Sesampainya di kantin, keempat wanita itu segera mencari pojok tersembunyi untuk menghindar dari para kekasih mereka. Rhea berkali-kali menoleh ke belakang, memastikan Oris, Theo, Ovi dan Raga tak mengikuti mereka.
Tepat saat Rhea, Shappira, Ami dan Vivi mendudukkan tubuh mereka di atas kursi, Theo meraih tangan Vivi dan membawanya pergi dari sana, membuat Rhea tercekat dan menyembunyikan wajahnya di balik punggung Shappira yang duduk di sampingnya. Sedangkan anak GAS lainnya hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Theo yang terlihat kesal pada Vivi.
"Apaan sih, Yang?" protes Vivi.
"Pulang sekarang juga!" ujar Theo dengan tegas.
"Kan mau makan dulu di kantin! Gue laper, Ayang!"
"Makan di rumah aja!"
Dengan wajah merengut, Vivi memilih pasrah saat Theo semakin mempercepat langkah kakinya. Kini giliran Raga yang menarik tangan Ami agar berdiri dari tempatnya.
"Mi, pulang!" ujar Raga.
"Gue mau makan dulu, Aga!" protes Ami.
Raga menggelengkan kepalanya. "Makan di rumah aja! Cewek kok mainannya bar-bar kaya gitu sih! Urusan kita belum selesai iya, Mi."
"Gue gak mungkin diem kali, Ga. Si Tuti emang perlu di sumpel mulutnya!" gerutu Ami.
"Kita bahas di rumah," ujar Raga.
Ami pun mau tidak mau mengikuti apa yang Raga katakan.
Dan kini hanya tersisa Ovi, Shappira, Oris dan Rhea. Kedua pria itu duduk saling berhadapan dengan Shappira dan Rhea yang masih menyembunyikan wajahnya di belakang tubuh sahabatnya itu.
"Rhe! Gak usah ngumpet kaya gitu!" ujar Oris dengan nada kesal.
Wajah Rhea pun segera keluar dari tempat persembunyiannya dan menundukkan kepalanya, agar Oris tak melihat luka goresan di pelipis kanannya.
Melihat Oris yang kesal dan bersiap memberikan rentetan ceramahnya, Ovi dan Shappira saling melempar tatap lalu berdiri dari kursi mereka masing-masing.
"Kita duluan, iya? Gue sama Ovi masih ada urusan yang belum kita beresin," pamit Shappira.
Rhea menengadahkan kepalanya seketika, menatap Shappira yang sedang tersenyum ke arahnya. Rhea membulatkan matanya, memberi kode-kode kecil pada Shappira agar tidak pergi meninggalkannya.
"Semoga lu tahan dengan ceramah Oris, Rhe." Bisik Shappira pada telinga Rhea.
"Bangke! s****n lo!" gerutu Rhea dengan kencang.
Ovi dan Shappira tergelak melihat reaksi wajah Rhea yang kesal. Sedangkan Oris lebih memperhatikan wajah Rhea dengan dahi berkerut.
"Bhay, smile meries!" pekik Shappira seraya berjalan mengaitkan tangannya pada lengan Ovi, meninggalkan Rhea dan Oris berdua.
Seperginya seluruh teman-temannya, Rhea kembali menundukkan kepalanya hingga rambut lurusnya menutupi wajah. Oris menghela napasnya dalam-dalam seraya berdiri dari atas tempat duduknya dan menarik pergelangan tangan Rhea untuk membawa gadis itu kembali ke dalam asrama.
"Dan urusan kita diperpanjang, Mahardina!" ujar Oris.
***
Setibanya di dalam kamar asrama Rhea, Oris mendudukkan gadis itu di atas tempat tidur, lalu ia berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil kotak p3k yang selalu Rhea siapkan, dan membawanya.
"Anak cewek, mainnya bar-bar!" gumam Oris seraya duduk di hadapan Rhea.
Lelaki itu membuka kotak tersebut dan mengeluarkan sebuah antiseptik dan cotton bud. Oris menarik dagu Rhea dengan lembut agar melihat ke arahnya dan mulai mengobati luka gores di pelipis kanannya.
"Lo bisa gak sih jadi cewek kalem, Rhe? Cukup jadi ahli karate, gak usah jadi preman juga!" gerutu Oris. Lelaki itu terdiam sesaat, menatap Rhea yang kini sedang menatap ke arahnya dengan tatapan sebal.
"Dasar popok bayi!" umpat Rhea.
Oris yang sedang meniup luka pada pelipis Rhea seketika berhenti dan mengalihkan tatapannya pada gadis yang masih menatapnya dengan tajam.
"Popok bayi?" tanya Oris membeokan u*****n Rhea.
"Dengan daya serap super!" sahut Rhea dengan ketus.
"Apaan sih, Rhe?" protes Oris.
"Gue sebel sama lo!"
"Sebel sama gue? Kenapa? Apa alasannya sebel sama gue? Apa yang gue lakuin salah? Rhe, lo tuh sahabat gue, gak mungkin gue biarkan gitu aja lo disakitin sama orang lain, apalagi itu Tuti. Bunda bahkan sering bilang sama gue buat jagain lo, tapi kalau lo-nya aja kaya gini, gimana gue mau jagain lo? Lo pikir deh, lo tuh cewek! Manis dikit, kek. Kemayu dikit, kek. Tomboynya lo tuh kelewatan, Rhea! Ngerti gak?" cecar Oris dengan nada sedikit meninggi, membuat Rhea seketika merengut dan menatap Oris sangat tajam.
"Apa hak lo ngatur-ngatur hidup gue?" tanya Rhea, emosinya pun mulai memuncak.
"Gue emang gak ada hak buat ngatur hidup lo, tapi lo tanggung jawab gue, Mahardina!" sahut Oris.
"Apa alasannya lo bersikap kaya gini sama gue?" tanya Rhea lagi.
Oris terdiam sesaat. Dengan wajah yang memerah karena menahan amarah dan mata memulat tajam, Oris menghela napas dalam-dalam
"Karena gue sayang sama lo sebagai seorang perempuan! Gue gak mau ada hal buruk terjadi sama lo!" jawab Oris seraya menekan emosinya agar tidak semakin memuncak.
"Gue udah sering bilang sama lo, jangan pernah menganggap gue sebagai perempuan! Gue gak mau kehilangan sahabat terbaik gue karena sebuah perasaan yang suatu saat bakal ilang gitu aja. Kita udah sepakat sejak awal," sergah Rhea.
"Tapi gue gak bisa! Gue tetep menganggap lo sebagai perempuan. Dan gue akan tetap benci saat lo disakitin sama orang lain," timpal Oris.
"Sana lo pergi!! Gue benci sama lo, keluar!" usir Rhea sangat kesal.
"Oke, gue keluar! jangan pernah hubungi gue lagi," sahut Oris penuh penekanan.
Pria itu berdiri dan menendang kotak p3k, hingga isinya berserakan di lantai lalu berjalan keluar dari kamar sahabatnya itu dengan perasaan kesal yang memuncak. Lelaki itu segera kembali ke asrama khusus pria, dan masuk ke kamarnya seraya membanting pintu sangat keras. Salah satu teman sekelas Oris, bernama Leo, yang kamarnya bersebelahan seketika terperanjat dan segera berlari keluar dari dalam kamar, lalu mengetuk pintu kamar Oris berkali-kali.
Tiba-tiba pintu tersebut terbuka, dan Oris keluar hanya untuk menempelkan secarik kertas dengan sebuah tulisan tangan terlihat besar dan sangat jelas, lalu kembali membanting pintu kamarnya hingga tertutup.
Leo mengerjapkan matanya sesaat dan membaca tulisan pada kertas tersebut.
"Awas!!! Singa galak!" gumamnya.
Pemuda itu mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih lanjut pada Oris, lalu segera berjalan cepat dan kembali masuk ke dalam kamarnya. Leo segera mengambil ponsel miliknya dan mencoba menghubungi Theo, anak GAS yang kadang menempati kamar asrama di samping kiri kamar Oris.
Cukup lama Leo menunggu, hingga akhirnya terdengar suara gerusukan dari seberang telepon.
"Ada apaan?" tanya Theo dari seberang telepon.
"Awas!! Singa galak!" ujar Leo mengulang bacaan yang Oris tempel di depan pintu kamarnya.
Theo yang sudah mengerti maksud yang dikatakan teman samping kamar Oris seketika terdengar menghela napas dalam.
"Gue lagi sama pelatih. Gue tidur di asrama! Biar gue yang urus si singa galak!" sahut Theo seraya memutuskan panggilan teleponnya.
Sedangkan di dalam kamar, Oris yang masih merasa kesal kini sedang berdiri di depan kaca kamar mandi. Lelaki itu lebih memilih mendinginkan perasaannya dengan membersihkan tubuh dan berdiam cukup lama di bawah guyuran air shower. Di telinganya terus terngiang perkataan Rhea saat pertengkarannya tadi.
'Gue udah sering bilang sama lo, jangan pernah menganggap gue sebagai perempuan! Gue gak mau kehilangan sahabat terbaik gue karena sebuah perasaan yang suatu saat bakal ilang gitu aja. Kita udah sepakat sejak awal.'
Lagi-lagi pemuda bertubuh kekar itu menghela napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan keras.
"Gue gak bisa menghentikan perasaan ini, Rhea!" gumamnya bermonolog.
***