14. Alasan Mencintai

1911 Kata
Adara menatap pantulan dirinya di cermin lemari dalam diam. Menggigit bibirnya kuat-kuat guna menahan suara teriakan yang mungkin akan lolos. Sembari mencerna satu kejadian yang membuatnya harus terbaring dengan Ragha di sampingnya. Masih memejamkan matanya, sebelah tangan melingkari pinggang Adara. Menegaskan jika semalam keduanya benar-benar tidur di kamar yang sama. Hanya tidur. Adara mengingat jelas jika Ragha langsung tidur nyenyak begitu keduanya memasuki kamar setelah sesi pertengkaran itu. Pertengkaran yang Adara harapkan akan menjadi akhir dari cerita mereka, tapi justru mengantarkan Adara pada kenyataan lainnya yang tidak kalah mengejutkan. Semalam Ragha menyampaikan rasa cintanya. Telinga Adara masih cukup normal untuk mendengarkan pengakuan itu. Disertai sorotan lembut dan sikap Ragha yang mengingatkan Adara pada saat-saat indah itu. Sebelum badai hadir dan menghancurkan tatanan yang sudah keduanya susun sejak awal mula. Adara melirik ke arah belakang. Memastikan jika Ragha masih nyenyak dalam tidurnya. Bergerak pelan untuk melepaskan tangan Ragha yang masih melingkari pinggangnya. Adara tidak memiliki nyali untuk menatap wajah itu dalam jarak sedekat ini. Juga kalimat pernyataan cinta Ragha yang senantiasa berdengung di telinga. Berkali-kali membuat nyali Adara ciut. Tapi sayangnya, belum juga Adara berhasil melepaskan diri, sepasang mata Ragha sudah terbuka lebar. Disertai senyuman menenangkan yang nampak begitu manis dalam pandangan. Adara nyaris menjerit jika tidak mengingat posisinya. “Mau ke mana?” tanya Ragha begitu Adara kembali menepis tangan Ragha. Hendak beranjak namun lagi-lagi Ragha melarang. Ia tidak rela ditinggalkan di waktu sepagi ini. “Ke kamar. Aku harus siap-siap ke kantor, Mas,” ucap Adara agak kesal. Yang sukses menimbulkan kerutan di kening Ragha. Kenapa juga Adara harus kesal di waktu sepagi ini? Apa lagi-lagi Ragha berhasil menarik amarah Adara? “Ini masih jam lima, Dara. Kamu nggak harus buru-buru begini,” ucap Ragha yang sudah duduk bersandar di kepala ranjang. Enggan melepaskan cekalan tangannya di pergelangan Adara. “Lagi pula, bukannya kamu punya banyak pertanyaan untuk aku pagi ini?” pancing Ragha. Ia tentu mengingat jika semalam pertengkaran mereka harus terhenti lantaran pernyataan cintanya. Adara yang sebelumnya memasang wajah sayu nyaris putus asa berubah sumringah begitu ia jujur dengan perasaannya. Bahkan api amarah yang sebelumnya meletup-letup hilang entah ke mana. Adara berubah menjadi sangat manis dan penurut. Ragha juga tidak mau lari untuk kesekian kali. Ia lelah untuk terus membiarkan Adara tenggelam dalam hal-hal buruk itu sendirian. Ragha yang sudah membawa Adara dalam hidupnya. Maka Ragha juga harus bertanggung jawab atas rasa tidak menyenangkan yang Adara derita. Adara menoleh sejenak, setelahnya kembali buang muka. Sikap salah tingkah yang nampak jelas juga rona kemerahan yang mampu tertangkap oleh indranya, sukses menimbulkan senyuman tipis juga rasa bangga. Pantas saja Adara enggan menatap ke arahnya sejak tadi. Rupanya Adara sedang sibuk dengan rasa malunya. “Kamu malu?” tanya Ragha tanpa aba-aba. Memaksa Adara agar menatap ke arahnya dan menelisik wajah cantik yang nampak lebih memerah. “Pipinya merah,” lanjutnya jujur. “Mas!” Adara yang sudah kepalang malu refleks melayangkan pukulannya di bahu Ragha. Juga rengekannya yang terdengar menyenangkan di telinga Ragha. Berhasil meloloskan satu tawa renyah yang membuat Adara terpesona. Ia tidak sedang bermimpi, ‘kan? Apa yang terjadi semalam sampai pagi ini benarlah kejadian nyata, bukan hanya angan-angan yang sedang berusaha membohonginya? “Silahkan tanya, aku akan jawab,” ucap Ragha seraya menarik Adara agar kembali duduk di sebelahnya. Menunjukkan wajah meyakinkan jika ia akan menjawab semua pertanyaan yang akan terlontar dari Adara. Adara tidak mampu meredam debar jantungnya. Berada dalam jarak dekat dengan Ragha, sikap lembutnya yang kembali nampak jelas dalam pandangan, juga wajah menenangkan itu. Sudah menjadi paket lengkap untuk kelemahan Adara. Adara hanya berharap banyak jika setelah ini tidak akan ada hal lain yang memaksanya untuk kembali mendorong Ragha menjauh dari peredarannya. Dalam kondisi hati yang jujur, Adara harus mengakui, jika ia nyaman dengan keberadaan Ragha di sisinya. “Soal semalam,” ucap Adara lirih. Menatap Ragha dengan nada keraguan yang tertangkap jelas. Namun Ragha enggan berkomentar. Membiarkan istrinya menyelesaikan pertanyaannya. “Pernyataan cinta Mas yang semalam itu, aku nggak salah dengar, ‘kan?” Ragha menghela napas. Ada nada tidak menyenangkan yang timbul dalam hati. Yang didominasi oleh perasaan bersalah. Ternyata memang hubungan keduanya sudah lama retak. Jarak keduanya kian membentang untuk setiap harinya. Membuat Adara meragu dengan perasaan yang ia punya. Tapi untuk kali ini, Ragha tidak akan bersikap bodoh sampai menyalahkan Adara. Kejadian buruk di hari lalu juga terjadi karenanya. Ragha menggeleng. Sebelah tangannya bergerak merapikan helaian rambut Adara. Menatap dalam pada mata bulat yang sudah memikatnya sejak lama. Satu hal yang selalu muncul dalam angannya sebagai satu alasan kuat ia bisa mengambil jalan sejauh ini. “Kamu nggak salah dengar. Aku benar dengan pernyataan cinta itu, Dara. Aku mencintai kamu.” Ragha mengulangi pengakuan itu tanpa diminta. Menegaskan pada Adara jika memang apa yang terjadi semalam sampai pagi ini benarlah sebuah kenyataan. Rangkaian takdir yang timbul karena beragam hal buruk di hari-hari lalu. Saat Adara hampir mencapai batas klimaks dan hendak mendorong Ragha kian jauh, Ragha justru menolaknya dengan menyampaikan satu pengakuan itu. Yang bahkan belum pernah terucap sebelumnya. Nyaris menimbulkan gumaman tidak percaya. “Kenapa?” tanya Adara. Masih belum percaya jika Ragha benar-benar menyampaikan satu kalimat yang sudah ia harapkan sejak dulu. Sampai rasanya Adara hampir menyerah untuk pengharapan itu. Takdir benar-benar mempermainkannya dalam kilasan kejadian yang tidak pernah ia duga. Ragha mengernyit heran. Tidak mengerti dengan pertanyaan yang Adara sampaikan. “Kenapa Mas mencintai aku?” lanjut Adara memperjelas. Ragha kembali tersenyum. Meraih kedua tangan Adara dan menggenggamnya erat. “Aku pernah menanyakan alasan itu pada diriku sendiri sejak aku sadar bahwa aku mencintai kamu. Entah karena kamu cantik dan dikagumi banyak laki-laki. Sampai aku nggak rela kalau kamu memilih salah satu dari mereka. Entah karena sikap kamu yang heboh keterlaluan tapi bisa berubah menjadi sangat pendiam. Entah karena kamu satu-satunya yang rela menunggu aku pulang hanya untuk sekotak coklat. Atau bahkan karena kamu satu-satunya yang terbodoh sampai mau dipermalukan gara-gara surat cinta.” “Dara, kamu tahu, semakin aku mencari-cari alasan itu, semakin aku sadar kalau alasan aku mencintai kamu terdengar sangat konyol. Tapi untuk itu aku jadi tahu, kalau aku nggak perlu banyak alasan untuk mencintai kamu. Cukup dengan kamu yang apa adanya, itu udah mampu meyakinkan aku kalau aku memang mencintai kamu.” Adara tidak mampu menahan air matanya. Pengakuan itu berhasil merobohkan dinding pertahanan Adara yang sudah ia bangun sejak lama. Ragha berhasil menghancurkan semuanya, merobohkan dan memorak-porandakan. Membuat Adara tidak mampu lagi menyembunyikan banyak hal, termasuk air matanya. “Bukannya Mas menikahi aku karena kesalahan itu? Mas hanya mau bertanggung jawab atas bayi yang saat itu aku kandung?” “Justru kesalahan itu terjadi karena aku yang udah nggak mampu menahan perasaan ini sendirian, Ra.” Adara semakin tercengang. Tidak pernah mengira jika laki-laki yang selama ini ia anggap berada di sisi yang berlawanan, ternyata sudah menyimpan perasaan sejak lama. Menutupinya dengan sangat rapat sampai menimbulkan kesalahpahaman. “Mas, sejak kapan? Kenapa aku nggak pernah tahu?” Ragha tersenyum lembut. Kembali memberi afeksi di sebelah pipi Adara. Tempat yang selalu basah oleh air mata lantaran sikapnya yang tidak peduli. Juga persakitan yang selalu Adara simpan sendirian. “Aku nggak tahu persisnya. Tapi mungkin sebelum kamu memutuskan untuk menyapa dan secara rutin bawain coklat setiap pulang sekolah.” Adara tidak mampu mengajukan banyak kata lagi. Pengakuan demi pengakuan yang Ragha sampaikan sudah berhasil menghantamnya pada kenyataan. Menyadarkannya dari kehidupan gelap yang selama ini ia jalani sendirian. Pada kenyataannya, ia tidak pernah sendirian. Jalanan gelap dan penuh kerikil berhasil ia lalui dengan adanya Ragha di sisinya. Mungkin Adara tidak pernah menyadari itu, tapi Ragha selalu menjadi penerang yang menuntunnya. Memang tidak menutup kemungkinan untuk Adara berkali-kali jatuh, namun Ragha juga selalu di sana dan mengulurkan tangan untuk membantunya kembali berdiri. “Kenapa Mas nggak pernah bilang sebelumnya?” “Aku pikir, saat aku membawa kamu ke hadapan Mama saat itu, kamu udah tahu alasannya. Aku nggak akan pernah menentang permintaan Mama, kecuali untuk seseorang yang sangat aku cintai.” Adara menangis lebih kencang. Menyesali kebodohannya yang tidak pernah menyadari keberadaan Ragha sejak awal mula. Justru ia berdiri tegak, menganggap Ragha sebagai lawan. Melayangkan tatapan tajam yang sarat akan kebencian. Terus mendorong Ragha menjauh padahal Ragha selalu berusaha untuk terus menyertainya. “Aku bodoh karena nggak pernah menyadari keberadaan Mas, ‘kan?” tanya Adara dengan isak tangis yang terdengar lebih jelas. Ragha yang tidak tega membawa Adara ke pelukannya. Mengusap puncak kepalanya lembut. Membiarkan Adara meluapkan rasa tidak menyenangkan di hatinya yang selama ini terus melukainya. “Iya, Sayang, kamu bodoh. Dan bodohnya aku mencintai kamu yang bodoh ini.” Adara terkekeh di sela isak tangisnya. Menimbulkan senyuman yang lebih lebar di bibir Ragha. Sampai membuat mata indah itu tenggelam dalam lengkungan bulan sabit. Hal lainnya yang membuat Adara kagum dan terus jatuh cinta pada suaminya. “Maaf karena terus membiarkan kamu sendirian,” ucap Adara saat dirasa tangisannya mulai reda. Menatap wajah tegas suaminya yang kini nampak jelas, bisa ia tatap, bisa ia usap. Tidak lagi merasa takut jika wajah ini akan berubah datar dan menyorotnya dengan tatapan dinginnya. “Aku yang meminta maaf karena nggak pernah berusaha lebih untuk menahan kamu agar terus di sini. Sampai kamu harus melewati hal-hal buruk itu sendirian dan membuat kamu terluka berkali-kali.” Senyuman Adara mengembang lebih indah. Hatinya tidak lagi dilingkupi perasaan risau yang menyiksa. Kini hanya ada perasaan lega dan tenang. “Mas.” “Ya.” “Kenapa Mas nggak pernah memaksa aku untuk menetap di sini? Mas justru membiarkan aku bersikap semauku dan berkali-kali membiarkan aku yang bodoh ini untuk terus bersikap bodoh?” Ragha tersenyum lagi. Entah sudah berapa kali ia menunjukkan senyuman lembutnya yang seperti ini. Adara berani bertaruh, pasti perempuan di luar sana akan sesak napas jika melihat Ragha yang seperti ini. “Karena aku pikir, selama ini kamu nggak pernah bahagia. Dalam pernikahan ini aku hanya bisa membuat kamu menangis dan terluka. Maka, saat kamu meminta untuk kita menjaga jarak, aku memilih mengikuti kemauan kamu. Seenggaknya kamu akan merasa lebih bahagia dengan jarak yang ada. Aku nggak pernah tahu kalau ternyata semakin jauh jarak di antara kita, justru akan membuat kamu semakin terluka. Dan aku sama bodohnya, karena terus membiarkan kamu menangis sendirian.” Ragha menghela napas sejenak. Kembali menjatuhkan fokusnya pada Adara di sampingnya. Ia sudah berhasil mengikat Adara menjadi satu-satunya saat itu. Walaupun keduanya kembali dipisahkan oleh hal-hal buruk yang terjadi. Namun Ragha lagi-lagi mampu membawa Adara dalam genggamannya. Untuk itu, ia tidak akan bersikap bodoh lagi dan membiarkan Adara pergi lagi. Ragha menyadari satu hal, Adara adalah alasannya untuk bahagia, dan ia juga alasan untuk kebahagiaan Adara. “Untuk ke depannya jangan pernah berusaha sendirian lagi. Kita bisa melewati semuanya sama-sama.” Adara tersenyum lembut. Mengangguk untuk menyetujui kalimat Ragha. Ia juga lelah terus berusaha sendirian. Terus berdiri tegak padahal sudah berkali-kali ingin menyerah. Ia membutuhkan penopang dan kini ia sudah menemukan penopangnya. “Ehm, Mas, tapi Mama?” Ragha tidak menjawab. Malah membawa Adara ke pelukannya dan kembali berbaring bersamaan. Sedetik setelahnya, Ragha kembali memejamkan matanya. “Mas!” protes Adara karena lagi-lagi Ragha membiarkan pertanyaannya mengambang tanpa jawaban. “Kita bahas lain kali ya. Aku mau lanjut tidur.” Adara tidak bisa menolak. Hanya mengangguk dan membiarkan Ragha kembali terpejam sembari memeluknya. Menatap wajah sang suami dari jarak yang begitu dekat. Dalam hati terus mengagumi gambaran indah yang terpampang jelas di depan matanya. Adara tahu, setelah ini pasti jalannya akan semakin terjal. Tapi setidaknya, kini ada Ragha di sisinya. Yang akan selalu menyertainya untuk melewati jalanan terjal juga hal-hal buruk yang menghadang. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN