Hati Padma sangat cemas dan khawatir, sepanjang perjalanan menuju rumah sakit dia terus memeluk Hafiz yang ada di dalam pangkuannya.
“Bunda hiks.. hiks.. Ade.. ngak gerak," Hanum menangis sesenggukan sambil menyandarkan kepalanya di lengan Padma.
Kedua tangan Padma terasa gemetar sepanjang jalan menuju ke rumah sakit karena dia pangkuannya sekarang ada Hafiz yang tak sadar, sementara Hanum tak berhenti menangis.
Begitu mobil box untuk angkutan barang milik Avin berhenti di depan lobi rumah sakit, segera dia turun dan membantu membuka pintu dan langsung mengambil Hafiz dan berlari ke dalam.
“Tolong keponakan saya!” seru Avin dengan panik.
Sementara Padma terlihat tergopoh-gopoh bersama Hanum mengikuti dari belakang.
Tindakan segera di lakukan, pertolongan yang hampir saja terlambat menurut dokter jaga yang sedang bertugas.
“Kenapa bisa di biarkan anak Anda panas setinggi ini sampai tak sadar baru di bawa ke rumah sakit?” dokter itu menatap tajam pada Padma, "Apalagi dia juga dehidrasi, kekurangan cairan karena muntah-muntah cukup lama seperti yang anda bilang."
Padma hanya bisa tertunduk terdiam menahan tangisnya.
“Kalau terlambat sedikit saja, maka mungkin anak Anda tidak akan tertolong dan akan meninggal,” lanjut dokter tadi.
Padma memandang pada Hafiz yang tergolek lemah dengan selang infus di lengannya.
"Sangat keterlaluan kamu Mas terhadap anak-anakmu sendiri, kamu juga sudah mulai abai," batin Padma dalam hati yang sesak, teganya kamu membiarkan mereka sendiri menghadapi ini semua.
Padma duduk sambil terus menggenggam tangan Hafiz dan sesekali mengelus rambut bocah lima tahun itu.
“Bunda,” panggil Hanum.
“Ya, sayang,” jawab Padma.
“Lapar,” ucap Hanum dengan wajah memelas.
“Sebentar ya, Om Avin lagi beli makanan,” sahut Padma sambil memeluk Hanum dan mengecup keningnya.
“Bun, sudah hubungi Papa belum?” tanya Hanum untuk ke sekian kalinya.
Padma menarik napas panjang, “Sudah dari adek di bawa ke sini, tapi sepertinya Papa belum bisa datang mungkin lagi sibuk “
Padma hanya memberi jawaban yang bisa di mengerti oleh Hanum, papanya sibuk.
Seandainya Hanum tahu bahwa pesan dan panggilan Padma tak di baca atau pun di balas sama sekali oleh Bram.
Sementara Padma sempat membaca status dari Puspa, setelah dari pesta perusahaan mereka berdua langsung pegi ke tempat di mana anak-anak Puspa dan ibu mertuanya sedang menunggu untuk pergi acara makan malam bersama keluarga,
Dan status dari Puspa juga memperlihatkan bagaimana Bram sedang bermain bersama anak Puspa di salah satu arena permainan yang ada di salah satu mall, dan mereka terlihat seperti satu keluarga yang bahagia.
Hati Padma seakan ingin meledak dengan ke marahan, tapi dia tahan sebisa mungkin untuk menjaga perasaan Hanum juga hafiz.
***Otw***
Sudah jam sebelas lewat, Hanum sudah tertidur di sofa setelah selesai makan yang di bawakan oleh Avin.
Sementara Padma tetap berjaga, karena sesekali Hafiz mengigau atau bangun sekedar memastikan Padma tak pergi meninggalkannya.
“Bunda haus,” ucap Hafiz lemah.
“Ini sayang,” bergegas Padma mengambil gelas dengan sedotan dan mengangkat sedikit tubuh bocah itu untuk bisa minum.
Kemudian hafiz kembali tertidur dan Padma bangkit berdiri, berjalan mendekati Hanum dan membetulkan letak selimut yang hampir terjatuh.
Ceklek!
Pintu terbuka, Padma kira Avin yang datang karena pria itu berjanji akan kembali datang setelah mengantarkan semua barang pesanan dagangan miliknya.
Ternyata dugaannya salah, di sana Padma melihat Bram bersama Puspa masuk dan berdiri di depan pintu.
“Maaf aku baru baca pesan darimu tadi,” ucap Bram dengan nada yang tenang begitu pria itu sudah di dekat Padma.
“Bagaimana keadaan Hafiz, Mbak Padma?” tanya Puspa dengan wajah khawatir, entah itu benar atau hanya sedang berpura-pura khawatir pandangan Padma tetap fokus pada Hafiz.
Padma tak menjawab dia seakan tak mempedulikan kehadiran dan keberadaan Puspa mau pun Bram di sana.
“Apa kata dokter?” tanya Bram.
“Hampir mati lima jam yang lalu,” jawab Padma dengan penuh kemarahan yang coba dia tahan tanpa melihat pada Bram maupun Puspa, “Dan saat itu kalian sedang bersenang-senang tidak hanya di pesta tapi juga di restoran mewah untuk makan bersama, tanpa mengajak mereka berdua bersama."
Terdengar bunyi terkesiap dan Padma tahu itu adalah suara Puspa.
“Seharusnya kau tidak meninggalkan mereka hanya berdua tanpa pengawasan orang dewasa,” ucap Padma dengan nada miris, “Kalau kau tidak sanggup dan juga tidak ingin merawat mereka lagi, berikan saja padaku dan dengan senang hati aku akan melakukannya sampai mereka mampu untuk berdiri sendiri tanpa ada dirimu ikut campur."
Padma mengucapkan tanpa peduli bagaimana reaksi Bram.
“Anggap saja mereka mati bagi dirimu, kalau kau sudah tak peduli dan perhatian pada mereka.”
Kali ini Padma menatap tajam pada Bram dengan penuh kebencian.
"Aku tidak bermaksud .."
"Bermaksud atau tidak, tetap pada kenyataannya kau sudah lupa dan tidak peduli keberadaan dan menyayangi mereka, baik itu dulu apalagi saat kau dan wanita itu sedang asyik berselingkuh, seolah dia dan anak-anaknya lebih penting dari pada darah dagingmu sendiri," sela Padma dengan suara yang hampir melengking tertahan, mengingat Hafiz dan Hanum yang tertidur.
"Dengar Padma," Bram berusaha menahan diri untuk bicara, "Aku tahu kalau aku salah karena abai pada mereka, tapi aku sudah pernah bilang, tidak ada perselingkuhan..."
"Aku tidak peduli!" sela Padma, "Yang sekarang aku pedulikan adalah anak-anak ini."
Bram memandang kedua anaknya bergantian, Hafiz yang terbaring lemah dengan wajah yang tirus yang pucat, sementara Hanum yang tertidur meringkuk di sofa dengan berselimut tebal
Hampir setengah jam tak ada pembicaraan hanya ada kebisuan, Bram sesekali melihat pada Padma yang terlihat mengusap kepala Hafiz.
“Kau bisa pulang untuk istirahat, apalagi..” ucap Bram sambil melirik pada Padma.
“Kau pikir aku akan percaya dan tenang dengan meninggalkan Hanum dan Hafiz dengan dirimu,” sela Padma dengan memanggil Bram dengan kau bukan Mas.
“Apalagi jika ada wanita itu di sini, aku rasa perhatianmu tak akan benar-benar untuk mereka sepenuhnya,” kali ini pandangan Padma tertuju pada Puspa.
“Yang seharusnya pergi itu kau saja dan bawa wanita itu dari sini, karena kalian berdua tak berguna sama sekali di sini,” lanjut Padma.
“Aku akan menjaga mereka dengan baik, kau tak perlu khawatir,” suara Bram masih terdengar tenang.
“Dengan baik? Tak perlu khawatir?” terdengar tawa sinis dari Padma.
“Ini yang kau sebut menjaga mereka dengan baik dan tak perlu khawatir? Yang satu sakit berhari-hari dan hampir meninggal dan satunya nyaris kelaparan sepanjang hari ini,” terdengar suara Padma penuh emosi.
“Sementara kau lebih memperhatikan dan memanjakan yang lain secara berlebihan, bersenang-senang memberikan kebahagiaan untuk anak wanita itu, yang seharusnya kau berikan juga untuk Hanum dan Hafiz!” kali ini pandangan Padma beralih pada Puspa dengan tatapan yang sama seperti kepada Bram, kebencian juga kemarahan.
“Aku tak peduli kau menyakitiku karena berselingkuh dengan wanita itu! Tapi tolong dan mohon jangan sakiti mereka hanya untuk menyenangkan hati wanita itu!” suara Padma memburu, “Karena mereka tak punya siapa-siapa kecuali dirimu!”
"Aku sudah bilang berapa kali padamu Padma, kami tidak berselingkuh .." Bram terdengar geram.
"Siapa yang percaya dengan ucapanmu, kecuali orang buta saja, mungkin karena mereka tidak bisa melihat kebohongan yang ada di hadapan mereka," sela Padma menyindir.
"Mba Padma sudah salah paham .." kali ini Puspa bicara.
"Tidak ada yang salah paham, apalagi jika melihat perlakuan yang berlebihan padamu juga pada anak-anakmu," padma terdengar sinis, "Apalagi jika mereka tahu, apa yang terjadi pada hafiz dan Hanum, siapa yang bisa kau buat percaya?"
Puspa berusaha menahan tangis atas semua perkataan dari Padma, apalagi dia menyadari semua terdengar benar.
“Puspa!” Bram memanggil Puspa yang ingin berjalan keluar kamar rawat Hafiz.
“Maaf Mas, aku..” Puspa terlihat menangis, “Sebaiknya aku pergi dari sini saja, aku tak ingin Mbak Padma lebih marah dan membenciku.”
Padma hanya mendengus dingin kemudian mencibir, “Teruslah bersikap seolah kau menderita karena sikapku, karena kau memang pandai dalam membuat dia semakin jatuh simpati dan cinta padamu.”
“Padma!” bentak Bram.
“Maaf,” ucap Puspa lirih dan berurai air mata.
“Ayo,” Bram berjalan ke arah Puspa dan mengajak wanita itu pergi.
Padma membenci melihat itu, “Bram.”
Langkah Bram terhenti dan melihat pada Padma dengan pandangan tajam karena istrinya itu memanggil dengan sebutan nama.
“Aku harap kau hadir di sidang cerai kita besok, dan kita selesaikan semua situasi ini secepatnya,” ucap Padma dengan ekspresi wajah yang dingin.
“Tak akan ada perceraian, apalagi kau sedang hamil saat ini,” sahut Bram menatap Padma.
“Tak masalah aku sedang hamil saat ini, aku ingin kita tetap bercerai,” suara Padma terdengar tegas.
“Kita tak akan bercerai, sampai kapan pun itu,” ucap Bram berbalik sambil berjalan dan di ikuti oleh Puspa yang melihat Padma dengan wajah yang sedih.
“Mas Bram, soal Mbak Padma yang ingin bercerai...” tanya Puspa saat sudah berada di luar ruangan rawat Hafiz.
“Aku antar kau pulang sekarang, ayo,” ajak Bram berjalan lebih dulu tanpa melihat pada Puspa.
Dan untuk pertama kalinya Puspa melihat sikap Bram terlihat tak peduli padanya, ada rasa sedih juga sakit yang dia rasakan.