"Ayo berangkat, mau sampai kapan kalian berdiri di sana?" Seru Imam yang sudah siap di atas motor ceketer tahun sembilan puluhan itu yang di pinjam dari kang parkir lebih tepatnya penjaga keamanan area parkir rumah sakit itu.
Ayu dan Gatri pun menoleh.
"Serius itu pak kepala pakai motor jaman baheula begitu?" ucap Gatri dengan wajah tak percaya.
"Lah pakai nanya lagi jelas-jelas kamu lihat memang seperti itu malah heran sendiri. Sudah ah ayo naik!" Ayu sudah siap menyalakan mesin motornya dan Gatri pun langsung naik di belakang.
"Ya kan aneh aja Yu masa anak pemilik rumah sakit pakai motor ceketer. Nggak malu apa." Ucap Gatri lagi.
"Itu tandanya beliau tidak menghiraukan masalah status dan jabatan. Lagi pula bukan kah yang sederhana itu baik dari pada harus bergaya meskipun mampu." Ayu menasehati.
"Ya sih, pantas aja dia sampai bisa kecantol sama cewek yang baru insyaf kayak kamu." Seloroh Gatri diiringi tawa menyindirnya.
"Sialan lu, emang aku habis ngapain pakai acara insyaf segala." Protes Ayu.
"Ya kan dari penampilan mu yang dulunya tomboi bingit terus sekarang berubah jadi peminum begitu." Tutur Gatri.
"Ya tapi nggak usah bilang insyaf juga Get. Benar-benar dah kamu ya."
Dua motor itu pun berjalan keluar meninggalkan rumah sakit itu menuju sebuah mall untuk makan siang bersama di sana. Setelah 10 menit perjalanan dari rumah sakit, mereka pun tiba di tempat tujuan.
"Kalian pesan saja dulu makanannya, kakak pesankan saja yang sama dengan mu dek. Sebentar kakak terima telpon dulu." Pamit Imam seraya pergi menjauh dari dua gadis itu.
Ayu hanya menganggukan kepalanya.
"Kamu mau makan apa Get?" tanya Ayu yang kini tengah melihat menu di hadapannya.
"Aku pesan lebih dari satu boleh?" Gatri malah nyengir kuda.
"Jangan malu-maluin deh." Ujar Ayu sinis.
"Ya kan mumpung di traktir Yu, jarang-jarang lho aku bisa jadi nyamuk malah di kasi makan banyak. Hahaha." Gatri malah tertawa.
"Nggak ada hubungannya." Ayu mulai memasang wajah judesnya. "Kita pesan yang paketan saja lah ya biar cepat." Lanjut Ayu lagi menawarkan.
"Nah ini saja lah yang paket makan berempat, komplit dapatnya." Usul Gatri.
"Ya ya."
Ayu pun memesan sesuai usulan Gatri, makanan pun sudah di persiapkan. Bahkan sampai makanan datang Imam malam belum selesai dengan pembicaraan di telponnya, sesekali Ayu melirik ke arah pria yang sudah resmi menjadi kekasihnya itu terlihat sekali dari raut wajahnya yang begitu serius sepertinya ia menerima panggilan telpon dari orang penting.
"Aku masih penasaran Yu kok bisa kamu kenal sama pak kepala?" tanya Gatri melanjutkan rasa penasarannya.
"Aku kenalnya nggak sengaja Get di kampus dia lagi nungguin misannya yang lagi ospek di jurusan kita." Ayu mulai cerita.
"Wah adeknya masuk Gizi berarti." Gatri sedikit terkejut.
"Yups dan masih menjadi cama cami. Dia juga temannya bang Ucup. Tapi bang Anisya waktu itu cuma ngasi tau kalau dia sama juga kayak kita mahasiswa semester akhir. Hanya beda jurusan saja, katanya di perawat di STIKES Yarsi Get. Makanya kaget juga pas kita perizinan rumah sakit sama Bu Nining taunya beliau malah kepala rumah sakitnya. Dan tadi kamu nambahin kabar mengejutkan lagi kalau ternyata dia anak kepala rumah sakit." Tutur Ayu panjang lebar.
"Wah wah, bisa aja dia menyembunyikan identitasnya dulu Yu. Keren keren." Gatri melebarkan senyum seraya mengacungkan dua jari jempolnya. "Inget ya Yu di jaga baik-baik. Itu berlian lho, jangan sampai kamu lepas." Pesan Gatri yang kini sudah melipat kedua tangannya di atas perutnya seraya menganggukkan kepala.
"Ayam kali dilepas." Seloroh gadis itu seraya kembali menengok pacar barunya itu yang masih berbicara serius dengan ponselnya.
"Permisi mbak, ini makanannya!" Seorang pelayan wanita mengantar pesanan makanan mereka.
"Terimakasih mas." Ucap Gatri dan Ayu bersamaan.
Wanita itu tersenyum seraya meletakkan satu persatu hidangan yang di bawanya di atas meja.
"Lama amat yak pak kepala telponnya. Apa mungkin itu telpon dari rumah sakit?" Tanya Gatri dengan suara sedikit berbisik.
Ayu menjawab hanya dengan mengangkat kedua bahunya. Lalu kembali menoleh ke arah Imam, dan tepat sekali pandangan mereka bertemu. Imam telah selesai dengan panggilan telponnya, senyum manis itu mengembang. Ia kembali berjalan menghampiri kekasih barunya.
"Maaf membuat kalian menunggu lama." Imam kembali duduk di tempatnya tepat di samping kekasihnya.
"Wah berasa kek jadi nyamuk akuuuh." Seloroh Gatri.
Imam hanya tersenyum, "Ayo makan."
Mereka pun menikmati makan siang mereka dalam keheningan, tak ada yang berbicara.
*****
IMAM
"Hallo Pah." Sapa Imam ketika telpon itu terhubung.
"Kegaduhan apalagi yang kamu buat di rumah sakit?" tanya suara berat di seberang sana.
Imam hanya tersenyum sinis, "Ada yang buat laporan lagi ya? Sepertinya aku harus segera mencari penggantinya yang baru." Ucapnya tetap tenang, ia tahu siapa orang yang sudah membuat laporan palsu tentangnya.
"Kamu tidak berhak mencari penggantinya karena dia yang akan menjadi pendamping mu nanti. Tanggal tunangan dan pernikahan kalian sudah di tentukan. Jadi papa minta hentikan kegaduhan itu dan jangan mengecewakan papa lagi! Ini peringatan terakhir dari papa." Suara berat itu semakin terdengar serius dengan ancamannya.
"Sekali lagi aku tegaskan, aku tidak menginginkan wanita itu menjadi pendamping ku pa. Aku akan tetap memilih pendamping ku sendiri, cukup papa melihat ku bertahan di rumah sakit ini saja. Sebaiknya papa yang menghentikan keegoisan papa itu kalau papa mau tetap aku ada di sini dan mendukung papa di belakang layar." Imam malah ikut memberikan ancamannya.
"Berani sekali kami membantah papa hanya demi mahasiswi tak berguna itu. Kamu satu-satunya harapan papa jadi jangan buat papa kecewa lagi." Suara pria itu kembali meninggi dengan nada emosi.
"Papa harus belajar untuk mengendalikan ambisi papa itu, karena aku tidak akan mengikuti kemauan papa kali ini. Sikap papa sudah keterlaluan terhadap anak-anak papa, jadi maaf kan aku pa. Kali ini biarkan aku memilih jalan hidup ku sendiri." Tegas Imam sekali lagi.
"Kamu mau adik mu yang tersayang itu yang akan papa jadikan pengganti mu?" Ancam sang papa.
Namun kali ini ancaman itu sudah tidak berlaku lagi untuknya, ia sudah sangat lelah dengan semuanya. Lagi pula Imam juga ingin melihat bagaimana reaksi dari ibu tirinya itu ketika putrinya akan di jadikan sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan papanya yang terlalu berambisi itu. Imam memang sangat sayang dengan adik tirinya hanya saja wanita yang melahirkannya sudah terlalu menyakiti ibunya.
"Silahkan saja pa, biar kan Iren yang menggantikan posisi ku. Bahkan aku akan sangat berterimakasih padanya jika itu benar terjadi."
Percakapan pun berakhir karena Imam memutuskan sepihak telponnya. Ia tak mau berdebat lagi.