Baru pertama kalinya Fawnia merasakan kebahagiaan sekaligus sesak tertahan di waktu yang bersamaan. Hatinya merasakan nyeri, seolah ingin menantang takdir, kenapa harus setelah berpisah Dimitri bisa sedikit bersikap manis padanya. Meskipun itu hanya sandiwara dari pria itu saat di depan sang ibu, tapi Fawnia rela menukar segalanya dengan moment singkat tersebut, ketika Dimitri menyuapinya dengan sabar seraya menatapnya seolah penuh sayang.
Dua tahun hidup berumah tangga dengan Dimitri, hanya beberapa kali Fawnia jatuh sakit. Sakit ringan yang memang tak perlu penanganan serius dari tenaga medis. Namun perlakuan Dimitri tak pernah semanis ketika mereka berdua terjebak di kamar mama Wulandari tadi.
“Melamun mbak? itu airnya sudah mendidih.” tepukan dari Bi Minah mengembalikan lagi pikiran Fawnia yang sempat melayang pada kejadian tadi pagi.
“Eh… iya Bi, sedikit ngantuk nih.”
“Tidur siang aja mbak, biar saya yang bikinin wedang jahe buat nyonya. Lagi pula nyonya masih tidur kok, barusan saya dari kamar beliau sekalian ganti gorden di jendela samping.”
“Ooh … iya Bi, tolong lanjutin kalau gitu ya. Aku ke atas dulu.”
Tanpa perlu menunggu jawaban dari asisten rumah tangganya, Fawnia bergegas menuju kamarnya di lantai dua. Ibu mertuanya sudah tertidur nyenyak meskipun masih sedikit demam, jadi Fawnia tak ingin mengganggu waktu istirahat beliau. Kamar di lantai dua masih sama seperti sebelumnya, ditata sedemikian rapi dan selalu wangi meskipun Fawnia dan Dimitri tak setiap hari berkunjung.
Duduk termenung di kursi meja rias, Fawnia memandangi foto pernikahan berukuran sangat besar yang tergantung pongah di dinding tepat di depan tempat tidurnya. Foto pernikahannya dengan Dimitri dua tahun lalu, wajah ayunya terlihat sangat berseri dalam bingkai tersebut. Pun demikian dengan wajah Dimitri yang tersenyum lebar hingga kedua matanya menyipit membentuk garis yang memperlihatkan kebahagiaan mereka sebagai pengantin baru. Itu dulu, sebelum ikrar yang menggerus hati Fawnia terucap satu minggu yang lalu.
Fawnia mengambil nafas panjang. Patah hatinya kian terasa menyakitkan jika berlama-lama memandangi foto penuh kenangan itu. Jadi ia memutuskan untuk berpindah ke tempat tidur. Menyembunyikan tubuhnya ke dalam selimut tebal, berharap segera terlelap meskipun hanya beberapa jam di siang hari ini.
Entah berapa lama Fawnia akhirnya bisa terpejam, rasanya baru beberapa menit saja. Karena ia tiba-tiba terbangun saat mendengar derit pintu kamar mandi yang terbuka. Ini kamarnya dan Dimitri, jadi Fawnia yakin yang baru saja keluar dari kamar mandi adalah pria itu. Fawnia membuka mata perlahan, meski masih berat dan mengantuk ia memaksakan diri untuk bangun bersandar pada sandaran tempat tidur.
“Maaf membangunkanmu.” ternyata benar, Dimitri yang keluar dari kamar mandi hanya dengan memakai celana pendek dan singlet berwarna hitam. Warna yang kontras dengan badan tegapnya yang berwarna terang. Jangan lupakan juga rambutnya setengah basah yang ia keringkan dengan handuk kecil di tangannya.
“Hmm… bang. Maaf aku juga gak tau kalau tadi abang di kamar mandi.” cicit Fawnia dengan suara serak khas bangun tidur.
“Lanjutkan tidurmu Nia, mumpung bisa istirahat.” lanjut Dimitri dengan nada pelan.
“Tapi bang.. kita kan, hmm…”
“Satu ruangan dengan mantan suami nggak akan menimbulkan dosa Nia. Abang juga ngantuk, tapi abang tidur sofa saja.” Dimitri menoleh dan mengarahkan pandangannya pada sofa panjang di ujung tempat tidur mereka.
“A-.. aku aja yang keluar bang, biar abang bisa tidur di sini.”
“Lalu mereka akan curiga karena kita tak sekamar? dan tau lebih cepat tentang perpisahan kita?” sambung Dimitri dengan nada datar. “Mama masih sakit Nia, jadi tolong.. nanti saja jika ingin terang-terangan menjaga jarak dari abang.”
Fawnia terdiam, bukan itu maksudnya. Ia tak ingin menjaga jarak dari DImitri, tapi bukankah pria itu sendir yang sengaja merentangan jarak di antara mereka berdua. Lagi pula, sampai kapanpun Fawnia akan menjaga perasaan mama Wulandari. Bahkan ia tak sedikitpun berniat memberitahu orang tua Dimitri perihal perceraian mereka. Fawnia akan menunggu sampai Dimitri sendiri yang menyampaikan tentang perpisahan mereka pada kedua orang tuanya juga keluarga besar Fawnia.
“Gak gitu maksudku bang.” lirih Fawnia masih memaku pandangannya pada sepasang netra kelam milik Dimitri.
“Kalau gitu please, tetap disini dan lanjutkan istirahat siangmu. Nanti abang bangunin menjelang ashar.” itu perintah, dan Fawnia tau titah Dimitri tetap tak bisa ia tolak meskipun ingin.
Fawnia memilih diam. Tak ada gunanya juga ia mendebat pria menawan itu dikala ia sendiri dilanda kantuk yang teramat sangat. Jadi yang bisa ia lakukan adalah kembali menyembunyikan diri dalam selimut tebal di ranjangnya. Meringkuk demi menjemput rasa kantuk yang tadi sempat hilang.
▪️▪️▪️
Sepertinya hari mulai beranjak sore, karena sinar matahari tak segarang beberapa jam lalu. Fawnia lagi-lagi terbangun dari tidurnya, kali ini karena bukan karena dect pintu, melainkan karena suara berisik yang lagi-lagi ia dengar dari arah kamar mandi. Suara seseorang yang memuntahkan seluruh isi perutnya semakin terdengar jelas ketika Fawnia beranjak mendekat ke kamar mandi.
“Bang… Bang Dim. ” panggilnya pelan. “Abang kenapa?” tanyanya mulai khawatir.
Dimitri pria tangguh yang sangat jarang sakit. Mendengarnya muntah-muntah seperti ini tentu saja membuat Fawnia dilanda cemas berlebihan. Ia tak ingin Dimitri juga jatuh sakit seperti mama Wulandari.
“Bang….” panggilnya lagi karena masih belum ada jawaban dari Dimitri.
Hanya terdengar suara kran air yang baru saja dimatikan. Sedetik kemudian sosok pria yang ia panggil sudah berdiri di depannya sambil mengusap mulut yang sedikti basah. Pucat, namun keningnya mengeluarkan banyak keringat besar-besar.
“Masuk angin mungkin.” jawab Dimitri santai.
Tangan Fawnia spontan terangkat dan memeriksa kening Dimitri. Dingin.
“Ehh, maaf.” Fawnia kembali menarik tangannya yang dengan lancing menyentuh wajah Dimitri.
Ingat Fawnia dia bukan siapa-siapamu lagi sekarang. Batin Fawnia bergejolak.
“Tapi abang gak demam kok.” lanjut Fawnia.
Dimitri mengangguk lantas berjalan pelan ke arah sofa. “Mungkin efek semalam pulang terlalu larut. Perut abang jadi gak enak, mual terus.” gumamnya lirih.
“Hmm… mau aku buatkan teh hangat?”
“Biar bik Minah aja Nia, kamu pasti capek habis nemenin mama semalaman kan.” pria itu menggeleng dan meringis bersamaan. Tangannya bergerak memutar di atas perut, mungkin ia masih mual pasca muntah-muntah barusan.
“Gak apa-apa bang, biar aku yang buatkan teh hangat, sekalian lihat keadaan mama.” potong Fawnia lantas cepat berlalu keluar kamar bahkan sebelum Dimitri sempat membalas kalimatnya.
Ada sedikit bagian hati Dimitri yang tersentil ketika melihat Fawnia sekhawatir itu padanya. Perempuan lemah lembut itu selalu saja menumpahkan seluruh perhatian padanya, meskipun Dimitri lebih sering mengacuhkan dan bersikap dingin pada Fawnia. Kedekatan Dimitri dan Fawnia sangat jarang terjadi, itupun bisa dihitung dengan jari.
“Bang, ini teh hangatnya diminum dulu. Aku bawain minyak kayu putih juga, nanti balurkan di sekitar perut, punggung sama d**a biar enakan.” saran Fawnia setelah ia meletakkan teh hangat dan minyak angin yang biasa digunakan keluarganya saat merasa kurang enak badan.
Dimitri mengangguk. “Hhmm ... makasih banyak Nia. Minta tolong kamu balurkan ke punggung ya.” jawab Dimitri lantas tanpa sadar langsung membuka kaosnya hingga bertelanjang dadà dan memunggungi Fawnia.
Kening Fawnia berkerut penuh tanya melihat kelakuan Dimitri yang di luar kebiasaannya. “Hah? Apa bang?” tanya Fawnia sambil menatap Dimitri tak percaya.
Ini beneran Dimitri yang minta tolong?
Dimitri tertegun sambil memegangi kaos di depan dadà, ia baru sadar dengan tingkah konyolnya. Seolah-olah ia sedang berbicara dengan Fawnia sebagai istri yang biasanya cepat tanggap merawatnya juga ketika kesehatannya menurun. Entah apa mungkin karena efek samping dari mual dan muntah beberapa waktu lalu itu ikut mempengaruhi cara kerja otaknya.
“Hah… nggak apa-apa. Lu- lu- lupakan aja yang abang katakan barusan.” sela Dimitri sedikit terbata. Dengan gerakan pelan ia memakai lagi kaos berwarna hitam yang tadi sempat ia lepaskan.
Mendadak keduanya terdiam dan merasa canggung dengan suasana di sekitar mereka, hingga akhirnya Fawnia bersuara lagi dan hendak keluar kamar.
“Ngg … oke. Aku ke bawah dulu kalau gitu, mau lihat keadaan Mama.” ucapnya segera berbalik dan keluar kamar menuju lantai bawah.
Dimitri memperhatikan punggung Fawnia yang berlalu meninggalkannya seorang diri di kamar. Setelah Fawnia benar-benar keluar, Dimitri menghembuskan nafas lega. Setidaknya perempuan itu tak perlu berlama-lama melihat rona merah yang mendadak menghiasi pipinya yang timbul karena tingkah anehnya. Dimitri tak tahan untuk tidak melengkungkan senyum di bibir tipisnya, seolah menertawakan kebodohannya sendiri.
“Dimitri … Dimitri … otak kamu kemana sih? baru seminggu yang lalu kamu menalak cerai Fawnia. Bisa-bisanya hari ini malah menginginkan perhatiannya lagi.” gumamnya dalam hati.
***
Tbc