Sepucuk Surat

1041 Kata
Dengan jantung yang berdebar, Ayu mulai membuka amplop ditangannya secara perlahan, mengeluarkan kertas di dalamnya dengan hati-hati. Sebelum membuka dan membaca lembaran itu, Ayu menarik nafas panjang lalu menghembuskannya untuk mengurangi rasa perasaan berdebarnya. Ia mulai memejamkan matanya, jari-jarinya mulai bergerak membuka selembar kertas yang terlipat rapi itu. Setelah kertasnya terbuka kini giliran mata gadis remaja itu yang terbuka perlahan. Dibacanya satu persatu rangkaian kata yang ada di kertas itu. Dear Peri Langit. Maaf Abang mengatakan hal ini, berat juga buat Abang tapi inilah pilihan yang harus diambil. Abang akan mengakhiri persahabatan kita dengan sepihak. Abang tidak ingin menyakiti hati wainta yang selama ini berjuang untuk melawan penyakitnya. Dan dia akan kembali setelah kelulusan nanti. Abang memilih untuk tetap ada di sampingnya. Karena dia jauh lebih membutuhkan abang. Ini adalah surat terakhir abang, terimakasih sudah menjadi seseorang yang berarti. Izinkn abang untuk pergi, kamu pasti akan mendapatkan seseorang jauh lebih baik dari abang. Salam Sahabat Dunia. Wajah manis yang tadi begitu ceria kini berubah muramlah sudah, hati yang tadinya tengah berbunga kini langsung layu seketika. Cerita yang mereka tulis bersama dalam setiap lembar kertas itu kini menjadi abu dalam hitungan detik karena hangus terbakar api. Tubuh gadis itu melemas seketika, menjatuhkan kertas yang tadi ad digenggamannya. Matanya mulai berkaca-kaca. "Bukankah aku juga akan sakit hati diperlakukan seperti ini? Lalu kenapa hanya dia yang perasaannya dijaga. Dia yang meintaku menjadi sahabatnya, lantas sekarang aku yang ia tiggalkan?" Ayu dengan senyum getirnya, ia masih diam di tempat duduknya sibuk dengan pikirannya sendiri sementra di luar sana sekolah sudah mulai sepi. Setelah setengah jam menengkan diri Ayu pun berdiri, memungut suratnya tadi dan juga amplopnya. Baru saja ia akan meremas kertas dan amplop itu namun dilihatnya ada sesuatu di dalam sana yang masih tertinggal. Ayu mengeluarkannya dan ternyata itu adalah foto Ichal. "Cih masih sempat-sempatnya ia memberikanku sebuah foto seperti ini." Gerutu Ayu yang tetap memasukkan foto dan surat itu ke dalam tasnya, ia tak jadi membuangnya. ***** "Assalamualaikum, maaf kakak terlambat!" Ucap Imam tak enak hati karena ia sampai di rumah Ayu hampir jam setengah enam. Telat 1 jam dari waktu yang sudah Ayu tentukan di telpon. "Waalaikumsalam salam ya kak nggak apa-apa. Ya sudah kita langsung berangkat saja. Mereka sudah menunggu di hotel." Titah Ayu dengan senyum yang sangat jelas sedikit di paksakan. Tentu saja Imam merasa bersalah telah membuat calon kekasihnya itu menunggu. Sepanjang perjalanan Ayu dan Imam mengobrol dengan topik pembahasan ringan seputar kuliah gadis itu, dan lagi-lagi pesona si hitam manis selalu membuatnya mati kutu. "Dek, turun sayang udah sampai!" titah pria itu menepuk pipi Ayu yang tengah tertidur dari mulai setengah perjalanan. Mungkin memang hari ini hari yang cukup melelahkan, mengingat siang tadi Ayu begitu sibuk di taman. "Eh, udah sampai? Wah pas banget cuacanya menjelang senja, ayo kak turun!" ujar Ayu bersemangat. Perempuan itu pun menghubungi kakak-kakaknya dengan ponsel di tangannya. Tak berselang lama obrolan diakhiri dengan muka binar Ayu yang nampak bahagia. "Ayo kak, mereka ada di sebelah utara. Mereka ternyata buat tenda. Wah, pasti seru banget!" ujar Ayu antisias. "Kalian mau berkemah dek?" "Mungkin kak, ah pasti menyenangkan berkemah di pinggir pantai biasanya kalau kemalam di sini tidurnya juga di dalam kamar hotel." "Auuu." Tiba-tiba Ayu memekik kesakitan, ada sesuatu yang menembus sandalnya membuat Ayu tertunduk melihat apa yang sudah diinjaknya di bawah sana. "Eh kamu nggak apa-apa dek?" Imam dengan cepat memegang lengannya, wajah khawatirnya tampak jelas terlihat. "Sepertinya adek nginjek paku kak!" Ucapnya lirih. Imam pun berjongkok mengangkat sediki kaki gadis di hadapannya itu. Benar saja ada paku yang tertancap di sendal Ayu. Sepertinya potongan kayu yang masih bertancapkan paku itu terbawa arus ombak. Beruntungnya paku itu tak masuk terlalu dalam. Jadi lukanya pun tak besar, hanya menyisakan rupa bintik merah saja. Tetapi tegap saja bisa berbahaya kalau tidak di tangani. "Tahan ya, kakak cabut dulu pakunya." Ucap Imam seraya mencabut paku itu dari sendal jepit Ayu. Imam melepas sendal Ayu dan memencet bagian telapak kaki Ayu yang terkena ujung paku itu dengan jari-jarinya. "Biar kakak gendong saja!" "Eh nggak usah kak, Adek bisa jalan sendiri." Tolak Ayu merasa tak enak. "Sudah nggak apa-apa, kita ke tempat kakak-kakakmu dulu, nanti kakak ambilkan obat agar lukanya nggak infeksi. Ini bahaya apalagi tadi pakunya sudah berkarat begitu." Ucap Imam tersenyum, dengan sekali hentakan tubuh Ayu sudah dalam gendongannya. "Pasti rasanya sakit, pakai sok sokan mau jalan-jalan. Gimana ceritanya kalau aku tidak ikut, ternyata tubuhku ini sangat dibutuhkan kamu." Seloroh Imam mencoba mencairkan suasana melihat Ayu yang merasa begitu canggung dalam gendongannya. "Diem kak, turunkan adek jika sudah hampir sampai di tenda teman-teman. Adek nggak mau mereka jadi heboh karena ngeliat kakak gendong Adek begini. "Ya pasti mereka akan tetap heboh dek, apalagi tahu Adek ketusuk paku begini. Untung kakak selalu bawa perlengkapan darurat di mobil." Imam terus berjalan menyusuri bibir pantai itu, ditemani warna jingga yang indah di ujung sana. Sambil membawa tubuh mungil yang dicintainya dalam gendongan. Walaupun khawatir dengan bekas luka sang pujaan hati yang tertusuk paku, tapi dihari kecilnya ia juga merasa bahagia bisa membawa gadis itu dalam pelukan. "Udah kak, turun! Itu mereka!" Imam dan Ayu berjalan perlahan mendekati kakak-kakaknya di mana mereka tengah bermain bola. "Hallo akak akakku yang ganteng, akhirnya ketemu juga!" sapa Ayu dengan sumringah dengan gaya jalannya yang sedikit pincang. "Ye, akhirnya yang ditunggu-tunggu dateng juga," pekik Tere girang. Agil dan Aichal ikut menyambut sang adik. "Sore dokter tampan! Eh mas Imam maksudnya." Sapa Tere yang dengan cepat meralat panggilannya. "Sore, boleh gabung kan?" "Ya, tentu boleh dong si manis." saut Tere lagi. "Terimakasih, ya sudah dek kakak tinggal ambil kotak obat dulu di mobil ya!" Pamit Imam. "Kok kamu jalannya pincang gitu dek kenapa?" tanya Aichal yang memperhatikan cara jalan sang adik. "Ketusuk paku kak, itu makanya mau di ambilin obat." "Astaga, sini sini duduk dulu!" Ucap Agil seraya menuntun sang adik untuk duduk di atas pasir. "Kalau begitu aku permisi sebentar!" Pamit Imam. "Eh aku temani ya mas gulali." Ucap Tere dengan gaya centilnya yang langsung menggandeng tangan Imam begitu saja. "Kok bisa ketusuk paku itu lho dek?" ucap Aichal yang mulai memperhatikan telapak kaki adiknya. "Ya namanya juga pakunya nggak keliatan kak ketutup pasir." "Sudah ah tenang aja kan ada si hitam manis itu di sini. Pasti akan aman kok." Ucap Agil dengan santainya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN