Padma terlihat memandang gelas minumannya dan terdengar tarikan napas panjang dari wanita itu.
“Kapan sidang pertama perceraiannya?” tanya pria yang ada di hadapan Padma.
“Lusa, Bang Avin,” sahut Padma.
“Apa kamu merasa berat dan tidak yakin untuk berpisah dari suamimu itu?” tanya Avin.
Terdengar tarikan napas lagi dari Padma, “Berat bukan berpisah dengannya Bang, tapi..”
Ada jeda dalam bicara Padma dan Avin dengan sabar menunggu.
“Apa karena anak-anak sambung mu?” tebak Avin.
Padma memandang Avin, mata wanita itu terlihat mengembun dan Avin yakin sebentar lagi air mata wanita itu akan tumpah.
“Aku menyayangi dan mencintai mereka, apa yang terjadi pada mereka saat ini mengingatkan akan apa yang aku alami,” suara Padma terdengar lirih.
Avin mengerti maksud perkataan Padma, dia langsung meraih tangan wanita itu dan menggenggamnya.
“Aku tahu rasanya terabaikan, aku tahu rasanya tidak di pedulikan, tidak dicintai, seandainya aku punya kekuatan hak atas mereka, aku...” perkataan Padma terhenti saat rasa sesak mengingat masa kecilnya yang suram.
“Kalau kau berat mengambil keputusan ini, kau bisa membatalkan semuanya sebelum benar-benar berpisah,” sahut Avin.
“Aku tidak bisa Bang, aku tidak akan bertahan untuk terus terluka,” Padma menggelengkan kepalanya, "Karena diriku terlalu berharga untuk pria seperti dia."
“Aku tidak bisa seperti ibuku yang harus menderita dan mati karena menunggu dengan setia, walaupun telah di khianati berkali-kali,” Padma menarik napas dalam-dalam, “Dan aku tidak ingin bernasib sama seperti dia.”
Avin menarik napas berat, dia memahami luka Padma karena dia mengenal wanita itu lebih lama dari siapa pun termasuk suami Padma.
“Abang akan mendukung semua keputusanmu,” Avin semakin menggenggam erat tangan Padma.
***Otw****
Padma memandang telepon genggamnya, setelah berminggu-minggu memutuskan untuk tidak berkomunikasi dengan mematikan teleponnya akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi lebih dulu.
Walaupun sebenarnya Padma masih berharap, tapi sepertinya sesuai janji pria itu, suaminya tidak akan menghubungi atau mencoba mencari keberadaannya seandainya dia memutuskan untuk pergi dari rumah mereka saat itu.
Apalagi setelah pertengkaran hebat mereka Padma masih berharap banyak tapi setelah sekian lama akhirnya dia menyadari pernikahan mereka akan berjalan sangat singkat, seperti perkenalan dan juga keputusan mereka untuk menikah tanpa berlama-lama pacaran.
Padma hanya bisa tersenyum miris, hanya karena sebuah amanat membuat pria itu abai pada anak dan istrinya.
Pria itu lebih peduli dengan menunjukkan cinta dan kasihnya pada dua keponakannya dan juga istri almarhum adiknya.
Begitu juga dengan Ibu mertuanya, dengan alasan mereka anak yatim dan janda dari anak bungsunya membuat Ratmi menjadi orang yang pilih kasih.
Walaupun itu memang terlihat dari sikap ibu mertuanya dari awal Padma menikah dengan Bram dua tahun yang lalu, apalagi sekarang setelah kematian Rian putra kesayangannya.
Yang meninggalkan amanat tidak hanya pada Ratmi tapi juga pada Bram.
“Aku tak peduli kalau kau mengabaikan aku dan calon anak kita, tapi jangan abaikan Hanum dan Hafiz mereka tak punya siapa-siapa lagi selain dirimu,” kalimat permohonan terakhir yang di ucapkan Padma sebelum melangkah pergi dari rumah.
Dan Padma seperti memiliki firasat begitu dia mulai menghubungi nomor yang selalu dia ingat tanpa harus melihat dalam pencarian.
***otw****
Dan sepertinya firasat itu benar, hati Padma merasa tak nyaman karena hampir seharian ini dia selalu memikirkan ke dua anak sambungnya, Hanum dan terutama hafiz!
Setelah beberapa hari dia menonaktifkan telepon selulernya, dia segera menghubungi nomor milk Hanum.
“Bunda, jemput Hanum sama Ade Hafiz,” kalimat pertama yang muncul saat dia menghubungi Hanum.
“Sayang, kenapa menangis?” hati Padma terasa sakit saat mendengar tangis lirih dari Hanum.
“Papa, papa...” dengan tergugu Hanum tak melanjutkan kalimatnya.
“Kenapa dengan Papa?” tanya Padma.
Cerita dan aduan Hanum mengalir di sela isaknya, yang begitu menyayat hati Padma.
“Adik Hafiz mana kak?” ucap Padma menahan isaknya juga.
“Di kamar, adik Hafiz sakit muntah-muntah terus,” terang Hanum.
“Sudah di bawa ke dokter?” tanya Padma.
“Belum, tapi sama bik Pur sudah di beri obat Bunda,” terang Hanum.
“Bik Pur?”
“Bik Pur itu yang di suruh sama nenek ngurusin Hanum sama adik Hafiz sekarang di rumah,” terang Hanum yang mulai terdengar tenang.
“Kenapa ngak di bawa ke dokter?” tanya Padma ulang.
“Kata nenek ngak perlu, adik Hafiz itu sakit biasa saja,” terang Hanum, “Dan lagian kata nenek sudah repot karena harus mengurus Azam dan Fani.”
“Kalau Papa mana kak?” rentetan pertanyaan di ajukan Padma.
“Pergi sama Tante Puspa ke pesta,” terang Hanum.
“Pergi ke pesta?” tanya Padma tak percaya, “Kakak tahu dari mana?”
“Tante Puspa jemput Papa ke sini bawa Azam sama Fani,” kembali suara mungil itu berucap.
“Terus sekarang Hanum sama siapa di rumah?” panik suara Padma terdengar.
“Berdua saja sama ade hafiz,” terang Hanum dengan suara yang sengau, “Bunda ade hafiz muntah lagi.”
“Bunda ke sana sekarang,” Padma bergegas pergi kembali menuju rumah yang menyimpan banyak luka untuknya, “Seandainya kalian berdua anak kandungku, maka hanya satu yang aku minta dalam perceraian ini.”
Hak asuh Hanum dan Hafiz!
***Otw****
Puspa berusaha untuk bisa bergabung dalam percakapan bisnis antara Bram dan rekan-rekannya.
Tapi sepertinya dia belum mampu untuk mengimbangi percakapan itu, kemampuan sosialisasinya dalam lingkungan ini masih sangat dangkal.
Dia berjalan ke kamar kecil untuk memperbaiki riasannya.
“Kamu lihat Bram berani sekali membawa selingkuhannya ke mari, dasar mereka tidak tahu malu,” suara wanita terdengar dari luar bilik tempat puspa berada.
“Ini semua gara-gara kau,” sahut yang lain.
“Kenapa gara-gara aku?”
“Seharusnya kau tidak menjodohkannya dengan Padma, lihat sekarang Bram sudah membuat Padma menderita dengan perselingkuhannya.”
“Iya, aku sungguh menyesal melakukan hal itu, karena dulu aku pikir dia adalah pria yang baik."
"Baik hanya terlihat di permukaan, pada kenyataannya dia sama saja dengan p****************g lainnya, begitu melihat makanan nikmat yang di sodorkan padanya, pasti dia langsung melahapnya tanpa peduli yang menyajikan itu adalah istri almarhum adiknya sendiri."
"Ya, aku rasa Puspa itu mungkin sudah menyajikan dengan kenikmatan penuh karena secara dia lebih berpengalaman dari pada Padma."
“Jadi jangan coba-coba lagi halangi Padma untuk bercerai dan berpisah dengan Bram.”
“Tapi Padma sedang hamil, bagaimana...”
“Padma dari dulu wanita kuat dan dia tidak sendirian, ada kita yang akan menolong dan selalu mendukungnya."
“Baiklah, aku tidak akan mencegah Padma untuk bercerai dari Bram.”
“Itu bagus, lebih baik Padma bercerai dari pada sakit hati melihat perselingkuhan Bram dan istri almarhum adiknya sendiri."
“Aku tidak menyangka, wanita itu tidak seperti wanita yang bisa melakukan...”
“Jangan tertipu dengan hijab dan tampang sok sucinya, semua itu hanya topeng bagi wanita pelakor sekarang!”
Puspa tidak mampu bergerak dari bilik kecil itu, dia harus menahan untuk tidak keluar dan membantah pernyataan mereka di luar sana
Aku bukan pelakor!