Bag 3 - Semiskin Itu Dia?

1247 Kata
“Apa? Jadi, kamu mau pergi? Ke luar negeri?” tanya Dian terkejut, wajah Dian menyiratkan sesuatu yang tidak bisa ia tanyakan, ia tidak mungkin mengatakan bahwa temannya itu semiskin apa hingga di kirim ke luar negeri? Kasihan sekali Irene, tidak pernah bahagia dengan apa yang ia pilih. Jika ia memiliki sesuatu tidak akan pernah diberikan. Irene dituntut untuk sempurna sejak dulu, dituntut untuk meraih impian keluarganya, impian menjadi orang kaya. Irene juga mau sebenarnya membahagiakan keluarganya, namun Irene adalah wanita yang patah pulpen dan tak melanjutkan sekolah karena biaya. Ia hanya belajar di rumah dan tak pernah merasakan sekolah menengah atas. “Kamu jangan keras-keras ngomongnya, entar di denger tetangga loh,” kata Irene melihat kanan kiri. “Kenapa kamu takut didengar tetangga?” “Aku gak mau Bapak dan ibuku malah jadi bahan omongan tetangga.” “Meskipun aku diam sekarang, tapi mereka semua akan tahu juga kok,” kata Dian tidak pernah bisa diam, dan keterkejutan Dian bisa membangunkan satu desa yang kini sedang otw ke pulau kapuk. “Aku bener-bener gak nyangka deh sama Bapak kamu. Udah mau kirim anak ke luar negeri.” “Kami terlilit hutang. Aku gak bisa diam saja melihat kedua orangtuaku susah payah,” kata Irene. “Iren, kamu bener-bener mau pergi dan ke luar negeri? Kenapa gak nyari kerja aja di sini? Kan banyak. Bisa jaga toko dan bisa jadi babysiter, atau apa lah yang dapat ngehasilin duit,” kata Dian menyentuh tangan temannya itu. “Ibuku yang menentukan dimana aku akan bekerja,” jawab Irene. “Kenapa ya orangtua itu egois banget,” kata Dian dengan napas kesal. “Jadi, kapan kamu berangkat?” “Lusa aku akan di jemput Madam Luna,” jawab Irene. “Siapa Madam Luna?” “Yang dapat mengirimku ke luar negeri.” “Kok aku gak pernah denger namanya,” kata Dian menautkan alis. Bagaimana ia bisa mengenal madam Luna kalau Madam Luna itu dari kota dan tidak pernah kemari sebelumnya, hanya saja dia tertarik oleh Irene dan memutuskan mampir ke kampung ini. Kecantikan Irene membuat Madam Luna tertarik. “Kamu gak akan mengenalnya, dia dari kota,” jawab Irene. “Kamu yakin mau ikut dengannya? Kok aku gak pernah denger ya tentang dia.” “Dia dari kota, itu lah kenapa gak ada yang kenal di sini.” “Apa mobil putih yang sering lewat sini?” tanya Dian. “Iya. Kamu tahu?” “Dia sering lewat sini, bahkan mampir ke warung ini beli minuman.” “Iya. Dia yang akan membawaku ke luar negeri.” “Kamu gak tanya kamu akan kerja apa?” tanya Dian menautkan alisnya menatap Irene yang terlihat tidak tahu apa-apa. Karena, yang berkaitan dengan Madam Luna adalah ibunya, dia hanya bisa mengikut saja. “Apa lagi yang akan dikerjakan oleh TKW sepertiku, kalau bukan jadi pembantu, jaga bayik, jaga kebun mungkin, atau jaga nenek-nenek, atau apa lah.” “Kamu bisa ngelakuin semua itu?” tanya Dian. Irene mengangguk, apalagi yang bisa ia lakukan kalau gak bisa? Kalau dia gak bisa, tetep aja harus ngaku bisa. Irene di tuntut oleh orangtuanya untuk membantu, karena mereka menganggap usia Irene sudah matang untuk membantu keluarganya yang miskin itu. Andai saja Irene melanjutkan sekolahnya ke jenjang tinggi, Irene yakin pasti ia akan bisa mendapatkan beasiswa di kampus ternama, karena ia pintar, bahkan ia iseng mendaftar kuliah online di 4 kampus ternama, dan semuanya menerimanya. Tapi, Irene harus mengubur impiannya untuk menjadi sarjana dan bekerja di kantoran, mengenakan pakaian bagus dan ke kota. Lalu, mengirim uang ke orangtuanya tepat waktu. Semua itu di impikan Irene sejak dulu. Tapi, tidak ada yang bisa Irene lakukan. Semuanya telah di tentukan dan ia tidak bisa melawan takdir. Andai saja Irene kuliah, ia tidak akan membebani keluarganya yang miskin itu untuk membiayainya, karena ia yakin bisa mendapatkan uang dengan caranya sendiri, tapi ia tidak bisa melakukannya, ia tidak bisa kemana-mana dan hanya menghabiskan waktu di lingkungan ini, karena ia masih punya dua adik yang masih kecil dan butuh pengasuh, ia yang menjadi pengasuh adik-adiknya selama ini. “Iren, kamu yang sabar ya,” kata Dian menyentuh paha teman dan tetangganya itu. “Iya. Aku sabar kok,” jawab Irene mengangguk, hampir saja airmatanya lolos. Ia tidak bisa mengeluh, karena jika ia mengeluh akan percuma saja. “Apa kamu gak bisa menolak pergi?” tanya Dian lagi yang tak tega melihat temannya itu. Dian juga bukan orang kaya, tapi orangtuanya memiliki warung yang besar, jadi warung ini sudah menjadi satu-satunya tempat mencari nafkah mereka. Dan, ia tidak sesusah Irene. “Gak bisa, Dian, aku gak bisa nolak,” lirih Irene. “Karena, Ibu udah ngambil uang muka dari Madam Luna. Dan, uang itu udah digunakan membayar hutang piutang kami.” “Irene, kamu jangan sedih gitu ih, aku jadi nangis juga,” lirih Dian mengangkat kepalanya agar wajahnya ke atas dan airmatanya tidak luruh. “Kamu juga jangan nangis dong, aku jadi nangis nih,” kata Irene. Akhirnya tangisnya lolos. “Bagaimana kehidupanmu di luar negeri nanti?” tanya Dian lalu kembali meluruskan kepalanya. “Aku gak tahu. Kan belum ku jalani.” “Aku harap kamu mendapatkan hal baik di luar negeri sana.” “Aminn Allahumma Aminn,” jawab Irene. “Hapus airmatamu, aku gak mau nangis, tapi melihatmu nangis malah ketular gini.” “Gimana gak nangis kalau aku gak ada temennya lagi,” lirih Dian. “Gimana kalau kak Niko tahu, kamu akan pergi? Dia pasti sedih banget, masa kalian akan jalanin hubungan jarak jauh?” “Aku gak mau membahas Niko,” jawab Irene. “Kenapa? Kamu gak tega ya beritahu dia?” Dian menyeka airmatanya. “Iya. Aku gak tega. Kamu gak usah ngomong ke kakakmu kalau aku akan pergi ke luar negeri.” “Dia bakal tahu tanpa aku beritahu kok,” kata Dian. “Udah gak usah dibahas,” kata Irene. “Kamu minum dulu gih,” kata Dian memberikan satu botol air mineral untuk Irene. “Aku gak punya uang untuk membayar ini,” kata Irene mengembalikannya kepada Dian. “Ini kedai milik orangtuaku, jadi apa pun yang mau ku ambil, akan ku ambil,” kata Dian memaksa Irene minum. “Kamu harus minum agar lebih tenang.” “Ambilin air didalam aja,” kata Irene. Semiskin itu dia? Hingga membeli air mineral saja tidak bisa. Bagaimana bisa ia akan hidup bodoh amat di kampung ini kalau keluarganya selalu menjadi bahan omongan? Ia ingin menjadi orang yang membanggakan keluarganya dan bisa memberikan apa yang keluarganya inginkan. “Ambil saja saya yang akan membayarnya.” Suara dibelakangnya terdengar. Deg. Jantungnya berdetak begitu kencang. Irene membulatkan mata dan terdiam, ia yang minum dan tengah meneguk air mineral itu langsung berhenti. Niko lalu duduk di sebelah Irene. “Kamu mau ngomong ke saya?” tanya Niko. “Kak, kamu udah balik dari masjid?” tanya Dian menggaruk leher belakangnya. “Udah. Kamu gak lihat kakak ini masih pakai peci, sarung dan baju muslim?” Dian menganggukkan kepala dan bangkit dari duduknya. “Kalau gitu, Dian masuk ke rumah dulu. Dian mau makan malam.” “Iya. Kamu masuk gih, biar Kakak yang jaga kedai.” “Irene, kamu tunggu sini ya, biar Kak Niko yang nemenin kamu dulu.” Irene menundukkan kepala, pria yang berdiri disampingnya adalah kekasihnya, pria yang mau menerimanya apa adanya, namun mereka tak pernah direstui oleh kedua orangtua Niko. Orangtua Niko menganggap Irene tak pantas buat Niko, jadi hubungan mereka terus ditentang meskipun Niko selalu memberi pengertian kepada kedua orangtuanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN