8 - Menyuapi Istri

1911 Kata
Dimitri baru pulang ke rumahnya saat jam yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukkan angka sebelas malam. Menghabiskan waktu berjam-jam dengan Nola, ternyata hampir saja membuatnya lupa untuk kembali pulang. Andai saja ia tak merasakan hal janggal dalam hatinya beberapa waktu lalu, mungkin saat ini ia masih betah berada di apartment Nola untuk bercengkrama dengan perempuan manis yang sekarang sering mengganggu pikirannya itu. Saat keluar dari mobil, matanya sedikit menyipit karena melihat rumahnya yang lebih gelap dari biasanya, hanya lampu teras dan lampu taman yang menyala. Biasanya Fawnia akan tetap menyalakan lampu ruang tengah meskipun ia tinggal tidur. Karena Dimitri tau pasti bahwa perempuan itu sedikit takut akan kegelapan jika sedang sendirian. Masuk ke dalam rumah, Dimitri keheranan karena hanya disambut gelap di seluruh penjuru ruangan. Termasuk kamar tamu yang biasa digunakan Fawnia. Melihat pintu kamar tersebut yang sedikit terbuka, Dimitri memutuskan untuk mendekat. Tiba-tiba jantungnya melaju lebih cepat, perasaannya kalut. Takut akan terjadi sesuatu yang tak diharapkan pada Fawnia. Membuka pintu kamar lebih lebar, menyalakan saklar lampu, Dimitri dibuat lebih keheranan lagi karena kamar tersebut kosong. Bahkan tempat tidurnya tetap rapi, juga meja rias yang terlihat lebih kosong dari biasanya. Mencoba mengusir gelisah, Dimitri mengambil ponsel dari saku celananya. Ckk… ternyata ponselnya mati. Pantas saja sejak sore tadi tak ada panggilan masuk atau pemberitahuan pesan yang mengusik dirinya. Dimitri segera beranjak ke kamarnya dan segera mengisi daya ponselnya. Sambil menunggu sedikti terisi, pria tersebut menuju dapur untuk mengambil air dingin dari lemari pendingin. Dan, rasa penasarannya seketika lenyap ketika menemukan sticky notes berwarna merah muda tertempel di pintu lemari pendingin yang hendak ia buka. Aku ke rumah Mama, karena beliau kurang sehat. Tadi Papa yang jemput. Segera nyalakan ponsel karena sejak tadi sore Papa khawatir. Dimitri hafal, itu adalah tulisan tangan Fawnia. Mantan istrinya itu memang sering meninggalkan esan sederhana seperti ini di pintu lemari pendingin jika ia merasa sulit menghubungi Dimitri. Entah sampai kapan kebiasaan Dimitri lupa mengisi daya ponselnya itu akan berakhir. Dulu, Fawnia yang sering mengingatkannya untuk rutin mengisi daya, agar selalu bisa dihubungi oleh kedua orang tuanya. Sekarang? Jangankan mengingatkan, berbicara dengan Dimitri saja Fawnia terlihat sangat membatasi diri. ‘Bang Dim, ponselnya jangan lupa dicek baterainya ya.’ ‘Bang Dim, pesan dari Mama dibalas dong, kasihan Mama kangen tuh.’ ‘Bang Dim, pesanku gapapa diabaikan, tapi balas pesan dari Mama ya.’ Sejenak Dimitri terpekur, mengingat segala perhatian dari perempuan yang sekarang berstatus mantan istrinya itu. Ada sedikit rasa kehilangan yang merajai benaknya setiap kali mengingat wanita berperangai lemah lembut itu. Segera menenggak habis air mineral yang baru saja ia ambil dari lemari pendingin, Dimitri bergegas membersihkan diri dan berganti pakaian. Tujuannya satu, rumah sang orang tua. Karena besok akhir pekan, Dimitri tak perlu membawa pakaian kantor untuk dibawa ke rumah orang tuanya. Ia benar-benar hanya berganti pakaian santai dan segera melajukan kendaraannya lagi ke daerah Citraland, tempat tinggal ayah ibunya. Faw Afsheen : Bang dimana? ada Papa di rumah. Faw Afsheen : Mama kurang sehat bang, kita diminta ke rumah Mama. Faw Afsheen : Bang… Faw Afsheen : Bang aku duluan ke Citraland, sama Papa. Abang nanti nyusul ya. Faw Afsheen : Bang… Rentetan pesan dari Fawnia segera memenuhi ponsel Dimitri sesaat setelah pria itu mengaktifkan lagi gawainya. Dalam perjalanan ke rumah orang tuanya, ia juga sempat membalas pesan dari mantan istrinya itu. Dimitri : keadaan mama gimana Nia? Dimitri : abang lagi di perjalanan ke rumah Mama. Hanya centang satu, Dimitri berpikir pasti Fawnia sudah terlelap tidur mengingat saat ini sudah lewat tengah malam. Butuh sekitar empat puluh menit untuk sampai di tempat tinggal orang tua Dimitri. Begitu sampai, lagi-lagi Dimitri hanya disapa keheningan karena sebagian besar penghuni rumah sudah terlelap tidur. Hanya ada Pak Parno, salah satu pekerja di kediaman Sudirman yang masih terjaga dan membantu membukakan pintu gerbang untuk Dimitri. ▪️▪️▪️ “Kamu sibuk terus bang? jangan sampai abai sama kesehatan.” ucap mama Wulandari keesokan harinya. Kondisi beliau tak jauh berbeda dari semalam. Masih merasakan saki kepala yang begitu hebat, lemah dan hanya bisa berbaring di tempat tidur. Ajakan Fawnia serta Dimitri untuk memeriksakan diri ke dokter juga belum membuahkan hasil. Karena menurut mama Wulandari sakitnya beliau masih tergolong ringan dan hanya perlu memperbanyak istirahat. “Harusnya aku yang bilang gitu ke Mama. Mama jangan terlalu sibuk ngurusin bunga-bungaan sampai abai sama kesehatan gini. Gak enak kan rasanya sakit?” cibir Dimitri yang saat itu sedang memijat kaki sang ibu yang ia angkat ke atas pangkuannya. Untuk mengisi kesibukan di usia senja, mama Wulandari memang membuka toko bunga tak jauh dari rumah besar ini. Hanya terpisah tiga atau empat bangunan di sebelah kanan rumah, sangat dekat karena itu mama Wulandari sangat senang dengan kegiatannya tersebut. Hitung-hitung menyalurkan hobbynya berkebun kata beliau. “Tapi kalau denger mama sakit kamu pulang kan? ya nggak apa-apa lah sakit dikit, asal mama bisa melepas kangen sama anak dan menantu kesayangan mama.” jawab mama Wulandari sambil melengkungkan senyum tipis di atas bibirnya yang masih pucat. Dimitri menghentikan gerakan tangannya memijat kaki sang ibu. Ia menoleh dan menatap tak suka pada perempuan yang telah melahirkannya tersebut. “Ck.. Mama gitu banget sih? kesannya kayak aku susah ditemui banget, padahal masih sekota juga.” “Laah… emang susah dihubungi kamunya bang. Kemaren aja papamu telpon terus tapi ponselmu mati, Fawnia kirim pesan juga katanya lama bales. Kebiasaan deh kamu, padahal mama lagi kepikiran terus sama kamu bang.” “Kepikiran apa lagi Ma?” Dimitri melanjutkan lagi kegiatan sederhana yang sudah lama tak ia lakukan untuk sang ibu. Dipandanginya kedua kaki sang ibu yang dibalut kaus kaki panjang, begitu terlihat lemah seolah tak ada tenaga. “Gak tau bang, beberapa hari ini perasaan Mama kayak gak enak gitu. Minggu lalu juga sempat mimpiin kamu sama Fawnia.” Dimitri mendadak gelisah dalam duduknya. Pria itu melirik sekilas pada sang ibu yang masih bercerita tentang mimpi mengenai dirinya dan sang istri, hm… mantan istri tepatnya. Semalam Dimitri tak bertemu sama sekali dengan Fawnia, jadi ia tak tau pasti apakah perempuan itu sudah menceritakan perihal perpisahan mereka pada mama Wulandari atau belum. Tadi subuh pun, Dimitri hanya sekilas bertemu dengan Fawnia ketika perempuan itu sudah sibuk di dapur guna memasak untuk sarapan ibunya. “Mimpi gimana emangnya Ma…” Dimitri mencoba menormalkan lagi ekspresi wajahnya. Saat ini tentu saja waktu yang tak tepat untuk memberitahu tentang perpisahannya dengan Fawnia. Ia tak ingin kesehatan ibunya semakin memburuk setelah mendengar kabar tersebut. “Mimpi kalian saling diam gitu, terus ada Fauzan yang narik-narik Fawnia agar ikut dengannya. Sedangkan kamu cuma diem aja ngeliat Fawnia pergi.” jawab mama Wulandari tanpa merasa curiga. “Kalian gak kenapa-kenapa kan?” “Hmm… gak usah diambil pusing Ma, itu kan cuma mimpi. Cuma bunga tidur.” Dimitri tersenyum demi menenangkan sang ibu. “Tapi kalian baik-baik saja kan? Fawnia semalam menangis.. tapi dia gak mau bilang kenapa. Pas mama tanya, dia cuma jawab lagi terharu dan bersyukur aja karena punya suami kayak kamu dan punya mertua kayak mama papa.” Deg..!! Bersyukur? Fawnia bersyukur punya suami seperti dirinya? Dimitri mematung untuk sesaat, tak habis pikir kenapa Fawnia justru mengatakan bersyukur memiliki suami seperti dirinya. Suami yang.. tak pernah bisa mencintainya. “Ma…” panggilan Fawnia di ujung pintu membuat Dimitri dan mama Wulandari menoleh bersamaan. Perempuan manis itu tersenyum sambil membawa nampan berisi sepiring nasi, semangkok semur daging dan s**u hangat di kedua tangannya. “Sarapan dulu Ma. Nia udah masakin semur daging nih buat mama. Dihabisin ya.” lanjut Fawnia tak melunturkan sama sekali senyum damai di wajah putihnya. Dimitri memandangi Fawnia dengan seksama, senyum perempuan itu terlihat sangat tulus pada ibunya. Dia yakin Fawnia sedang memainkan sandiwara terbaiknya demi mertua kesayangannya. “Makasih sayang, kamu pasti capek ya kalau di sini mama repotin terus?” mama Wulandari menarik kedua kakinya dari pangkuan Dimitri dan menegakkan duduknya pada sandaran tempat tidur. Fawnia mendekat dan duduk di kursi meja rias, sebelah tempat tidur ibu mertuanya. Ia letakkan nampan di meja kecil dan hanya mengambil mangkok berisi semur buatannya. “Nggak lah Ma, repot apaan sih.. Nia kan udah biasa masak setiap pagi.” “Bang..” mama Wulandari memanggil Dimitri dan mengendikkan dagu pada mangkok yang dibawa Fawnia. “Hah? Apa ma? Kenapa?” tanya Dimitri tak paham dengan kode yang dilemparkan sang ibu. “Semalam Fawnia sudah suapin Mama, sekarang giliran kamu dong yang suapin mama. Duuh.. dasar anak mama gak peka.” keluh sang ibu seraya menggelengkan kepala. “Oh.. minta suapin, oke.” Untuk beberapa detik tatapan Dimitri beradu pandang dengan Fawnia. Namun perempuan itu segera memutus terlebih dahulu karena tak ingin Dimitri menyadari jejak air mata yang masih membekas di sana, sisa tangisnya semalam. Gegas, Fawnia mengulurkan mangkok yang ia bawa ke arah Dimitri, yang langsung disambut oleh pria itu. “Mama konsisten ya..” Dimitri sedikit terkekeh ketika menyuapkan sendok pertama pada ibunya. Kening mama Wulandari berkerut. “Konsisten gimana?” “Manja kalau lagi sakit.” tiga puluh dua tahun mengenal sang ibu, tentu Dimitri sudah hafal dengan tindak tanduk perempuan dengan tatapan teduh tersebut. “Namanya juga sakit bang, pengennya juga lebih dimanja. Lha emangnya Fawnia nggak manja-manja gitu kalau lagi sakit?” Uhukk..!! Uhukk..!! Fawnia yang masih setia duduk di sebelah mama Wulandari mendadak tersedak ketika mendengar pertanyaan ibu mertuanya. Manja? Tentu saja Fawnia ingin dimanja juga. Sayangnya, Dimitri tak memahami isi hatinya. Jangankan memahami Fawnia, bertanya tentang keadaannya saja hampir tak pernah ia lakukan. “Minum dulu nduk.” kata mama Wulandari yang langsung diangguki Fawnia. Ia cepat-cepat menuangkan air minum dalam gelas kecil dan menenggakkan habis. “Makanya kalau habis makan, minum air putih yang banyak biar gak tersedak.” Sambung mama Wulandari lagi. “Ehh.. kamu sudah makan kan Faw?” “Belum ma, nanti saja gampang.” respon Fawnia. “Makan dulu cantik.” bujuk mama Wulandari lagi. “Iya ma, nanti.. setelah memastikan mama menghabiskan sarapan dan minum obatnya.” balas Fawnia datar. Tak mau dibantah, mama Wulandari justru bergeser sedikit untuk menjangkau satu sendok dengan pegangan berwarna biru diatas nampan, lantas menyerahkannya pada Dimitri. “Suapi istrimu juga bang Dim, Fawnia kelihatan semakin kurus. Pasti karena kecapekan ngurusin kamu tiap hari deh.” Seperti orang linglung, Dimitri yang terkejut langsung menerima sendok baru dari tangan sang ibu, sambil mengangguk mantap. Dan Fawnia ratusan kali lebih terkejut lagi ketika melihat Dimitri mengangguk dengan senyuman khas yang menjadi ekspresi favorit Fawnia dulu. Dimitri menyendokkan nasi dan potongan daging dengan sendok yang baru ia terima. Tangannya menggantung di udara ketika melihat wajah pias Fawnia yang masih terdiam memaku tatapan penuh tanya padanya. “Aaakk…” ucap Dimitri lirih menyentak kesadaran Fawnia. Perempuan itu gelagapan, melirik bergantian pada Dimitri dan ibu mertuanya. “Buka mulut dulu Fawnia, benar kata Mama, kamu juga harus jaga pola makan.” lanjut Dimitri tenang, namun menimbulkan sedikit buncah di hati Fawnia. Pikiran Fawnia masih terkoneksi pada kebingungan dan ketidakwajaran seorang Dimitri. Tapi ia tetap membuka mulut, menyambut uluran makanan dari tangan mantan suaminya. Barulah Dimitri tersenyum tipis seolah penuh kelegaan. Untuk sekian detik, Dimitri menunduk dalam. Pikirannya terpecah pada banyak hal. Satu hal sederhana yang tak pernah ia lakukan pada Fawnia sejak menjadi istrinya selama dua tahun ke belakang. Satu fakta yang pasti, ada perasaan nyaman dan menyenangkan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, menjalar di hatinya. Begini rasanya menyuapi seorang istri? Iya, Fawnia memang masih istrinya kan meski hanya di mata hukum negara. ➜➜➜➜➜ Duuuh bang Dim... baru nyesel kan selama ini udah sia-siain Fawnia, sukurin deh linglung. (^o^ლ)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN