"Tidak dok, siapa bilang aku sendiri bahkan ada dokter tampan yang menemani ku di sini dan juga para pasien yang lain banyak yang menemani ku dok." Bu Sri tertawa hambar namun Imam bisa melihat rasa kesendirian dan kesepian wanita itu dari sorot matanya. Tetap saja mereka akan terasa berbeda dengan keberadaan anggota keluarga sendiri yang menemani kita.
Dari sini Imam banyak melihat bagaimana perjuangan dan ketulusan orang-orang yang tengah merawat anggota keluarganya. Belum lagi ia belajar banyak hal tentang karakter orang-orang dan pembelajaran hidup dari mereka yang terkadang suka curhat padanya saat melakukan pemeriksaan.
Imam hanya bisa menjawab dengan senyuman, "ibu nggak ingin pulang?" tanya Imam hati-hati karena ia tahu itu pasti pertanyaan yang sangat sensitif. Sebenarnya kondisi Bu Sri tidak terlalu buruk untuk sekarang dan beliau juga sudah bisa pulang. Para dokter pun selalu melaporkan keadaan beliau yang sudah membaik, namun Bu Sri sengaja mengulur waktunya agar lebih lama di sana. Bahkan dokter yang bertanggung jawab atas Bu Sri pernah sampai mengutarakan idenya untuk membujuk Imam agar wanita itu lebih baik ke pantai jompo saja.
"Tidak dok, saya lebih senang ada di sini! Apa dokter juga akan mengusir saya seperti dokter yang lainnya?" tanya Bu Sri dengan wajah sedihnya.
"Tentu tidak Bu, selama ibu bahagia dan nyaman di sini silahkan ibu bisa tinggal di sini. Tapi mohon maaf sebelumnya ini hanya rumah untuk perawatan orang sakit yang benar-benar membutuhkan Bu. Bukan maksud untuk mengusir hanya saja akan ada orang di luar sana juga yang sangat membutuhkan tempat tidur ini Bu!" Imam sangat berhati-hati dengan setiap kata yang ia ucapkan agar tidak melukai perasaan wanita itu.
Bu Sri memang berada hanya saja anak-anaknya begitu pelit dengan uang dan waktu untuknya. Bahkan wanita itu bisa saja menempati kamar VVIP di rumah sakit itu tapi Bu Sri sungguh orang tua yang kurang beruntung di bawah kendali anak-anak yang sangat perhitungan. Entah apa yang pernah ia dan anak-anaknya alami di masa lalu sampai hidupnya sekarang seperti ini.
"Ya dok maafkan saya!" Akhirnya Bu Sri mengerti juga dan Imam bisa sedikit lega mendengar hal itu. "Saya akan segera pulang jika memang sudah merasa pulih dok." Lanjutnya lagi.
Gubrak. Baru saja rasanya terbang hanya sejengkal di atas tanah sudah harus di jatuh kan lagi oleh pasien sendiri. Imam pun hanya bisa menghela nafasnya.
"Bahkan ini hanya rumah sakit Bu, bukan hotel. Bagaimana bisa ibu akan tetap tinggal di sini walaupun ibu adalah pasien umum kami." Batin Imam yang meresa bingung sendiri menghadapi kelakuan wanita tersebut.
"Percaya lah Bu pasti akan ada yang tulus. Terkadang orang sakit tak selamanya membutuhkan perawatan medis tapi mereka membutuhkan perawatan dan keluarganya. Bukan saya bermaksud ikut campur, hanya saja coba perbaiki situasi dan kesalahan yang ada mungkin yang pernah terjadi di masa lalu. Saya yakin mereka juga punya hati nurani, dan ibu bisa menikmati waktu yang masih Tuhan berikan bersama orang terkasih." Pesan itu lah yang terakhir bisa di sampaikan berharap Bu Sri akan bisa mengert. "Kalau begitu saya permisi dulu Bu, semoga lekas membaik." Lanjutnya lagi berpamitan dengan senyum di wajahnya.
"Ya dok terimakasih untuk kunjungannya." Bu Sri terlihat lemas dengan wajah sedikit kecewa.
Imam pun pergi meninggalkan ruangan itu dan kini akan langsung kembali ke ruangannya, hanya saja baru ia melangkah keluar pintu kamar pasien seorang wanita yang begitu cantik dengan hijabnya melintas di hadapannya. Wanita bernama Aisyah yang merupakan salah seorang dokter di sana, wanita yang pernah berjuang dengannya metika di kuliah dan wanita yang pernah menolak lamarannya hanya karena alasan gelar dokternya belum tentu membawa rezeki untuknya. Tapi sedikit pun Imam tak pernah menyesal dengan cintanya yang telah diabaikan.
"Siang dok." Sapa Aisyah dengan senyum yang dulu selalu dikagumi.
Imam hanya membalas dengan senyuman dan sebuah anggukan lalu pergi berlalu begitu saja.
"Astaga sekelas dokter Aisyah yang cantiknya luar binasa itu saja di cuekin sama pak Dokter. Apalagi kita yang hanya remehan rengginang." Desis suara seorang perawat bertubuh sedikit gemuk yang menyaksikan pertemuan itu. Sontak ia mendapatkan sebuah sikutan di lengannya oleh teman perawatnya bertubuh lebih kurus yang ada di sampingnya.
"Lu nggak takut apa di dengar sama dokter Icha. Mana kosa kata lu itu kagak bener pun. Kalau cantiknya luar binasa berarti sama aja nggak cantik lah!" si kurus menambahkan dengan suara yang sedikit lebih besar dari volume suara temannya membuat dokter Aisyah yang berdiri hanya setengah meter dari mereka langsung menoleh dan menatap tajam.
"Ah lu sih cempreng, suara kamu itu yang kebesaran. sudah ayo kita pergi!" Perawat gendut dengan cepat menarik lengan temannya itu membawanya kabur dari dokter Anisya.
"Pantas saja pak dokter nggak mau sama dokter Icha ya, judes begitu pelit senyum padahal dia cantik sangat dengan hijabnya kalau mereka jodoh pasti cocok!" Perawat bertubuh kurus itu malah melanjutkan pembicaraannya.
"Dasar lu cungkring malah gibahin orang pula. Syukur kita bisa kabur dari dokter Icha eh malah lu nambah gibah. Urus aja itu badan lu biar berisi sedikit bila perlu nanti aku bantu tiup pakai tabung oksigen."
"Sialan lu Ndut. Temen nggak ada akhlak emang lu. Aku tusuk juga pakai jarum infus kempes lu."
Sementara dua perawat itu berlalu pergi kini malah dokter Aisyah yang tengah perang sendiri dengan pikirannya.
"Bodoh memang kamu Cha sudah nolak Imam dulu. Bisa-bisanya kamu ngucapin kata nggak berkualitas begitu. Tapi aku yakin Imam pasti masih suka sama aku, secara dulu dia segitu bucinnya sama aku. Tenang saja kita tunggu waktu pasti akan ada kesempatan buat aku deket lagi sama dia." Batin Aisyah berbangga diri.
*****
"Habis nganterin siapa mbak Yu?" tanya Alesha mulai sok kepo.
"Ngater kakak mbak." Jawab Ayu singkat.
"Wah sama dong aku juga habis nganterin suami mbak." Saut Alesha.
"Jiaah kan aku nggak nanya mbak e. Haduh sok akrab beunget lah mbak ini." Ayu membantin. "Cepat lah pak Danang aku ingin pergi dari sini." Lanjutnya lagi dalam hati.
"Permisi nak kita pulang sekarang?" tanya Pak Danang di sela percakapan tak menyenangkan itu.
Doa ayu terkabul, pak Danang akhirnya menyelamatkan dirinya. "Ya pak ayo kita pulang!" sergah Ayu dengan penuh semangat.
"Eh aku boleh nebeng pulang juga nggak. Kan kita searah!" tanpa rasa malu wanita itu malah meminta tumpang membuat Ayu menatap heran pada sang sopir yang juga merasa bingung dengan tatapan anak bosnya itu.
Dengan berat hati lagi-lagi Ayu menerima kenyataan. "Ya silahkan." Jawab Ayu pasrah.