Bag 4 - Pergi

1146 Kata
“Jika sudah itu keputusanmu, saya bisa apa? Kamu juga berhak dan memiliki kewajiban untuk menjadi anak yang baik untuk kedua orangtuamu,” kata Niko dan menoleh sesaat melihat Irene. Mereka duduk berdampingan kedai, selagi mereka mengobrol jarang sekali orang yang datang membeli, mungkin Tuhan yang memberi mereka kesempatan untuk berbicara tanpa ada gangguan. Malam makin dingin, Irene hanya mengenakan baju kaos biasa dan mengikat rambutnya asal. Irene mengelus lengannya, karena dingin seperti akan menembus tulangnya. “Maafkan saya,” kata Irene. “Kenapa kamu minta maaf ke saya, Irene? Gak ada yang harus kamu katakan kepada saya, karena saya akan mendukung apa pun yang kamu lakukan. Apalagi ini berkaitan dengan hak dan kewajibanmu sebagai seorang anak. Tapi, siapa yang menawarkan pekerjaan untuk kamu?” “Nama wanita itu Madam Luna,” kata Niko. Sejak tadi kedua orangtua Niko akan keluar namun di dalam sana Dian selalu menahan keduanya, karena Dian tidak mau kedua orangtuanya itu malah mengganggu Irene dan Niko yang sedang berbincang. Kedua orangtua Niko dan Dian tidak setuju dengan hubungan anak sulung mereka dengan Irene, karena bagi mereka masih banyak wanita yang lebih dari Irene, banyak wanita yang lebih baik dan lebih cantik dari Irene, jadi mereka selalu menjadi penghalang. Irene tidak pantas bagi Niko, meskipun mereka tidak kaya tapi setidaknya mereka tidak pernah susah seperti keluarga Herman. Jadi, apa pun yang terjadi, Irene tidak boleh menjadi menantu mereka. Karena kegigihan putra sulung mereka itu, akhirnya Niko dan Irene menjalin hubungan diam-diam. Apalagi sekampung ini sudah tahu hubungan Niko dan Irene yang sulit untuk dipisahkan, jadi semua orang selalu menceritakan tentang keluarga Herman dan menjelek-jelekkan keluarga Herman kepada mereka. Tapi, hubungan Niko dan Irene sangat sopan, tidak pernah aneh-aneh. Irene adalah gadis yang sangat cantik, banyak pria lajang yang menginginkannya, bahkan mau menikahinya, namun Irene tolak karena sudah memiliki Niko, Irene menjadi kembang desa dengan wajah nan rupawan, memiliki keperawakan menarik dan indah terlihat di mata semua orang. Siapa yang tidak akan menyukainya? Banyak yang antri di luar sana. “Siapa Madam Luna? Darimana ibumu mengenal Madam Luna itu?” tanya Niko. “Saya juga tidak tahu darimana Ibu mengenal Madam Luna, tapi Madam Luna itu datang ke rumah dan menawarkan pekerjaan.” “Bukan menawarkan kepada Ibumu?” “Bukan. Kepada saya. Ibu kan punya dua adik kecil.” “Benar juga. Mungkin mau menawarkan ke Ibu tapi karena Ibu ada anak kecil, jadinya ke kamu saja.” Irene mengangguk. “Jadi, berapa lama kontrak kerjanya?” “Saya tidak tahu. Saya belum menanyakannya ke Ibu.” “Kenapa tidak di tanya?” “Saya belum sempat menanyakannya.” “Ya sudah. Saya mengizinkanmu pergi dan saya akan mendoakan yang terbaik untuk kamu. Sejauh manapun kamu pergi dan selama apa pun, saya yakin kamu akan tetap kembali ke kampung ini. Karena di sini kamu lahir dan di sini kedua orangtua kamu.” Irene menganggukkan kepala. “Sudah pasti.” Obrolan mereka begitu panjang, tapi selalu terjawab dengan singkat dan setelah itu mereka diam lagi, Irene berat meninggalkan kampung ini apalagi ia memiliki tambatan hati di kampung ini, namun tetap saja perasaannya itu tidak penting, yang terpenting adalah keluarganya. Irene terus mendengarkan pesan dari Niko, bahwa ia tidak boleh bergaul dengan bebas di luar sana, dan tidak boleh sembarangan menerima laki-laki. Secara tidak langsung Niko memberi peringatan kepadanya untuk tidak menduakan hatinya. Niko sangat serius pada Irene, tidak pernah memandang Irene rendah meskipun semua orang di kampung ini selalu menganggap keluarga Herman adalah keluarga yang tidak berpunya. Jangankan membeli jajan untuk adik-adik kecilnya, untuk membeli garam saja sulit. Mereka dipandang remeh karena Herman selalu saja berjudi dan pulang dalam keadaan mabuk lalu frustasi jika kalah. Andaikan Niko mendapatkan restu dari kedua orangtuanya, sudah lama ia akan menikahi Irene. Pertemuan malam itu pun berakhir dengan wajah sedih penuh luka, harus terpisahkan oleh jarak, bukan di satu Indonesia, melainkan di beda negara, mereka akan menahan rindu dan akan saling mengabari. *** Hari ini adalah hari dimana Irene berangkat, sejak tadi Herman menangis begitupun kedua adiknya, satu-satunya yang tidak menangis dan yang tidak sedih adalah ibunya. Ibunya malah bersemangat sekali ketika mengantarkan Irene sampai depan rumah. Satu tas butut Irene sudah di taruh di depan rumah, hanya itu yang Irene bawa, meskipun hanya beberapa lembar pakaian, namun Irene sudah bisa mengenakannya dengan cara di pakai dan di cuci setiap hari. Herman terus menangis dan kembali menyentuh putrinya. “Nak, kamu yakin mau pergi?” tanya Herman menyeka airmatanya. “Bapak kenapa nangis gitu ih? Kayak cewek aja,” kekeh Irene berusaha tersenyum dan menghibur ayahnya. Meskipun ayahnya kuat berjudi dan seolah-olah tidak memiliki rasa perduli, tapi hanya ayahnya yang sangat menyayanginya. Sementara ibunya tidak terlalu menunjukkan kasih sayangnya. “Bapak kenapa sih, kenapa nanyain itu ke Irene, ya dia mau pergi lah,” geleng Santi dengan nada yang lumayan tinggi. Banyak tetangga yang berdiri di dekat rumah mereka hanya untuk melihat Irene di jemput oleh wanita yang bernama Madam Luna. Ini melemahkan hati Irene yang akan berangkat dengan hati yang tenang, ia takut keluarganya malah makin menjadi bahan omongan tetangga karena ia pergi menjadi TKW. Niko dan Dian datang bersama, mereka berucap, “Assalamu’alaikum,” ucap Niko dan Dian. “Wa’alaikumssalam,” jawab Herman dan Irene. “Kalian? Kenapa kemari?” tanya Irene menatap keduanya. Niko berusaha menahan hasrat dalam dadanya untuk memeluk Irene, karena kekasihnya itu akan pergi meninggalkannya, semalam Niko tidak bisa tidur, ia ingin sekali menyelamatkan Irene dari hidup susah, tapi ia tidak punya apa-apa yang bisa ia andalkan, hanya cinta dan kasih sayang juga kesetiaan yang bisa ia berikan kepada Irene, tapi jika itu berkaitan dengan uang, Niko tidak bisa melakukannya. Semalam, Niko tidak bisa tidur dan terus membayangkan bagaimana hari-harinya tanpa Irene, lalu subuh tadi ia sudah membangunkan Dian agar menemaninya kemari. Karena hari ini Irene akan pergi dan tidak akan kembali untuk waktu yang cukup lama. Irene menundukkan kepala, ia malu sekali harus menjadi bahan perhatian oleh semua orang. Niko lalu menarik Irene dan memeluknya. Irene membulatkan mata, bukan hanya Irene tapi semua orang, Niko berharap pelukannya ini akan menjadi kekuatan untuk Irene selama di dalam perjalanan. Niko yakin, Irene kuat, karena wanita yang ia sukai dan cintai itu sangat kuat, bahkan tidak sekuat dirinya. Niko berbisik, "Saya sayang sama kamu, Ren, saya sangat cinta sama kamu. Jaga hati kamu dan setibanya di sana jangan lupa untuk menghubungi saya." Irene mengangguk. "Iya. Tapi kamu lepaskan saya dulu, tidak enak dilihat orang-orang." "Tidak masalah, bukan mereka yang merasakan harus berpisah dengan kamu." Irene tersenyum. Sesaat kemudian, sebuah mobil berwarna putih masuk ke pelataran parkir rumah mereka dan semua orang kembali fokus pada mobil yang datang, lalu seorang wanita turun dari mobil tersebut dengan pakaian dan penampilan yang glamour. Wajahnya cantik dan lipstiknya sangat merah. Memiliki pita bunga-bunga di atas kepalanya dan selalu membawa kipas tangan. Niko melepaskan pelukannya dan membelai rambut Irene karena ia tahu yang datang pasti jemputan kekasihnya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN