11. Mau Bertanggung Jawab

1083 Kata
"Ibumu sudah baik-baik saja." Affan mendekati Raihanah dan mencoba mengusap bahunya, namun Raihanah langsung menggeser duduknya. Bu Salamah tidak dibawa ke Rumah Sakit, wanita itu menolaknya dan baru bersedia dibawa ke Rumah Sakit jika Affan sudah menikah dengan Raihanah. Akhirnya, Affan melakukan perawatan di rumah. Affan pun menghela napasnya, lalu ia duduk di samping Raihanah dengan masih menjaga jarak darinya. "Apa, semalam benar-benar terjadi sesuatu di antara kita?" tanya Affan. Raihanah sedikit terkejut dengan pertanyaan Affan. Benarkah laki-laki itu tidak ingat sama sekali sepertinya? "Sa-saya tidak ingat, ta-tapi bagaimana bisa kita ...." Raihanah tak mampu mengucapkan apa yang terbesit di pikirannya. "Mungkin Ibu sanggup memapahku ke kamar, tapi Anda? Mana mungkin Ibuku sanggup?" "Apa, kau merasakan em sakit di bagian intimmu?" tanya Affan membuat Raihanah memalingkan wajahnya ke samping, pipinya memerah karena malu mendengar pertanyaan Dokter Affan padanya. Melihat respon Raihanah, Affan pun diam, apa yang dikatakan Raihanah sebelumnya benar, dan dugaan Affan tertuju pada makanan yang ia bawa dari cafe dan restoran yang dimakan oleh dia dan Raihanah. Kemungkinan teman-temannya memasukan sesuatu ke dalam makanan itu saat dia pamit ke kamar mandi. "Ya sudah, aku pulang dulu, untuk mengurus surat-suratnya," ujar Affan. Mendengar itu Raihanah langsung menoleh pada Affan. "A-apa anda benar-benar bersedia menikah dengan saya?" tanyanya. Affan menatap lekat wajah sembab Raihanah, lalu teringat dengan kondisi Bu Salamah dan apa yang sudah terjadi pagi ini disaksikan oleh Pak RT dan beberapa warga. "Aku sudah mengiyakan, tak mungkin aku mundur," jawab Affan, setelah mengatakan itu ia pun keluar dari rumah Raihanah. "Ya Allah, apakah cara ini benar?" gumam Raihanah. "Dan, apa benar semalam terjadi hal itu di antara kami?" "Hanah," ucap Bu Salamah lirih memanggil putrinya. "Iya Bu," jawab Raihanah, kemudian ia segera pergi menemui ibunya di kamar. Sementara itu Affan di dalam perjalanan pulang menuju rumahnya, laki-laki itu terus mencoba mengingat kejadian semalam. Dia benar-benar tak merasa menyentuh Raihanah. Bahkan dia tak menemukan jejak pada tubuhnya sendiri. "Tapi, tidak mungkin ibunya Hanah berbohong," gumam Affan. Affan mengingat pengakuan Bu Salamah yang mendengar suara-suara dari kamar putrinya. "Kenapa dia tidak mencegahnya?" ujar Affan heran. Kemudian perhatian Affan tertuju pada suara dering ponselnya. Tepat saat dia menghentikan mobilnya di halaman rumahnya. "Mama," gumam Affan saat melihat nomor ibunya di layar ponselnya. "Ck, pasti mau memintaku menikah lagi dengan anak kenalannya." Tiba-tiba Affan teringat dengan Raihanah dan rencana pernikahan mereka. "Mungkin menikah dengan Hanah jauh lebih baik, dia tidak akan banyak menuntut seperti para perempuan yang dikenalkan Mama." Affan menatap layar ponselnya, tapi satu hal yang membuat Affan ragu adalah, mungkin ibunya tak akan merestui Raihanah karena perbedaan status sosial mereka. "Ck, mungkin nanti saja kalau kami sudah menikah," ujar Affan, pria itu lalu keluar dari mobil dan pergi masuk ke dalam rumahnya. *** Dua hari sudah berlalu. Raihanah baru saja menyuapi obat ibunya yang terlihat semakin lemah. "Apa Pak Dokter datang?" tanya Bu Salamah. Raihanah menggelengkan kepalanya. "Tidak Bu," jawabnya. Raihanah pikir, Dokter Affan pasti mengurungkan niatnya, bagaimanapun dia hanya gadis kampung yang miskin, tidaklah pantas bersanding dengan Dokter Affan yang berpendidikan dan juga orang berpunya. Bahkan semalam Raihanah memikirkan semuanya, andaipun Dokter Affan memang benar-benar bersedia bertanggung jawab dengan menikahinya, belum tentu orang tua Dokter Affan bersedia menerima dia menjadi menantu mereka, bisa jadi orang tua Dokter Affan melarang putra mereka untuk datang kembali ke tempat ini. Dia tidak punya apapun untuk menahan Dokter Affan, laki-laki itu bisa saja kabur. "Bu, Hanah ikhlas atas semua yang terjadi, lebih baik kita ke rumah sakit sekarang ya, Ibu pucat," ujar Raihanah. "Ibu tidak akan meninggalkan rumah ini kemanapun, jika bukan Dokter Affan sendiri yang membawa Ibu pergi ke rumah sakit setelah dia menikahimu," ujar Bu Salamah dengan tegas. "Bu ...," lirih Raihanah, ia benar-benar hampir putus asa, ingin menangis, tapi percuma, tangisnya tidak akan merubah segalanya. Kini, Raihanah duduk seorang diri di ruang tamu rumahnya, sudah berkali-kali dirinya melihat ke luar rumah, berharap Dokter Affan datang, tapi harapannya tak kunjung terkabul. Kemudian Raihanah melihat pada ponsel bututnya, melihat pada nomor Mas Dokter yang tersemat di sana. Ingin menghubungi dan bertanya, tetapi Raihanah ragu. "Ya Allah, entah kenapa hatiku merasa ini salah," gumam Raihanah. Hingga kemudian Raihanah mendengar suara mobil memasuki halaman rumahnya. Wanita itu dengan rasa penasarannya, melihat siapa yang datang di jam delapan malam. "Mas Dokter," gumam Raihanah setelah dia melihat mobil putih yang ia kenali sebagai milih Dokter Affan. Kemudian, Raihanah pun membuka pintu rumahnya dan merapikan sedikit penampilannya. "Kau belum tidur?" tanya Affan. "Assalamualaikum, Mas Dokter," ucap Raihanah. Affan hanya tersenyum tipis lalu masuk ke dalam rumah calon istrinya. Dia meletakan beberapa paper bag di atas meja ruang tamu. "Bagaimana keadaan ibumu?" tanya Affan. "Ibu sedang istirahat, baru minum obat," jawab Raihanah. "Hm, nanti aku akan memeriksanya, ini kau periksa, apa ukurannya cocok untukmu atau tidak," ujar Affan. Raihanah pun mengerutkan keningnya. "A-apa itu Mas?" tanya Raihanah. "Gaun pengantin, aku beli yang khusus muslimah untukmu," jawab Affan sambil membuka botol air minum mineral miliknya. Mendengar itu Raihanah begitu terkejut, dengan segera dia membuka paperbag di atas meja, ada sebuah kotak di masing-masing paperbag. "Bukalah dan coba, aku kira ukurannya pas untukmu," ujar Affan. "Apa, benar Mas Dokter akan menikahiku?" tanya Raihanah, ia masih ragu. Affan menghela napasnya. "Jika tidak, untuk apa aku jauh-jauh pergi ke Jakarta dan langsung kembali ke sini, aku sudah urus surat-suratnya," jawab Affan. "Sudah aku katakan, aku akan bertanggung jawab, menyelamatkan harga dirimu, soal urusan lain, itu kita pikirkan nanti," ujar Affan. "Cobalah itu, aku akan memeriksa kondisi ibumu." Setelah mengatakan itu, Affan membawa tas kerjanya masuk ke kamar Bu Salamah, meninggalkan Raihanah yang masih terdiam mencerna semua kata-kata Dokter Affan. Kemudian Raihanah menatap kembali pada paperbag di atas meja, ia ambil isinya dan membuka kotak itu. Kotak pertama berisi sebuah sepatu dengan nomor yang sesuai ukuran kakinya, lalu kotak kedua yang ia buka, benar-benar membuat Raihanah ingin menangis, air mata langsung menggenang di pelupuk matanya. Sebuah gaun pengantin berwarna putih dengan beberapa butir kristal Swarovski yang tanpak gemerlap terkena sinar lampu ruang tamu. Bahannya begitu lembut, dengan tangan gemetar, Raihanah menyentuhnya. Sementara di kamar Bu Salamah, wanita itu baru saja membuka matanya dan dia menghela napasnya lega melihat siapa seseorang yang tengah memeriksa tubuhnya. "Ini, bukan mimpi, kan?" tanya Bu Salamah. Affan langsung menoleh pada Bu Salamah. "Saya periksa ya Bu," jawab Affan. "Hanah bilang Dokter tidak akan datang, Ibu yakin, Nak Dokter pasti laki-laki yang bertanggung jawab," ujar Bu Salamah. "iya kan?" "Bu, kondisi Ibu semakin melemah," ujar Affan. "Kita ke rumah sakit ya Bu!" Bu Salamah tetap menggeleng. "Tidak sebelum kalian menikah," ujarnya bersikeras.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN