11. Pertentangan Pertama

1719 Kata
Ketika membuka mata di pagi hari, Adara sudah tidak menemukan keberadaan Ragha di sisinya. Ranjang kamar yang semalam ia bagi dengan keberadaan Ragha kini kembali ia kuasai sendiri. Adara enggan bertanya lebih jauh atas kepergian Ragha tanpa berpamitan. Adara sudah terbiasa dengan segala hal yang tidak masuk akal untuk ukuran hubungan suami istri. Namun mau bagaimana lagi? Hubungan mereka memang setidak jelas ini. Tanpa memikirkan lebih jauh, Adara langsung beranjak dari tidurnya. Menganggap kehadiran Ragha semalam hanya sebuah mimpi yang menyapanya. Maka begitu ia membuka mata di pagi hari, mimpi itu akan sirna. Bersamaan dengan kesadarannya yang memulih. Adara masih dalam masa cutinya hari ini. Tapi tidak membuatnya lupa untuk beranjak dari tidur untuk membersihkan diri. Ia ingin menghabiskan satu harian ini di dapur bersama bibi dan Dhia. Ya, Adara masih mengingat jelas keberadaan adik iparnya itu. Adara memang tidak begitu dekat dengan Dhia. Perempuan muda yang masih berkuliah itu jarang sekali pulang. Bukan hanya karena kerja part time yang harus dijalaninya, namun Dhia juga memiliki sahabat setia yang sama-sama merantau. Membuatnya lebih betah berada di kota perantauan. Lagi pula, memakan cukup banyak biaya jika terlalu sering bolak-balik pulang. Dhia tergolong tidak peduli dengan apa yang terjadi di rumah. Daripada hanyut dalam pemikiran tidak menyenangkan yang mengganggu, Dhia lebih suka menghabiskan waktunya dengan mengagumi idol-idol dari negeri ginseng yang memanjakan mata. Perempuan itu bahkan tidak pernah absen untuk membeli album-album yang dikeluarkan pihak agensi jika idol favoritnya mengeluarkan lagu baru. Termasuk masalah yang hadir di tengah rumah tangga Adara dan Ragha. Dalam diamnya, Dhia mungkin sudah bertanya-tanya sendirian. Namun enggan ikut campur. Selain bukan urusannya, masalah rumah tangga semacam itu juga belum sanggup Dhia ketahui. Dhia masih harus memikirkan masa depannya sendiri. Tanpa beban masalah yang tidak kunjung usai. “Pagi, Mbak.” Sapaan hangat yang menyapa rungu Adara begitu memasuki area dapur. Dhia sudah mengisi salah satu kursi makan, lengkap dengan makanan yang dihidangkan di meja. Wajahnya yang biasanya nampak jutek kala diam, kini terlihat menyenangkan dalam pandangannya. Adara tidak bisa untuk tidak tersenyum dan membalas sapaan itu tidak kalah riang. “Mbak kesiangan lagi, maaf ya, Dhi,” ucap Adara seraya menduduki salah satu kursi dan meneguk segelas air putih yang sudah Bibi siapkan. Dhia menggeleng tidak masalah. “Nggak apa-apa, Mbak. Dhia paham kok. Tadi Mas Agha juga bilang kalau Mbak Daranya jangan digangguin dulu. Kasihan capek.” Ada kelegaan yang menyapa lembut perasaannya. Baguslah kalau Ragha masih menunjukkan sisi baik-baik saja di hadapan adiknya. Juga menutupi kekurangan Adara dalam hubungan mereka. Membuat Dhia tidak mengetahui sesuatu yang sedang terjadi dalam ikatan ini. Adara hanya takut, Dhia jadi tidak nyaman berada di rumah ini kalau mengetahui semua yang sedang terjadi. Adara sadari, Dhia ini satu-satunya keluarga suaminya yang mau berdekatan dengannya. Menyapa lembut dengan senyuman yang teramat manis. Satu-satunya yang tidak menatapnya dengan sorot kebencian atau rasa iba. Membuat Adara nyaman berada di sekitar adik bungsu Ragha. “Mbak Dara nggak ke kantor?” tanya Dhia. Menatap keheranan karena Adara masih mengenakan pakaian santainya. Adara menggeleng. “Mbak libur, Dhi. Cuti tiga hari.” “Mbak masuk ke kantornya Mas Vigo ‘kan ya?” tanya Dhia. Ia mendapatkan informasi ini dari Ragha. “Kamu tahu Pak Vigo?” Dhia mengangguk antusias. “Mas Vigo ini kakaknya Lura, Mbak. Mbak Dara tahu ‘kan temanku yang cerewetnya minta ampun dan senang banget minggat dari rumah? Nah Lura ini adik bungsu dari Mas Vigo. Mbak kerja bareng Mbak Yena juga dong?” Adara mengangguk-angguk. Cukup terkejut dengan kenyataan yang ada. Ternyata dunia ini memang sempit. Ia pikir tidak akan ada yang mengenal siapa ia saat memasuki kantor Vieena. Namun nyatanya, tidak demikian. Menimbulkan satu pertanyaan dalam hati, Adara masuk dan diterima di kantor Vieena bukan karena Ragha, ‘kan? “Mas Agha kenal Pak Vigo, Dhi?” tanya Adara. Ingin memastikan sesuatu yang tiba-tiba hadir dan mengganggunya. “Kenal tapi nggak begitu dekat, Mbak. Cuma kenal aja. Mbak Dara ‘kan tahu kalau Mas Agha anti sosial. Dia nggak pernah bisa akrab sama orang lain. Aku aja sempat kaget waktu Mas Agha bilang mau nikah. Dalam hati aku nanya-nanya gini, emang ada perempuan yang mau sama Mas Agha?” Adara terkekeh dengan cerita yang Dhia bawa. Adik kecil Ragha nampaknya sosok yang cerewet dan mudah bergaul. Tidak kaku dan terkesan monoton seperti Ragha. Jika Ragha adalah warna kelabu yang suram dan tenang. Dhia memiliki warna yang lebih beragam. Membuatnya nampak menyenangkan dalam pandangan. Bahkan hanya dengan mendengarkan cerita-cerita biasa yang terdengar lebih menarik begitu Dhia yang bercerita. “Kok Mbak Dara mau sih sama laki-laki kaku begitu?” tanya Dhia blak-blakan. Satu sifat yang terlampau kontras dengan Ragha. “Mbak juga nggak tahu sejak kapan semuanya dimulai,” jawab Adara jujur. Namun Dhia yang memang tidak mengetahui kejadian sebenarnya sudah sibuk marah-marah dengan Ragha sebagai sasarannya. “Tuh ‘kan Mas Agha pasti pakai cara nggak bener biar Mbak Dara mau.” Senyuman yang awalnya mengembang dengan raut wajah lembutnya, mengikuti cerita-cerita Dhia dengan antusias, kini berubah meredup. Senyumannya kecut. Nampak jauh berbeda dengan senyuman di awal tadi. Kalimat Dhia mungkin benar. Namun bukan hanya Ragha yang harus disalahkan dalam cerita mereka. Karena pada kenyataannya, kesalahan Adara juga turut memperburuk suasana. Jika saja dulu Adara lebih tegas dan menolak kehadiran Ragha, semuanya tidak akan serumit ini. Ragha tidak akan berlaku lebih dan membuatnya harus terikat. “Ya ampun maaf, Mbak Dara. Maksudku nggak gitu. Aku cuma bercanda tadi. Dhia emang bego, ya ampun,” ucap Dhia heboh begitu menyadari raut wajah Adara yang sudah berubah. Adara buru-buru menggeleng dan memasang senyuman menenangkan. Menampilkan wajah seolah baik-baik saja. Ia tidak suka melihat Dhia yang justru menyalahkan dirinya sendiri. “Maafin aku, Mbak. Seharusnya aku tahu kalau Mas Agha sayang banget sama Mbak, makanya menikahi Mbak dan menentang kemauan Mama.” “Kamu tahu soal Mama yang nggak setuju sama hubungan kami?” tanya Adara hati-hati. Jika saja Dhia tidak membuka pembicaraan semacam ini, Adara tidak akan menanyakan lebih lanjut. Karena ia pikir, memang sudah paling baik kalau Dhia tidak mengetahui semuanya. Ada satu ketakutan yang mendominasi dalam hati. Jika saja Dhia mengetahui alasan sebenarnya di balik pernikahannya dengan Ragha, Dhia akan berbalik dan melayangkan tatapan kebencian yang sama. Dan hal itu semakin menegaskan kalau memang keberadaan Adara bukan di sini. Ia memang tidak pernah layak untuk mendampingi Ragha. “Tahu dikit, karena menurutku itu urusan Mas Agha dan Mama. Nggak seharusnya aku ikut campur terlalu dalam.” “Soal Mbak Sana?” Raut wajah Dhia langsung berubah sebal begitu Adara membawa satu nama. “Hah Ya Tuhan. Aku tuh sebenarnya malas banget kalau udah bahas si sana sini itu, Mbak.” “Dhia tahu kalau Mas Agha sebelumnya bertunangan sama Mbak Sana, ‘kan?” Dhia mengangguk. “Tahu. Tapi Mas Agha terpaksa sama pertunangan itu.” Adara kian tidak mengerti dengan pembicaraan ini. Ia masih mengingat jelas senyuman seperti apa yang selalu Ragha tunjukkan di hadapan Sana. Sikap lembutnya, juga tatapan kekagumannya. Bahkan sejak mereka masih duduk di bangku SMA, Sana adalah satu-satunya yang bisa menduduki sisi Ragha. Menjadikannya sebagai satu-satunya yang nampak di pandangan Ragha. Sana juga sosok yang terlampau sempurna. Sebagai sesama perempuan saja, Adara bisa begitu mengagumi Sana. Bukan hanya dari pahatan wajahnya yang cantik atau proporsi tubuhnya yang bagus. Sana juga sosok yang terpelajar dan berasal dari kalangan atas. Dibandingkan Sana, Adara bukanlah apa-apa. Satu hal lainnya yang membuat Adara tetap teguh dengan pendiriannya. Jika ia memang harus mengakhiri hubungan ini dengan Ragha. Membiarkan Ragha kembali pada Sana dan memulai kehidupan mereka yang jauh lebih baik lagi. Ragha tidak pernah mencintainya. Itu yang Adara sadari sejak awal. Kehadiran Ragha dengan segala tingkahnya hanya sebuah formalitas. Ragha saat itu membutuhkan tempat untuk pelampiasan, dan Adara menjadi sandaran terakhirnya. Bukan karena Ragha tertarik dengan Adara. Namun karena Adara hanya perempuan muda polos yang mudah dibohongi. “Mas Agha nggak pernah jatuh cinta sama si sana sini itu, Mbak.” Dhia berucap dengan senyuman lembut. Mencoba menenangkan kakak iparnya yang nampak terguncang dengan pembicaraan mereka di pagi hari. “Mama emang suka banget sama si Sana itu sejak dulu. Kayaknya kalau Mama laki-laki, Mama yang akan menikah sama si Sana. Pertunangan mereka juga atas paksaan Mama dan kayaknya sih, Sana itu udah baper duluan sama Mas Agha, makanya mau-mau aja disuruh tunangan. Padahal Mas Aghanya udah nolak sejak awal.” “Mas Agha menolak pertunangan itu?” tanya Adara tidak percaya. Dhia mengangguk mantap. Ia yakin betul dengan apa yang dibicarakan. “Aku nggak pernah tahu sih sejak kapan kalian dekat. Karena Mas Agha tipe yang tertutup banget sama perasaannya. Mas Agha udah kayak air yang dingin dan tenang banget. Tapi dengan Mas Agha yang bisa bertindak tegas dan ambil keputusan untuk menikahi Mbak Dara saat itu, udah jadi bukti kalau Mas Agha punya rasa lebih sama Mbak Dara. “Mas Agha nggak pernah menentang permintaan Mama sejak awal, Mbak. Pernikahan Mbak dan Mas Agha jadi pertama kalinya untuk pertentangan itu. Kalau Mbak masih ragu, coba Mbak lihat lagi, untuk apa Mas Agha menikahi Mbak dan membawa Mbak untuk masuk dalam ceritanya, yang pasti berat dan penuh rintangan, kalau bukan karena cinta?” Adara termenung dalam diam. Ia tidak pernah mengetahui hal ini sebelumnya. Karena memang yang nampak dalam pandangannya, hanya kehadirannya yang salah. Ia yang tidak seharusnya masuk dalam cerita ini dan menghancurkan semua hal indah yang sudah disepakati. Ragha menikahinya hanya karena pertanggungjawaban, tidak pernah lebih dari itu. Juga sikapnya yang perlahan berubah dengan keberadaannya yang kian menjauh. Menjadi sebuah alasan kuat, jika memang Adara bukanlah prioritas. Adara bukanlah sosok yang penting dan layak dicintai dalam cerita mereka. “Aku emang sok tahu untuk banyak hal, Mbak. Tapi yang satu ini, aku yakin seratus persen kalau Mas Agha memang punya perasaan mendalam sama Mbak. Mungkin Mas Agha nggak pernah bilang secara terang-terangan, tapi dari sikapnya, dari sorot matanya, aku bisa menyimpulkan kalau Mas Agha memang mencintai Mbak.” Adara tersentak dengan kalimat Dhia yang terakhir. Ia menatap Dhia dengan sorot tanya yang nampak dengan sangat jelas. Namun Dhia tidak mengucapkan apa-apa. Hanya tersenyum dan menyampaikan kalimat lanjutan yang tidak bisa Adara tangkap dari sorot matanya. Selama ini, dalam diamnya, Dhia mengetahui apa yang terjadi. Dhia mengetahui hubungannya dan Ragha yang tidak baik-baik saja. Dhia juga mengetahui, jika sudah sejak lama Adara hidup dalam perasaan tidak menyenangkan. Yang semakin bertambahnya waktu, semakin membuatnya tersiksa. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN