12. Tertampar Kenyataan

1587 Kata
“Permisi Mbak Erin.” Adara menyapa seorang perempuan yang sedang sibuk menarikan jemarinya di atas keyboard. Menghentikan sejenak kegiatannya untuk menatap Adara yang sudah berdiri di depan mejanya. “Ya, Adara. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan. Tidak lupa memasang senyuman manis yang khas. Memainkan perannya dengan sangat baik sebagai seorang sekretaris. “Pak Vigonya ada nggak ya, Mbak?” tanya Adara hati-hati. Sukses membuat Erin menatapnya penuh tanya. Baru kali ini ada anggota dari tim desain yang hadir dan menanyakan keberadaan Vigo. Biasanya hanya Rieena yang hadir perihal perkembangan desain sebelum dibawa ke rapat. Atau terkadang Ayeesha yang menggantikan Rieena pun atas perintah Rieena. Tim desain menghargai posisi Rieena sebagai istri Vigo sekaligus desainer utama Vieena. Jadi pembahasan pekerjaan akan lebih lancar jika Rieena yang menghadap secara langsung. Kehadiran Adara yang tiba-tiba tentu saja menimbulkan banyak pemikiran di kepala Erin. “Kamu disuruh Bu Yena?” tanya Erin memastikan. Tidak bisa untuk langsung meloloskan Adara masuk ke dalam ruangan Vigo. Erin masih mengingat jelas wajah jutek Rieena saat itu. Erin yang notabennya adalah sekretaris Vigo, harus mendapatkan tatapan tajamnya yang menyebalkan. Erin hanya enggan ada hal-hal buruk yang akan terjadi dan ia menjadi pihak yang bersalah. Adara menggeleng. “Ada yang perlu saya bicarakan dengan Pak Vigo, Mbak,” ucap Adara lirih. Erin semakin memincang curiga. “Soal pekerjaan, ‘kan? Biasanya Mbak Yena yang datang sendiri ke sini kalau soal kerjaan.” Adara kembali menggeleng. “Soal saya dan keberadaan saya di sini,” ucap Adara pada akhirnya. Erin tercengang sesaat, tapi setelahnya mengangguk-angguk mengerti. Enggan bertanya lebih jauh karena bukan bagian dari pekerjaannya. Setelahnya, Erin hanya sibuk berbicara dengan seseorang yang mengisi satu ruangan di sana. “Adara boleh masuk,” ucap Erin setelah sambungan terputus. Adara mengangguk paham dan sempat mengucapkan terima kasih. Setelahnya memasuki ruangan bosnya. Adara sempat menahan diri untuk tidak mencari tahu lebih lanjut. Ia juga selalu menumbuhkan kepercayaan jika ia menjadi bagian dari Vieena karena kemampuannya. Ia mengikuti tahapan demi tahapan seperti pelamar lainnya. Adara juga mengingat jelas jika Rieena yang menerimanya secara langsung setelah mengikuti sesi wawancara. Setelahnya, Adara menjadi salah satu tim desain yang cukup tanggap dalam pekerjaannya. Tidak jarang Rieena mengutarakan rasa bangganya atas pekerjaan Adara. Satu poin tambahan yang sukses menurunkan rasa rendah diri Adara yang melambung itu. Sebelum akhirnya kembali dihempaskan oleh kenyataan yang beberapa saat lalu didengarnya. Adara tidak mau pikiran negatif itu kembali melingkupinya dan membuatnya nampak bodoh di mata orang-orang. Selama ini Adara menganggap dirinya mampu dalam pekerjaan, tapi ia tidak pernah tahu alasan sebenarnya atas keberadaanya di sini. Entah memang karena Adara memiliki kemampuan yang Rieena cari sebagai bagian dari timnya atau justru hanya karena bantuan seseorang. “Permisi, Pak Vigo,” sapa Adara. Vigo menoleh dan mengangguk. Mempersilahkan Adara untuk duduk dan menyampaikan maksud kehadirannya. “Sebelumnya saya meminta maaf karena sudah mengganggu waktu Bapak.” Vigo kembali mengangguk. Tidak memberi banyak respon dengan kata-kata. Membawa aura dingin yang membuatnya nampak berwibawa dan layak untuk dihormati. Namun di sisi lainnya, Vigo juga nampak hangat dan penyayang. “Ada yang perlu saya tanyakan di luar pekerjaan, Pak.” Vigo menyorotnya penuh tanya. “Di luar pekerjaan?” tanyanya memastikan. Adara mengangguk. “Mengenai saya dan keberadaan saya di sini.” Adara menghela napas sebelum melanjutkan kalimatnya. “Saya tahu ini sedikit tidak sopan, tapi saya memerlukan alasan untuk keberadaan saya di sini dengan posisi saya, Pak.” Vigo tersenyum sesaat. “Kamu tidak sedang menganggap kalau saya menerima kamu atas permintaan Ragha Ganendra, ‘kan?” Adara terkesiap. Tanpa memerlukan banyak kalimat untuk menjelaskan, tanpa perlu banyak waktu yang terbuang. Vigo bahkan sudah mampu menangkap dengan sangat jelas maksud kehadirannya. “Adara, saya memang mengenal Ragha secara pribadi. Bahkan jauh sebelum kamu menikah dengan Ragha. Tapi hal itu tidak akan membuat saya sampai harus menurunkan kriteria karyawan yang saya cari. Vieena memiliki kriteria yang sudah ditentukan sejak awal. Kamu juga sudah mendapat bimbingan langsung dari Rieena sebelum benar-benar resmi diangkat menjadi bagian dari tim. Jadi apa yang membuat kamu sampai hadir dan menanyakan secara langsung alasannya?” Adara kembali menghela napas. Ia sadari betul kalau selama ini ia selalu menumbuhkan rasa percaya diri untuk alasan-alasan yang sama. Hanya saja, beberapa waktu terakhir mulai hadir hal-hal yang mengganggunya. Yang lagi-lagi menyerang tepat di pusat rasa percaya diri itu. Membuatnya kian lumpuh, membuatnya kian meredup. “Tapi saya hadir untuk menggantikan Aluna yang sebelumnya resign, Pak.” “Lalu? Bukankah sudah menjadi hal biasa dalam satu perusahaan, jika ada yang resign maka harus ada yang menggantikan? Tapi sekali lagi, kehadiran kamu jelas bukan hanya sekadar menggantikan posisi yang sebelumnya kosong. Kamu memiliki kemampuan yang kami cari.” Adara terdiam untuk beberapa saat. Merasa masih belum puas dengan apa yang Vigo sampaikan. Ia ingin mendengarkan satu pengakuan yang sebenarnya juga enggan ia dengar. Adara berada dalam posisi serba salah sekarang. Di satu sisi ia ingin mengetahui kenyataan yang ada, namun di sisi lain ia takut hatinya akan kembali dipatahkan jika kenyataannya berjalan sesuai dengan yang ia pikirkan. Vigo menghela napas. “Ragha memang sempat menghubungi saya sebelum sesi wawancara saat itu. Tapi bukan untuk meminta agar kamu diterima. Ragha hanya mengatakan jika memang kamu mampu, Ragha menitipkan kamu pada perusahaan kami. Tapi jika memang tidak mampu, dia meminta agar kami memberi lebih banyak waktu agar kamu bisa belajar sampai memenuhi kriteria yang kami cari.” Seharusnya Adara lega setelah mendengar apa yang ingin ia dengar. Bukan malah merasakan sesak yang membuat parunya kesulitan menarik oksigen. Menimbulkan satu kediaman berlarut yang terasa kian menyiksa. “Jadi magang dan bimbingan dari Bu Yena saat itu bagian dari permintaan Ragha?” “Kami memang memiliki pelatihan khusus untuk karyawan baru. Magang yang kamu jalani juga bimbingan yang kamu dapat adalah bagian dari pelatihan yang kami siapkan.” Adara mengangguk saja. Enggan membahas hal ini lebih lanjut karena semakin bertambahnya kalimat-kalimat yang terlontar, hati Adara kian tersiksa. Adara bukan perempuan bodoh yang tidak mengerti makna di balik kalimat-kalimat itu. Vigo hanya memperhalus kalimatnya. Supaya terdengar lebih sopan saat sampai di pendengarannya. Tapi makna sebenarnya hanya, Adara tidak layak bergabung dalam tim tapi karena Ragha sudah menghubungi Vigo terlebih dahulu membuat Vigo merasa tidak enak hati jika harus menolak. Dan berakhir, Adara menerima bimbingan khusus agar setelah bergabung dengan tim desain secara resmi, setidaknya ia bisa mengikuti. Walaupun tidak memiliki andil besar di dalamnya. Seharusnya Adara menyadari hal itu sejak awal. Seharusnya ia tahu, mengapa Rieena sering kali mengarahkannya untuk membantu tim fashion dalam hal pemotretan produk. Bukan malah menciptakan desain-desain baru yang membutuhkan konsentrasi penuh. Adara mungkin lulusan desain. Ia juga memiliki ketertarikan pada dunia desain. Tapi sejauh ini, Adara hanya menjalaninya dengan sekadarnya. Adara bukanlah mahasiswi yang super pintar dan menjadi kebanggaan dosen di kampusnya. Daripada itu, Adara jauh lebih sering mendapat nasihat panjang lebar dari dosennya karena desain yang ia buat nampak datar dan biasa saja. Bukan sesuatu yang baru, yang harus dibanggakan. Parahnya lagi, Adara lebih sering kehilangan fokus dalam proses belajarnya. Tiba-tiba saja Adara berhasil menjadi bagian dari Vieena yang sudah dikenal banyak orang. Vieena yang memiliki karyawan dengan kemampuan mumpuni di bidang masing-masing. Termasuk Reygan yang masih magang, tapi memiliki kemampuan yang baik dalam hal fotografi. Tidak sepertinya yang hadir hanya karena bantuan tidak langsung dari sang suami. Juga hanya sebagai sosok yang menggantikan, melengkapi formasi yang sebelumnya kosong. *** Ragha menghela napas panjang guna menghilangkan sesak yang menyerang parunya. Menyandarkan punggungnya di kepala kursi guna mengistirahatkan tubuhnya yang seharian ini bekerja keras. Sementara kepalanya terus berputar dan memproduksi banyak hal. Yang sebenarnya membuat waktu istirahatnya tidaklah ada gunanya. Vigo baru saja menghubunginya. Memberi satu informasi tidak terduga yang sukses membuat kepalanya tidak lagi fokus untuk diajak bekerja. Kehadiran Adara menjadi alasan utamanya. Ragha tahu, cepat atau lambat Adara akan mengetahui keberadaannya dengan segala hal yang ia sembunyikan. Bukan karena ia terlampau tega pada sang istri. Hanya saja, Ragha ingin menyertai Adara untuk setiap langkah yang diambilnya. Ragha juga bukan tidak mempercayai kemampuan Adara. Ia hanya tidak bisa untuk terus melihat istrinya bersusah payah sendirian dengan kerutan di kening yang selalu nampak dalam pandangan. Menandakan jika Adara lelah dengan segala hal yang membebaninya. Ragha sudah menawari bantuan sejak awal. Namun Adara yang keras kepala selalu menolak dengan alasan, “aku bisa sendiri.” Belum lagi segala cercaan yang Mama layangkan tanpa pikir panjang, menjadi faktor lainnya yang memaksa Adara untuk teguh berdiri di kakinya sendiri. Mengabaikan keberadaan Ragha yang jelas nampak di sisi. Adara tidak egois. Ragha percaya itu. Adara bersikap seperti ini hanya untuk melindungi hatinya yang berkali-kali dibuat patah. Adara berlari sejauh ini untuk menghilangkan sesak juga beban yang dipikul pundaknya. Tanpa sadar, jika jarak itu justru terbentang semakin lebar dan membuat Ragha tertinggal jauh di belakang. Jika Adara selalu berpikir tidak mampu menyamai langkahnya dengan Ragha, sekeras apapun berusaha, Ragha justru berpikir sebaliknya. Sejak awal cerita ini dimulai, Ragha tidak pernah berniat untuk menjaga jarak bahkan sampai berlari menjauh. Ia ingin senantiasa berjalan bersisian, apapun yang terjadi. Namun keadaan tidak menyenangkan yang terjadi berkali-kali membuat Adara melepaskan genggaman tangan mereka dan memilih meninggalkan Ragha. Ya, dalam pandangan Ragha, Adara yang terus berlari menjauh. Bukan Ragha yang meninggalkan Adara di belakang. Ia menarik Adara hadir di hidupnya tentu bukan untuk membuatnya tidak bahagia. Ragha menginginkan kehidupan pernikahan mereka yang bahagia dan berjalan dengan semestinya. Namun sayangnya, banyaknya kepala yang turut andil dalam cerita membuat keinginannya tidak semudah itu sampai pada kata pencapaian. Yang ada kian merenggang, menghampiri sebuah akhir. Satu yang membekas dan selalu membuat Ragha merasa bersalah. Adara tidak pernah benar-benar bahagia sejak bersamanya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN