Tok tok tok
Suara ketukan pelan terdengar di luar sana tepat ketika Ayu sudah menyelesaikan kewajibannya berkomunikasi dengan Tuhan nya.
"Sebentar ma!" serunya dari dalam sana seraya bangkit dari duduknya, tentu ia tahu itu adalah mama nya yang berdiri di depan pintu sana. Siapa lagi? Ketiga saudaranya sudah tidak di rumah bukan.
"Baru selesai sholat sayang atau baru mau sholat?" tanya mama Ratna setelah pintu kamar itu terbuka.
"Baru selesai mah. Masuk mah!" Ayu kembali masuk ke dalam kamar nya di ikuti sang mama yang berjalan di belakang. "Duduk mah!" Ucapnya lagi dan dua wanita itu pun kini duduk berdampingan di tepi ranjang.
"Imam cepat sekali pulang nya, mama kira kalian akan pergi jalan-jalan." Mama Ratna memulai percakapan.
"Waduh kenapa pembicaraan ini malah ke sana mah? Mau jalan-jalan ke mana siang bolong begini mah, nanas." saut Ayu.
"Kali aja kan kalian pingin jalan-jalan, toh juga jarang ketemu kan." ucap Mama Ratna.
"Waduh kenapa mama malah membahas kak Imam sih, kan mereka baru ketemu dua kali ini." Ayu membatin tak percaya dengan tema percakapan siang itu.
"Ya sih." Jawab Ayu bingung seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Tapi kenapa tiba-tiba mamah malah bahas kak Imam ya?" lanjut gadis itu lagi yang kini membuka mukenah yang ia kenakan.
Mama Ratna malah tersenyum penuh makna.
"Ih mamah yang senyum malah aku yang merinding. Nggak biasanya mama begini deh." Gumam Ayu yang mulai berbicara sendiri dalam hati ketika melihat senyum mamanya itu.
"Mama seneng aja liat kamu sama dia nak. Anaknya manis, dan keliatan baik juga sopan. Kalian pacaran aja atau nikah aja sekalian, mamah ikhlas nak!" Celetuk Ratna dengan santainya, wajah wanita itu kini malah terlihat begitu bahagia setelah mengucapkan hal gila menurut anak nya.
"Gubrak. Wah parah mamah ni. Dia salah minum vitamin atau sedang stres karena banyak job yang masuk ya?" Ayu membatin heran.
Tubuh gadis itu meleyot seperti jelly kini bersabar di bahu mama nya. "Mama nggak salah makan kan siang ini? Atau mamah sedang bermimpi?" lirih Ayu tak bersemangat.
"Tidak nak, mama lagi sadar sesadar sadar nya sayang." Mama Ratna menegakkan kembali tubuh anaknya, menatap wajah cantik itu dengan penuh kasih sayang. "Mamah lagi ngomong serius sayang, Imam itu pria yang baik nak. Dia cocok buat kamu." Tegas mama Ratna dengan suara lembutnya.
"Mah kita baru kenal, belum juga sebulan. Dan mamah sudah menyimpulkan kayak begitu. Imam masih statusnya berteman saja sama adek mah, belum ada omongan apa pun. Eh mama malah bahas nikah. Itu gimana ceritanya, kakak-kakak aja belum ada pada yang nikah mah. Malah anak gadisnya di suruh nikah duluan, kuliah aja masih belum selesai wisudanya kapan?" Ucap Ayu lemas dengan mata sayunya.
"Kakak-kakak mu mah gampang nak, lagian kan juga bentar lagi kamu selesai kuliahnya. Nikah mudah itu enak lho, mama itu setiap ngeliat pengantinnya mamah yang nikah usia muda duh bahagia ngeliatnya apalagi kalau anak kita tuh pengantin wanitanya. Lega gitu lho dek, nggak perlu khawatir lagi dengan pergaulan anak muda zaman sekarang. Ada yang lelaki halal yang bisa jagain, wajah bahagia mereka di pelaminan. Ih mamah juga jadi nggak sabar deh. Kalau nunggu kakak-kakak mu yang nikah mah panjang urusannya." Tutur Ratna panjang lebar.
Setelah mendengar penuturan itu Ayu jadi tau apa yang sebenarnya terjadi pada sang mama sehingga percakapan pernikahan ini dicetuskan.
"Nah ini nih masalahnya. Aduh mah sadar sadar!" Ayu menggoyangkan tubuh sang mama yang kini tengah memikirkan angan-angan bahagianya. "Nggak usah ngehalu dulu deh. Jangan hanya karena mama seneng liat para mantennya mama terus Ayu yang jadi korban di suruh nikah dulu. Lah ya kali dapat calon suami yang mapan, yang ada dapatnya calon suami yang jadi beban kan susah nantinya." Ayu menggelengkan kepalanya tak berani membayangkan kemungkinan buruk yang bisa terjadi pada konteks nikah muda yang di bicarakan mama nya itu.
"Ya kan mamah hanya membayangkan kalau adek nikah nak. Masa nggak boleh sih, kamu malah doa yang aneh-aneh. Imam itu nggak mungkin pengangguran sayang, yakin deh perasaan mamah tuh nggak pernah salah kok nilai orang apa lagi buat anak-anak mamah. Dia pasti akan jadi suami yang baik buat kamu." Tambah Ratna lagi meyakinkan putrinya itu.
"Gawat ini mah, mama semakin parah saja ngelanturnya. Untung tadi Imam cepat pulang kalau nggak? Nggak bisa kebayang dah langsung ada perjodohan mendadak di rumah ini." Batin Ayu mulai khawatir.
"Mah kita bahas ini lain kali aja ya, adek mau istirahat dulu. Yuk adek anter mama ke kamar saja ya. Atau mamah mau ke butik?" Ayu mencoba mengalihkan pembicaraan seraya menarik lengan mama nya.
"Lah kok mamah di usir sih nak." Mama Ratna menahan diri di ranjang itu tak ingin beranjak dari sana karena ia belum selesai dengan pembicaraannya.
"Bukannya ngusir mah, hanya saja adek ngantuk mau tidur. Beneran dah!" Bohong Ayu yang memasang wajah memohonnya.
"Kamu beneran nggak suka sama Imam?" tanya Ratna lagi.
"Waduh malah pernyataan sulit lagi yang di kasi." Batin Ayu.
"Mah ayo lah berhenti bahas ini dulu ya. Kami benar-benar baru saling mengenal, asal usulnya dia aja adek belum tahu mah. Nanti lah yah kita bahas ini lagi kalau adek sama dia udah kenal lebih jauh. Sekarang mamah istirahat saja, mamah pasti capek kan!" Bujuk Ayu yang masih menggenggam lengan mama nya yang belum mau beranjak.
"Beneran kamu mau bahas ini lagi nanti?" tanya Ratna penuh harap.
"Ya mama sayang, ayok ah kita kembali ke kamar saja ya." Sekali lagi Ayu menarik pelan lengan sang mama dan wanita itu pun kini mau bangkit dari duduknya.
"Janji ya sayang. Ah ya suruh Imam ke rumah lagi ya. Mamah mau ngobrol sama dia!" Pinta Ratna.
"Waduh bahaya sekali ini. Mamah baperan nggak kira-kira sih. Lebih baik nanti sore aku kebutik saja buat ngurus kerjaannya mama. Bahaya juga kalau mamah terus-terusan liat pengantinnya yang ada nanti aku beneran di paksa nikah muda." Gerutu Ayu dalam hati.
Setelah mengantar sang mama keluar kamar, Ayu dengan cepat menutup kembali pintu kamarnya itu dan bersandar di sana.
"Aku harus segera hubungi papa biar cepat pulang, bahaya kalau biarin mama terus-terusan dalam tingkat baper nya itu." Ayu bermonolog sendiri seraya menggelengkan kepalanya.
Membayangkan hal aneh itu terulang lagi ke dua kalinya sungguh sangat mengerikan. Ini bukan kali pertama sang mama bertingkah aneh begitu, ini sudah kali ke berapa mungkin mamanya bersikap aneh hanya karena kebawa perasaan halunya menyaksikan acara pernikahan para pelanggan yang menggunakan jasa wedding organizer mereka. Baik Ayu maupun ketiga kakak kembarnya sudha merasakan desakan nikah muda dari sang mama.