Setelah merasa pikirannya mendingin, Oris segera keluar dari kamar mandi dan bergegas mengenakan kaus berwarna hitam bergambar busur panah dengan setengah anak panah. Kaus couple yang sempat Oris dan Rhea beli saat mereka hangout bersama anak-anak GAS yang lain.
Lelaki itu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya seraya memejamkan mata dengan sebelah tangan ia taruh di atas keningnya.
Drrttt ... Drrttt ...
Suara getar ponsel yang ia taruh di sampingnya, bergetar beberapa kali, membuat Oris seketika meraihnya dan melihat siapa yang baru saja menghubunginya. Dengan malas, ia geser tombol hijau ke atas lalu menempelkan benda tersebut pada telinganya.
"Gue lagi males angkat telepon!" ujar Oris tanpa basa-basi.
"Yaelah. Terus nape lu angkat bhambang?" protes Theo dari seberang telepon.
Oris yang masih ingin menyendiri seketika memutuskan panggilan tersebut dan memilih melempar ponsel tersebut ke sembarang tempat lalu kembali memejamkan matanya. Tak begitu lama, ponselnya kembali bergetar, diikuti sebuah notifikasi masuk ke layar ponselnya. Oris segera mengambil benda tersebut dan membaca pesan yang masuk.
Theo m***m : Heh! Bangke lu! Gue mau nanya soal anak IPA, namanya Hulda.
Anda : Gak tau! Kenapa?
Theo m***m : Orangnya pingsan dimari, kagak ada yang tau dimana rumahnya ini.
Anda : Bentar.
Oris segera keluar dari ruang chat dengan Theo dan masuk dalam ruang chat dengan Rhea. Tetapi pria itu seketika terdiam dan menggelengkan kepalanya. Ia pun mencari kontak salah satu temannya yang lain dan mengirimkan sebuah pesan.
Anda : Minta alamat rumah Hulda IPA-4
Spy X IPA-4 : Buat apa?
Anda : Gak usah banyak tanya deh!! Gue lagi mode senggol bacok, nih!
Spy X IPA-4 : Perumahan Pondok Indah, jalan metro alam 6, Jakarta Selatan.
Read
Setelah mendapatkan alamat rumah orangtua Hulda, Oris kembali membuka ruang chatny dengan Theo dan mengirimkan alamat tersebut pada temannya itu. Setelah selesai, Oris kembali melempar ponsel tersebut ke sembarang tempat, dan kembali memejamkan matanya.
Berkali-kali helaan napas kesal keluar begitu saja saat perkataan-perkataan Rhea kembali terngiang di telinganya.
"Aaaaargghh, s****n!!" teriak Oris meluapkan emosinya.
Sedangkan di lain tempat, Rhea kini sedang membenamkan wajahnya pada bantalan dan terisak sangat keras. Sejak kepergian Oris dari kamarnya, Rhea yang merasa sangat kesal meluapkannya dengan menangis sejadi-jadinya. Ia tak habis pikir, sahabat yang ia percayai dan selalu menjaganya berani membentak Rhea saat emosinya memuncak.
"Dasar smile meris!! Popok bayi!! s****n lo bikin gue sakit hati kaya gini! Aaaaarrgh ... Oriiiss awas lo iya, gue benci sama lo! Gue gak mau kenal sama lo lagi! Lo bukan sahabat gue lagi! Aaaa ... bunda, Oris jahat! Tante Mel, Oris nyebelin!" Racau gadis itu di atas bantalannya.
Tak begitu lama, ponselnya bergetar. Rhea segera melempar bantal yang sejak tadi berada di atas wajahnya ke sisi lain, lalu meraih ponselnya untuk melihat siapa yang mengirimi pesan.
The Flower Of GAS
Vivi : @rhea Rhe, laki lo kok susah banget dihubungin?
Shap : @vivi Si smile meries lagi sama ciwi-ciwi kakak kelas kali.
Ami : Eh eh, tadi gue disamperin anak kelas tiga, masa.
Lia : Ngapain?
Ami : Kak Clein titip salam buat Oris, Kak Farah titip salam buat Theo, wakakakaka.
Vivi : s****n!! Ayang Theo cuma milik gue! Bangke emang tuh cewek, kegatelan banget.
Anda : Bodo amat!! Gue gak peduli, mau si Oris pacaran ma si Clei pun, gue GAK PEDULI!
Shap : Habis diceramahin lu?
Anda : Bangke emang tuh orang. Dia bentak gue udah kek singa mau nerkam mangsa.
Vivi : Wah s****n! Si Oris minta diruqiyah.
Ami : @vivi Terus lo mau ngapain nyariin lakinya si Rhea?
Anda : Dia bukan laki gue, BETEWE!
Lia : Hati-hati loh, Rhe. Gimana kalau nanti ternyata lo jodoh?
Anda : Gue gak akan mau nikah sama si daya serap super!
Vivi : Si Theo latihan, jadi dia pasti tidur di asrama. Gue mau nanyain dia udah sampe asrama belum, soalnya gue telepon kagak di angkat.
Anda : Tanya aja sendiri!
Vivi : Ya Tuhan, punya temen kek gini amat sih.
Read
Rhea kembali melempar ponsel miliknya tersebut dan kembali menaruh bantalan diatas wajahnya.
"Jangan sampai gue berjodoh sama si smile meries! Gue benci sama lo, Oris!" gerutu Rhea.
***
Sebuah buku pelajaran kimia kini terbuka pada pertengahan halaman. Soal-soal yang tertulis di atas kertas putih ini sedang dipecahkan oleh Oris dengan cara dan rumus yang ia rangkai sendiri demi mendapat jawaban benar dalam waktu cepat. Sesekali pria itu melirik jam digital di atas meja belajarnya lalu kembali fokus pada soal-soal dalam buku kimia tebal di hadapannya.
Satu minggu lagi, Oris akan mengikuti sebuah olimpiade kimia mewakili kota Jakarta yang diadakan oleh dinas pendidikan Indonesia. Dan Oris lah yang dikirim oleh Algateri High School sebagai wakil yang ditunjuk langsung oleh kepala sekolah dan gubernur DKI Jakarta. Tak hanya jago dalam dunia olahraga, Oris juga sangat pintar dalam segi kompetensi pembelajaran.
Tok,
Tok,
Tok,
Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu kamarnya. Oris yang sedang ingin sendiri dan fokus pada pembelajaran untuk melupakan masalahnya dengan Rhea, memilih tak menanggapinya. Bukannya berhenti, ketukan di pintu kamarnya malah semakin keras membuat fokus pemuda itu seketika buyar, dan kembali memanas.
Oris akhirnya berdiri dari atas tempat duduknya, dan berjalan mengambil salah satu sepatunya lalu membuka pintu kamar tersebut. Dan tepat saat itu, Oris dengan sengaja melempar sepatu yang dipegangnya pada pria yang kini menaikkan kedua tangan untuk menghalangi kepalanya.
"Bangke! k*****t lu! Ini gue woy!" teriak Theo.
"Lu buta? Kagak baca tulisan di sono?" ujar Oris seraya menunjuk tulisan pada pintu kamarnya.
"Gue baca! Makannya itu gue penasaran! Sejak kapan di asrama dibolehin bawa singa?" sahut Theo.
Oris menghela napasnya dalam-dalam, berusaha mengatur emosinya kembali, lalu dalam sekali tarikan, Oris menutup pintu kamarnya dengan keras.
Brak!
"Wanjay sekali anda ... GUE MAU MAIN AH, KE KAMAR ANAK CEWEK! SIAPA TAHU AJA, RHEA MAU NEMENIN GUE!" teriak Theo dengan sengaja menekan setiap perkataan yang terlontar di akhir kalimatnya.
Mendengar kata Rhea disebut oleh Thea, Oris yang masih berada di balik daun pintu kembali membukanya dan mengunci tangan Theo kebelakang, dengan tubuh bagian depan ia dorong ke permukaan dinding.
"Anjir! Sakit, bangke! Ris, lepasin bege!" protes Theo dengan wajah meringis.
"Lu tadi bilang apa?" tanya Oris dengan nada dingin.
"Gak ada. Gue kagak bilang apa-apa!" ujar Theo.
"Sekali lagi lu bikin mood gue semakin naik, gue patahin tangan lu!" ancam Oris.
Pemuda itu segera melepaskan tangan Theo dengan sedikit mendorong tubuhnya dan kembali ke dalam kamar, lalu mengunci kamar itu rapat-rapat.
"Akh! Sakit a***y!" keluh Theo sembari menggerak-gerakkan bahu kanannya. Pria itu pun segera masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu dengan sangat kencang.
Oris yang mendengar itu hanya tersenyum tipis dan berjalan kembali menuju meja belajarnya. Ia mengambil napas dalam-dalam, lalu menghembuskan dengan perlahan. Oris berusaha mengatur kembali perasaannya, lalu mulai mengerjakan soal-soal pada buku kimia tersebut.
'Gue bakal berusaha dapetin lo, Rhe. Dan gue yakin, gue bisa!' ujar Oris membatin.
***