13. Di Sudut Hati Adara

1940 Kata
Suasana sepi menyambut begitu Ragha keluar dari mobilnya. Lampu rumah sudah padam nyaris keseluruhan. Hanya menyisakan lampu teras sebagai satu-satunya penerangan. Wajar, karena memang sudah mendekati larut malam. Nyaris pukul dua belas. Mungkin seluruh penghuni rumah sudah tidur nyenyak di kamar masing-masing. Ragha sengaja pulang terlambat. Jika hari-hari sebelumnya ada banyak pekerjaan yang memaksanya untuk menetap di kantor sampai larut, hari ini lain cerita. Ia hanya sedang membatasi pertemuannya dengan Adara setelah kejadian siang tadi. Enggan mendapati pertanyaan yang memaksanya untuk jujur dan menyampaikan semuanya. Adara tidak akan semudah itu menganggap semuanya baik-baik saja setelah mendengar pengakuan dari Vigo. Satu-satunya cara yang terpikirkan hanya ini. Sembari mencari waktu yang tepat untuk menyampaikan semuanya pada Adara. Agar tidak terjadi hal buruk yang lebih parah dari sebelumnya. Ragha melangkah masuk sembari meregangkan ototnya yang lelah. Sebelah tangannya melepaskan dasi yang seharian ini melilit lehernya. Menuju dapur di bagian belakang rumah. Tenggorokannya terasa kering dan ia membutuhkan segelas air putih. “Mas.” Ragha menoleh setelah meletakkan gelasnya di atas meja. Mendapati Adara di ujung tangga. Memberinya tatapan sendu yang tanpa sadar membuatnya mengumpat lirih. “Kamu kenapa belum tidur? Ini udah hampir jam dua belas, Dara,” ucap Ragha. Jelas sekali nada tidak suka dari suaranya. “Masuk kamar dan tidur,” lanjut Ragha sebagai satu perintah mutlak. Enggan menerima penolakan dalam bentuk apapun. Sayangnya, Adara tidak mengindahkan perintah itu. Justru melangkah mendekati Ragha yang hanya bisa menghela napas malas. Hari sudah malam. Ia juga lelah bekerja seharian. Ragha hanya ingin buru-buru memasuki kamarnya dan tidur dengan nyenyak. Namun nampaknya, Adara tidak akan membiarkannya tidur nyenyak malam ini. Keduanya masih harus melewati sesi perdebatan yang sama, untuk kesekian kali. “Ada yang mau aku tanyakan sama Mas,” ucap Adara begitu sudah berdiri tepat di hadapan Ragha. Memperhatikan penampilan suaminya yang berantakan, juga gurat kelelahan yang nampak jelas. Namun, Adara tidak bisa menekan egonya. Satu fakta yang didengarnya siang tadi memaksanya untuk meminta penjelasan pada Ragha. Dan ia enggan menunda lagi. “Ini udah malam, kita masih punya banyak waktu untuk pembicaraan yang kamu maksud. Jadi lebih baik sekarang kamu masuk kamar dan tidur,” ucap Ragha. Suaranya lirih penuh permohonan. Berharap Adara mau mengerti dan menurutinya tanpa tapi. Adara menggeleng. Menyentak tangan Ragha di bahunya. “Aku benar-benar butuh bicara sama Mas. Dan juga aku nggak yakin kita masih punya banyak waktu untuk pembicaraan semacam ini. Aku nggak pernah tahu akan ada hal mengejutkan lainnya nanti.” Sorot mata Ragha yang tajam kini meredup. Menatap gambaran ayu sang istri yang jelas nampak di hadapan. Namun terasa sulit untuk ia gapai. Karena secara sadar, Ragha tahu, Adara yang kini berdiri di hadapannya bukanlah Adara yang ia temui dulu. Adara bukan lagi perempuan polos yang mengedepankan cinta untuk menghadapi dunia. Cinta murni yang selalu ia banggakan sudah patah berkeping-keping, bersama kenyataan pahit yang menusuk kian dalam. Membuat Adara enggan menjatuhkan hatinya pada tempat yang sama. Adara si perempuan ceria yang senantiasa menunjukkan senyuman lebarnya dengan kedua pipi memerah telah hilang. Ragha hanya bisa mendapati Adara yang datar dengan tatapan tajam yang tak mudah gentar. Perempuan mungil yang dulu begitu penurut kini sudah tumbuh, tegak dalam posisinya. Tidak mudah digapai, tidak mudah dipatahkan. Nyatanya beragam kondisi kehidupan yang tak menentu sudah mengajarkan banyak hal bermakna pada Adara. Menjadikannya tumbuh dan terus tumbuh menjadi perempuan dewasa yang berpegang teguh pada prinsip. Juga membawanya kian jauh dari jangkauan Ragha. Ragha menghela napas sejenak, sebelum mengangguk untuk mempersilahkan Adara menyampaikan maksudnya. Tidak ada alasan lain yang bisa ia gunakan untuk menghindar. Ragha sudah menyadari, Adara tidak lagi mudah untuk ia bodohi. “Aku masuk jadi bagian dari Vieena karena bantuan Mas Ragha, ‘kan?” tanya Adara hati-hati. Ada getaran halus di suaranya yang lirih. Ragha tahu, pertanyaan itu menyakiti hati Adara. Namun di sisi lainnya, Adara juga menginginkan pembenaran atas pertanyaannya. Dengan hasil yang sama, menyakiti hatinya yang sudah rapuh. Ragha lagi-lagi harus menghela napas guna menghilangkan sesak yang hadir menyapa. Membuat suasana dingin itu berubah sesak. Seolah kadar oksigen yang sebelumnya suka rela ia hirup kian menipis, untuk setiap tatapan tajam yang Adara layangkan. “Aku hanya meminta kebijaksanaan Vigo dalam menerima kamu,” jawab Ragha halus. Halus sekali sampai Adara tidak yakin jika keduanya akan kembali melewati malam ini dengan perdebatan panjang. Ragha yang nampak malam ini jauh lebih terkendali, bukan seperti Ragha di malam-malam sebelumnya. Lelaki di hadapannya nampaknya jauh lebih mahir dalam memainkan peran. Mengubah kondisi yang sebelumnya tegang menjadi lebih kendur lantaran suara halusnya. Adara terkekeh sejenak. “Kebijaksanaan Mas bilang. Aku seharusnya nggak pernah masuk jadi bagian dari tim karena memang aku nggak sesuai kriteria yang mereka cari. Tapi karena Mas ikut campur dalam hal ini, Pak Vigo sampai menurunkan standarnya dan menerima aku di dalamnya. Itu yang Mas bilang kebijaksanaan?” Sejak awal Adara enggan berteriak untuk melampiaskan amarahnya. Namun keberadaan Ragha dengan kalimat halusnya, juga pembawaannya yang nampak santai seolah tanpa beban berhasil menarik amarah Adara keluar. Melampiaskan dalam sebuah bentakan yang Adara yakini bukan lagi hal baru untuk Ragha. Pernikahan dua tahun ini nyatanya tidak berjalan dengan indah. Tidak seperti cerita-cerita yang ditawarkan n****+ romantis atau kehidupan rumah tangga lainnya. Ragha dan Adara sudah melewatinya dengan beragam rasa, pertengkaran semacam ini adalah satu hal yang sudah sangat biasa untuk keduanya. “Dara, aku nggak pernah meminta Vigo untuk menerima kamu dengan tanpa alasan.” “Dan Mas Ragha yang jadi alasannya,” jawab Adara cepat. Sudah muak dengan segala alasan manis yang Ragha sampaikan. Tidak tahukah jika hal semacam ini benar-benar melukai hatinya yang sudah terluka parah? Menimbulkan rasa sakit lain yang tidak kalah menyiksa. Ragha menggeleng. Meraih bahu Adara dan memaksa sang istri agar menghadapnya. Ia lelah menjalani dua tahun ini dengan hal memuakkan yang kian membuat keduanya menjauh dalam jarak yang ada. Ia lelah melihat Adara yang terus menangis dan merasakan sakit itu sendirian. Sementara Ragha hanya bisa menatap dari jarak yang ada tanpa bisa melakukan apa-apa. “Vigo menerima kamu dan memberi kamu pelatihan tambahan karena menurut dia kamu mampu, Dara. Kamu memiliki kemampuan yang mereka cari walaupun butuh waktu lebih untuk mengasah kemampuan itu.” Air mata Adara menetes tanpa diminta. Ia lelah, sungguh. Hati dan tubuhnya benar-benar lelah menjalani hari-hari seperti ini. Ia ingin segera menyelesaikan semuanya dan berlari menjauh dari kehidupan Ragha. Ia ingin menyusuri kehidupan baru dan mencari kebahagiaan baru. Di tempat baru yang bisa menerima kehadirannya dengan lapang. Tanpa memaksakan banyak hal, tanpa meminta banyak kelebihan. Adara hanya mau kehadirannya diterima sebagai Adara yang apa adanya. “Mas bisa ‘kan berhenti membuat kondisi seolah baik-baik aja? Aku capek,” keluh Adara pada akhirnya. Air matanya menetes kian deras. Memberitahu Ragha jika jauh di dalam hati, Adara benar-benar terluka. Wajah datarnya, sikap tak acuhnya, hanya aksesoris untuk menutupi kondisinya. Adara tidak lebih dari seorang perempuan lemah yang butuh sandaran. “Ada aku di sini, Dara. Jangan terus merasa capek sendirian, jangan terluka sendirian.” Mata sembap itu menyorotnya penuh tanya. Tidak pernah mengira, tidak pernah mengerti jika kalimat semacam itu yang akan Ragha lontarkan. Membuat pertengkaran keduanya mulai berbalik arah. Tidak lagi menuju bagian klimaks yang menimbulkan perdebatan tanpa ujung. Namun justru mendekati penyelesaian yang menyematkan senyuman tipis di bibir Ragha. Sebelah tangan Ragha terulur. Memberi usapan lembut di pipi Adara yang basah oleh air mata. Mengamati wajah tidak mengerti yang nampak menyenangkan dalam pandangannya. Saat kesadaran itu kembali hadir, Adara bergerak kasar untuk menyentak tangan Ragha di pipinya. Enggan masuk ke dalam lubang yang sama. Yang akan membuatnya terperangkap kian jauh dan semakin sulit untuk berlari pergi. Kisah buruk selama dua tahun ini, hubungan tidak jelas, pertengkaran berlarut-larut. Seharusnya sudah menjadi alasan yang menegaskan agar Adara terus berdiri tegak dan enggan membuka hatinya lagi untuk Ragha. Sayangnya, rasa cinta yang ia sembunyikan di sudut hatinya mulai hadir hanya dengan keberadaan Ragha dan sikap lembutnya. Adara memang sebodoh itu jika mencintai Ragha adalah persoalannya. “Gimana bisa Mas semudah itu membicarakan mengenai keberadaan Mas, kalau pada nyatanya hubungan kita udah hancur sejak semuanya dimulai. Mas udah berada di pihak lawan sejak awal. Aku bukan perempuan bodoh yang akan kembali percaya pada kebohongan yang Mas tawarkan.” Ragha menghela napas. Ada senyuman menyakitkan yang terasa janggal dalam hati Adara. Adara tidak menyukai wajah terluka Ragha yang seperti ini. Seolah Ragha juga menyimpan perasaan yang membuatnya sakit sendirian. Padahal dalam cerita ini sudah jelas, Adara yang terluka karena keegoisan Ragha. Tidak pernah lebih dari itu. “Apa yang selama ini aku tunjukkan kurang jelas sampai kamu nggak bisa menangkap semuanya?” Kerutan di kening Adara kian dalam. Semakin tidak mengerti dengan alur pembicaraan yang Ragha bawa. Kini posisinya benar-benar berubah. Ragha tidak nampak egois. Justru Adara yang salah melangkah dan terperosok dalam kebingungannya. “Maksud Mas?” tanya Adara. Sudah tidak mampu lagi menerka-nerka sendirian. Ragha adalah lelaki paling menyebalkan yang pernah hadir di hidupnya. Tidak pernah mau bicara terus terang. Sikapnya yang terkadang berubah dalam hitungan detik. Membuat Adara menjadi perempuan bodoh karena terus terperosok dalam pemikirannya sendiri. “Aku mencintai kamu, Dara. Apa masih kurang jelas?” tanya Ragha dalam sekali tarikan napas. Adara sukses tercengang. Kepalanya tidak mampu memproduksi kata. Tubuhnya seolah kebas tanpa mampu memberikan pergerakan sedikit saja. Pun saat Ragha mendekat dan melingkarkan sebelah tangannya di pinggang. Adara tidak mampu mendorongnya menjauh atau sekadar berjalan mundur untuk menjaga jarak. Ia hanya diam dalam kebingungan yang kian tidak terkontrol. “Apa yang Mas bicarakan?” Seharusnya Adara bisa menyampaikan pertanyaannya dalam teriakan keras guna menjaga jarak. Mendorong Ragha menjauh untuk kembali melanjutkan sesi perdebatan itu. Tapi bodohnya, Adara hanya bisa bersuara pelan. Yang menimbulkan senyuman manis dari Ragha. Menyadari jika ia masih mampu mendominasi keadaan. Ragha tidak menjawab lebih. Justru mengikis jarak dan mencium kening Adara lama. Menyalurkan perasaan lain yang mendominasi dan harus Adara akui jika perasaan itu mampu menimbulkan ketenangan dalam hati. Menghilangkan beragam kegusaran dan hal buruk lainnya. Yang tersisa hanya sebuah ketenangan, yang selama ini ia cari-cari keberadaannya. “Ini udah malam, bisa kita tidur sekarang?” Ragha tetaplah Ragha. Selalu membuka hal baru tanpa pernah berniat menyelesaikannya. Menyisakan Adara sendirian dalam kebingungannya. “Mas!” sentak Adara. Menuntut penjelasan atas sikap Ragha yang tidak terduga. Adara benci untuk selalu menggantungkan pembicaraan mereka. “Sayang, kamu bisa lihat mataku yang sayu ini? Aku butuh istirahat. Bisa simpan dulu pertanyaan yang kamu punya dan kita tidur sekarang?” Sepasang mata Adara membola. Bentuknya yang bulat dengan bulu mata lentik berhasil menimbulkan gumaman kagum dalam hati. Cantik. Mata istrinya memang selalu cantik. “Kita tidur?” tanya Adara hati-hati. Ragha mengangguk tanpa beban. Kembali memberi ciuman singkat di pelipis Adara. Menimbulkan rona kemerahan yang nampak lebih jelas. “Mas nggak lagi ngigau, ‘kan?” Ragha tertawa atas pertanyaan polos itu. “Nggak sama sekali. Bisa, ‘kan?” tanya Ragha lagi. Menyampaikan permohonannya dengan begitu sopan dan halus. Disertai senyuman manis yang nampak menyenangkan dalam pandangan. Sampai Adara kembali dibuat tenggelam dalam pesona Ragha yang tidak perlu diragukan lagi. Sejenak Adara melupakan semuanya. Niat awalnya menunggu Ragha sampai pada perdebatan mereka yang belum usai. Ia justru kehilangan nyali untuk sekadar menolak. Hanya mampu mengangguk dengan sepasang pipi yang memerah lebih jelas. Menimbulkan satu senyuman puas di bibir Ragha yang kian membuat Adara tidak berdaya. Mau selama apapun Adara menumbuhkan kebenciannya pada sosok Ragha. Mau sekeras apapun ia berusaha mendorong jauh Ragha dari kehidupannya. Atau pertengkaran yang terjadi berkali-kali sampai membuat jarak kian membentang di antara mereka. Kala cinta itu masih bersembunyi di salah satu sudut hatinya, menyimpan nama Ragha sebagai satu-satunya, Adara akan selalu kalah. Cintanya lagi-lagi memenangkan posisi dan membawanya kembali tenggelam dalam cerita menyenangkan itu. Entah ini akan menjadi akhir pertengkaran mereka atau justru awal dari hal buruk yang akan menghadang. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN