Irene menangis ketika di dalam pesawat, ia baru pertama kali naik pesawat dan ternyata begini rasanya. Irene menangis terseduh-seduh dan duduk disebelah Madam Luna yang sedang tidur.
Madam Luna merasa terganggu mendengar suara tangis Irene. “Aduh. Saya merasa keganggu dengan suara tangismu.” Madam Luna terus bergerak gelisah. Sudah hampir dua jam mereka di perjalanan setelah transit.
“Memangnya berapa lama saya harus bekerja pada Madam?” tanya Irene.
“Kamu belum terhitung kerja sama saya, karena kamu masih harus belajar bahasa Inggris.”
“Untuk apa?”
“Untuk berbicara dengan orang lah. Masa mau bicara dengan bahasa Indonesia.” Madam Luna menggelengkan kepala. “Kamu harus ingat kalau kamu ikut saya karena kamu butuh uang. Saya sudah memberikan banyak uang kepada ibumu dan kamu harus ikut titah saya. Kamu akan kaya dalam satu bulan. Jadi, kamu tenang saja. Keluargamu akan mendapatkan uang yang banyak.”
“Madam, saya ingin minta satu hal.”
“Apa itu? Jangan meminta pesawat ini saya balikkan.”
Irene sesenggukan dan berkata, “Madam bisa kasih saya ponsel?”
“Untuk apa ponsel?”
“Supaya saya bisa hubungi keluarga saya.”
“Kamu akan hubungi keluargamu lewat saya.” Madam Luna melanjutkan.
“Tapi—”
“Kamu harus diam, Irene, kamu tidak boleh merengek. Kamu sudah di pesawat dan tidak ada gunanya kamu menangis terus. Kamu hanya harus memikirkan bagaimana kamu bisa mendapatkan uang yang banyak untuk keluargamu.”
Irene menundukkan kepala.
“Kamu bisa menangis sepuasmu. Saya akan menggunakan headset.” Madam Luna kembali memejamkan matanya.
Irene menitikkan airmata. Sulit sekali berpisah dengan orang yang ia cintai, keluarganya dan Niko. Irene benar-benar merasa berat untuk meninggalkan kampungnya dimana kampung itu adalah tempat lahirnya dan ada keluarganya di sana juga ada cintanya di sana. Ibarat kata, Jika satu-satunya tempat di mana Irene bisa melihat Niko dan keluarganya adalah dalam mimpinya, ia akan tidur selamanya.
Irene terus menangis dan menyekanya dengan cepat, airmatanya luruh seketika terus mengingat bagaimana ia akan menghadapi semuanya sendirian diluar sana. Bahkan bukan di negaranya, melainkan negara lain yang asing baginya.
***
Niko duduk di teras rumahnya, melihat langit di atas sana, tidak ada tanda-tanda pesawat akan lewat, meskipun tidak masuk akal, tapi Niko terus berharap, bahwa pesawat yang di tumpangi Irene akan melintasi atas rumahnya. Andai ia punya kekuatan, ia pasti akan terbang dan menyusul kepergian sang kekasih.
Niko benar-benar kehilangan Irene, ia tidak pernah berpikir akan kehilangan Irene dengan cara ini. Niko sudah sering mengatakan kepada ibu dan ayahnya agar melamarkan Irene untuknya, namun keluarganya tidak setuju dan malah menentang hubungan mereka.
“Kak,” lirih Dian lalu duduk disebelah kakaknya.
“Apa, Dek?” tanya Niko.
“Kakak sedih ya?”
“Ya sedih toh, Dek, siapa yang tidak sedih? Kakak kan juga punya perasaan.”
“Andaikan Bapak sama Ibu merestui Kakak dengan Irene, pasti Kakak udah nikah sama Irene, tapi ya kayaknya Kakak emang belum jodoh sama Irene.”
“Kakak hanya khawatir sama Irene, Dek,” kata Niko. “Selain sedih, Kakak juga mengkhawatirkan dia. Gimana dia di sana, apa yang akan dia lakukan, pasti akan sulit baginya berbaur dengan semua orang yang tidak dia kenali.”
“Sudah pasti, Kak, apalagi lingkungan baru,” kata Dian. “Dian teh juga sedih, Kak, tapi ya mau gimana lagi, ini sudah jalannya, kita gak bisa ngelarang Irene pergi, karena dia juga punya keluarga.”
“Kakak akan mendoakan yang terbaik buat Irene, dan semoga saja Kakak bisa ketemu dia lagi.”
“Tenang saja, Kak. Kakak pasti ketemu Irene lagi, kan kampung Irene di sini.”
Niko tersenyum dan membuang napas halus. Lalu melihat langit di atas sana, Benar-benar tak pernah ia bayangkan sebelumnya akan sesakit ini kehilangan. Selama ini, ia jarang menemui Irene karena ia tahu Irene di kampung ini dan akan selalu ada di kampung ini, namun nyatanya malah Irene pergi jauh darinya. Bukan pergi di sekitar negara ini, melainkan negara asing di luar negeri sana.
Emina dan Broto datang menghampiri Niko dan Dian yang sedang bercerita tentang Irene, Emina menatap Niko kesal, Emina adalah Ibu kandung Niko dan Dian, sementara yang kini berdiri di samping ibu mereka adalah Ayah kandung mereka.
Emina membuang napas halus.
“Susah ya ngomong sama kamu, Niko, Dian, kenapa kalian masih bergaul sama Irene itu? Mereka itu bukan orang yang baik, Niko, Dian, kenapa kalian selalu saja melanggara apa yang Ibu dan Bapak bilang?” tanya Emina pada kedua anaknya.
“Ibu kenapa datang-datang langsung marah-marah gini?” tanya Dian menautkan alisnya.
“Gimana gak marah kalau Ibu tadi baru ketemu tetangga, mereka mengatakan kalau Niko memeluk Irene di depan semua warga di sini, apa Ibu gak malu? Ya ibu malu lah, punya anak lakik tapi gak pernah jaga harga dirinya.”
“Bu, udah. Nanti didengar tetangga loh, Bu,” kata Broto mencegah istrinya.
“Bapak juga udah tahu tapi gak mau ngomong ke Ibu, udah sangat sakit hati Ibu pas denger dari tetangga.”
“Bu, wajar kan kalau Dian dan Kak Niko memeluk Irene, kan Irene udah pergi dari kampung ini, jadi kami mau mengantarkannya pergi karena itu Kak Niko memeluk Irene,” jawab Dian menjelaskan, membuat Niko menggeleng ke adiknya agar Dian tidak membelanya lagi.
“Apa? Irene pergi? Kemana?” tanya Emina menautkan alisnya.
“Ibu gak tanya ke tetangga itu kemana Irene pergi?”
“Ya kan tadi hanya bahas kalau Niko memeluk Irene.”
“Irene pergi, Bu, ke luar negeri, jadi Ibu gak usah khawatir kalau Kak Niko deket sama Irene, karena Irene udah gak ada di kampung ini lagi.” Dian membuang napas halus, ia kesal sekali setiap kali ibunya selalu merendahkan Irene dan mengatakan kepada mereka kalau Irene itu tidak pantas di teman dan di pacari. Benar-benar jauh dari pemikirannya. Hanya karena Herman yang kuat berjudi, membuat semua orang kampung di sini memandang keluarga Herman sebelah mata.
“Buat apa dia ke luar negeri?” tanya Emina lagi.
“Irene menjadi TKW di sana, Bu, jadi Ibu gak usah khawatirin Kak Niko lagi ya.”
“Bener itu, Niko?”
“Iya. Bener, Bu.” Niko menjawab.
“Astaga. Jadi, kalian udah putus? Ya udah kalau udah putus, malah bagus, jadi nanti ada anak temen Ibu dari kampung sebelah mau Ibu perkenalkan ke kamu.”
“Siapa, Bu?” Niko menggeleng.
Flashback Off.