengan aksen kerutan karetan di bagian dadanya, Aruna sama sekali tidak menolak. Dia menyukai kelembutan kulit Batara yang bagaikan marshmello. “Buka selimutnya!” perintah Batara yang terdengar seperti sedang merayu di telinga Aruna. Tak banyak berkata Aruna menyibak selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Batara tersenyum penuh arti ketika melihat kulit paha Aruna yang mulus meski tidak seputih kulit Cantika karena bagian bawah terusan Aruna terangkat hingga pinggang. Gairah Batara mulai tumbuh ketika melihat model celana dalam Aruna yang tampak sederhana. Bukan model g-string seperti milik perempuan-perempuan yang pernah berakhir di ranjang dengannya. Ujung jari telunjuk Batara menelusuri perut Aruna. Gadis belia itu kembali dibuatnya gelisah. Gerakan punggung jari Batara terus turun ke bawah menyentuh kulit tubuh Aruna. Tidak ada tekanan sama sekali dalam sentuhan. Gerakannya seringan kapas tapi mampu membuat Aruna bergerak tak menentu menahan geli. Batara lalu menarik tangan Aruna hingga membuat gadis belia itu terduduk. Wajah Aruna tampak bingung. Dalam hati ia bertanya-tanya hal apa lagi yang akan dilakukan oleh Batara setelah ini. Jantungnya berdebar tak menentu. Antara ketakutan kalau tiba-tiba Cantika maupun Jingga melihat perbuatan mereka, dengan sebuah rasa yang Aruna baru tahu kalau rasa itu bernama hasrat. Batara memposisikan tubuhnya menghadap Aruna yang sedang duduk di atas sofa bed. Kejantanannya yang tersembunyi di balik celana piya berada tepat di depan wajah Aruna. Sebenarnya Batara ingin mengarahkan tangan Aruna supaya menyentuh kejantanannya yang telah menegang. Namun Batara tidak seceroboh itu melakukan di tempat ini. Kini dia sedang berusaha keras menahan gairahnya. Terlebih percintaanya dengan Cantika beberapa saat yang lalu tidak mencapai kepuasannya. “Tidurlah, hari sudah malam. Kita harus kembali ke rumah besok pagi-pagi,” ujar Batara lalu memberikan sebuah kecupan di pipi Aruna. “Jangan lupa pakai kembali selimutmu. Di sini semakin malam hawanya semakin dingin,” kata Batara sebelum benar-benar meninggalkan Aruna. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN