10 - Rencana Bersama

1552 Kata
Dua hari sudah Fawnia dan Dimitri merawat mama Wulandari di rumahnya, namun sayang tak ada perkembangan berarti pada kesehatan wanita paruh baya tersebut. Hingga akhirnya pada minggu malam Dimitri memutuskan untuk membawa sang ibu ke salah satu rumah sakit swasta di Surabaya. Dan akhirnya diketahui sudah jika mama Wulandari terkena gejala demam berdarah yang mengharuskan beliau untuk dirawat selama beberapa hari di rumah sakit. Tak mampu menolak lagi, mama Wulandari akhirnya patuh untuk dirawat atas permintaan keluarganya. “Abang pulang aja kalau memang masih mual.” bisik Fawnia pada Dimitri. Mereka berdua sedang merapikan baju-baju milik mama Wulandari yang baru saja dikirimkan oleh Bi Minah. “Gak apa-apa, abang masih bisa tahan.” jawab Dimitri lirih, ia tak ingin sang ibu yang baru saja terlelap setelah diberikan infus jadi terbangun karena suara berisik mereka berdua. “Jangan sampai ikutan sakit, gak ada yang bantu rawat.” lanjut Fawnia tanpa melepaskan fokus dari travel bag yang kembali ia lipat untuk diletakkan di lemari kecil dekat tempat tidur sang mertua. Dimitri menghembuskan nafas pelan. Benar juga apa yang Fawnia katakan, jika ia ikut jatuh sakit tak ada yang akan merawatnya seperti dulu yang selalu Fawnia lakukan. Setelah sore tadi ia merasakan muntah yang begitu hebat saja sudah membuat tubuhnya lemas. Ditambah selepas maghrib ia harus kelimpungan membawa sang ibu ke rumah sakit. Tak bisa ia bayangkan jika dirinya ikut tumbang di saat tak tepat seperti ini. Entah lagi jika Nola yang akan membantu merawat dirinya suatu saat nanti. Ah… Nola ya? Bagaimana bisa Dimitri memikirkan Nola di saat-saat seperti ini. Ketika ia berada di rumah sakit pula. Tapi, dua hari tanpa bertemu muka seperti ini memang sedikit banyak menimbulkan rindu di hati pria tak tahu malu itu. “Ya sudah, begitu Papa datang aku akan pulang. Senin besok juga masih banyak kerjaan di kantor.” “Gak usah memaksakan masuk kerja jika.. hmm… jika abang masih merasa kurang enak badan.” sela Fawnia yang sekarang duduk di kursi tunggal sebelah ranjang mama Wulandari. Sebenarnya masih ada sekelumit rasa khawatir di hari perempuan itu, namun tutupi untuk mencegah Dimitri mengetahui perasaan yang sejujurnya. “Ini cuma mual biasa Nia, gak usah berlebihan.” decak Dimitri lantas kembali memusatkan pandangan pada benda pipih di tangannya. Sepertinya seseorang tengah menghubunginya, karena Fawnia mendengar getaran ponsel yang dipegang pria itu. “Iya Pa..” ucap Dimitri setelah menempelkan ponsel di telinga kanannya. Mengangkat panggilan yang Fawnia yakini dari papa Sudirman, ayah mertuanya. “Di lantai tiga Pa, kamar teratai.” lanjut Dimitri menyebutkan kamar rawat sang ibu. Pria tegap yang kini memakai sweater tebal itu berjalan membuka pintu dan menoleh kanan kiri seolah mencari sosok ayahnya. Sepertinya papa Sudirman sudah dekat, namun kesulitan menemukan kamar rawat dimana sang istri menginap. Dan benar saja, selang beberapa menit kemudian tampak papa Sudirman sudah tiba di depan pintu kamar rawat mertuanya. Pria sepuh yang masih gagah tersebut tersenyum melihat putra dan menantunya. Tadi saat mama Wulandari diantar ke rumah sakit, Sudirman memang sedang tidak ada dirumah karena harus memeriksa proses pembangunan tambak yang sedang beliau bangun di daerah Gresik. Melihat ayah mertuanya masuk, Fawnia berjalan mendekat dan segera mengecup punggung tangan papa Sudirman dengan takzim. "Makasih ya nduk, papa tadi langsung ngebut begitu baca pesan dari kamu." "Nggih pa." jawab Fawnia singkat. "Mamamu tidur?" lirih Sudirman karena melihat istrinya hanya diam tak bersuara. "Iya Pa, habis diinfus langsung bisa tidur." "Ya sudah biar papa yang jagain. Kalian bisa pulang." Fawnia dan Dimitri sontak saling melempar pandangan. Kikuk. Gagu. "Fawnia nginap sini aja Pa, biar bang Dim yang balik, lagi gak enak badan soalnya." Fawnia gegas bersuara. Sudirman mengerutkan kening. "Nggak apa-apa nduk, biar Papa yang disini." "Nggak pa, tadi Fawnia udah janji sama mama. Nia tetep di sini sampe mama sehat dan bisa pulang lagi." kata Fawnia langsung berjalan ke ranjang kecil yang disediakan rumah sakit untuk pihak keluarga yang menjaga pasien. Menghembuskan nafas panjang, akhirnya Sudirman hanya bisa mengalah pada kehendak sang menantu. “Eaalah nduk, ya sudah kalau gitu. Sana antar suamimu dulu ke depan.” Lagi-lagi Fawnia dan Dimitri saling melempar tatapan canggung. Namun Fawnia segera tersenyum pada ayah mertuanya demi menutupi renggangnya hubungannya dengan sang mantan suami kini. “I- iya Pa.” Fawnia mengangguk pelan, lantas berjalan sedikit membungkuk ketika melewati papa Sudirman. “Ayo bang.” ucapnya ketika sudah bersebelahan dengan Dimitri. “Hmm… Pa, aku balik dulu, besok harus ke kantor pagi-pagi banget.” “Oke, untung ada istri kamu yang jadi anak perempuannya Mama bang, kalau nggak pasti kita udah kewalahan ya.” ucap papa Dimitri menepuk pelan bahu putra tunggalnya. Dan Dimitri hanya menjawab dengan anggukan serta senyum samar untuk ucapan penuh bangga dari sang ayah tersebut. Ya, seharusnya ia merasa beruntung jika mempunyai istri penyayang dan penuh pengertian seperti Fawnia. Hanya saja, entah kenapa hatinya masih terasa berat untuk benar-benar menerima kehadiran perempuan manis itu. “Abang gak usah khawatir dengan keadaan Mama. Nanti aku kasih kabar kalau ada perkembanagan lagi. Abang cukup sehatin diri abang aja sekarang.” ucap Fawnia ketika posisi mereka berdua sudah jauh dari kamar rawat sang ibu. “Makasih Nia, kamu selalu bisa diandalkan untuk menenangkan Mama.” ujar Dimitri tulus ketika mereka sudah tiba di area parker rumah sakit. “Hmm...” Fawnia hanya mengangguk tanpa mengangkat pandangannya. “Aku balik ke atas dulu Bang, Oiya.. tadi aku sudah siapin obat sakit magh di atas nakas kamar, minum dulu sebelum tidur. Jaga juga menu makannya, jangan sering-sering makan junk food. Minta bikini bekal ke Bi Minah mumpung di rumah Mama.” satu minggu lebih tak memasakkan Dimitri sama sekali, Fawnia yakin pria itu akan memilih makanan cepat saji untuk menghemat waktu. Dimitri hanya diam menekuri wajah perempuan yang setia menunduk di hadapannya itu. Dulu, sudah menjadi hal biasa jika Fawnia selalu khawatir dan perhatian akan kesehatan Dimitri. Tapi kini ketika mereka sudah berganti status menjadi mantan suami istri, sedikit menimbulkan rasa bersalah yang bercokol di hati Dimitri jika melihat Fawnia masih Nampak begitu cemas akan kesehatannya. “Aku bukan anak TK lagi Fawnia, aku pria dewasa yang bisa jaga diri sendiri.” ujar Dimitri berusaha menyembunyikan perasaan aneh akibat perhatian kecil Fawnia. “Ya sudah terserah abang, aku cuma mengingatkan. Hati-hati di jalan kalau begitu.” pamit Fawnia cepat-cepat tetap tak berani menatap wajah Dimitri. Meninggalkan pria tegap itu tanpa harus mendengarkan jawabannya lagi. ▪️▪️▪️ “Jadi tante Wulan sakit?” tanya Nola begitu ia duduk berhadapan di ruangan Dimitri dengan meja kerja Dimitri sebagai pemisah. Mereka baru saja selesai menghadiri meeting bulanan dengan seluruh divisi di Galeea Construction, perusahaan tempat mereka berdua bekerja. “Ya.. begitulah, sejak semalam di rawat di rumah sakit.” “Di Berlian PHC?” Nola menyebutkan salah satu rumah sakit swasta yang tak jauh dari kediaman Dimitri. “Iya.” “Sakit apa?” Sedikit banyak Nola masih mengingat sosok perempuan cantik bernama Wulandari yang tak lain adlaah ibu dari Dimitri. Mengenal Dimitri lebih dari tujuh tahun membuat Nola juga mengenal orang tua dari sahabatnya itu. Dulu saat remajanya, sepulang dari sekolah atau kegiatan kampus, Nola sering mampir untuk sekedar beristirahat di rumah Dimitri. Dan mama Wulandari selalu menyambutnya dengan baik. “Gejala demam berdarah, sebelum jadi demam berdarah beneran kami memaksa mama untuk dirawat inap sekalian.” “Kami?” “Aku, Papa, dan… Fawnia. Dulu kamu tau sendiri kan kalau mama orang yang anti dengan dokter atau rumah sakit kalau gak terpaksa banget. Jadi yaa… gitulah, butuh sedikit paksaan untuk meyakinkan beliau agar bersedia dirawat di sana.” Nola, mengangguk pelan mendengar jawaban Dimitri. Wulandari yang ia tau memang wanita yang jarang bersentuhan dengan obat-obatan medis, kalaupun beliau merasa kurang fit, beliau selalu mengkonsumsi minuman rempah-rempahan yang diolah sendiri. “Hmm… jadi Fawnia masih disana. Maksudku… katamu kalian sudah bercerai kan? tapi kalian masih tinggal bersama? sama kedua orang tua kamu juga?” “Iya, tapi kami masih tinggal satu atap untuk beberapa bulan kedepan. Fawnia yang minta waktu hingga aku memulangkannya baik-baik pada keluarganya. Lagipula…” Dimitri menjeda kalimatnya untuk membukakan tutup minuman kaleng yang ia beli Nola dan dirinya sendiri. “Mama sama Papa belum tau tentang perpisahan kami. Sepertinya kurang tepat juga kan ngasih tau mereka saat mama lagi sakit gini.” lanjut Dimitri sambil menatap lembut ke arah Nola yang bergantian menyiapkan sumpit untuk mereka berdua. Tadi Dimitri memang sudah memesan bento pada OB di kantor mereka, jadi ketika jam makan siang seperti sekarang mereka tak perlu lagi menghabiskan tenaga keluar kantor setelah berjam-jam menghadiri rapat yang dipimpin langsung oleh Pak Irawan, sang pemilik perusahaan. “Iya juga sih Dim, utamakan kesehatan tante Wulan dulu.” saut Nola mulai menyuap makan siangnya. “Hmm… Dim, aku boleh tanya sesuatu?” lanjut Nola membuat Dimitri langsung mendongak mengamati raut wajah lawan bicaranya. “Hmm.. aku tau ini terlalu cepat, bahkan terkesan tak tau malu. Tapi aku penasaran Dim.” “Tentang?” “Misalnya kita sudah sama-sama berpisah dari pasangan masing-masing, apa masih ada kesempatan untuk kita bersama? Seperti.. dulu, bahkan lebih.” ucap Nola seraya tersenyum tipis hingga menampakkan gigi gingsulnya. Dimitri tersenyum dan mengambil salah satu tangan Nola yang bebas di atas mejanya. Memandang perempuan cantik itu dengan seksama, dengan penuh kasih, dan sedetik kemudian pria itu mengangguk mantap sebagai jawaban. ➜➜➜ Ada yang tau alamatnya Nola?? mau kirim sate sianida nih...( ꈍᴗꈍ)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN