Bram masuk ke dalam rumahnya, gelap dan terasa sunyi, keinginannya untuk kembali ke rumah sakit untuk menjaga Hafiz di urungkan.
Melihat kemarahan dan kebencian Padma padanya, membuatnya tidak yakin kalau wanita itu bersedia kembali ke rumah ini, mengurusnya dan juga anak-anak seperti biasa.
Beberapa bulan lalu rumah ini masih ramai dengan tawa juga cengkerama serta celoteh dari Hafiz dan juga Hanum.
Suara Padma yang memanggil atau sapaan wanita itu saat dia pulang dari bekerja.
Atau pembicaraan saat malam menjelang sambil menikmati minuman seduhan kopi yang di buat oleh Padma serta kue cemilan buatan istrinya itu.
Bram terduduk di ruang tamu itu, benar-benar sepi.
Entah sejak kapan dia mulai abai dengan keluarganya sendiri, anak-anak dan istrinya.
Mungkin setelah amanat yang di terima dari almarhum adiknya yang membuat semua berubah begitu cepat.
Sampai dalam beberapa minggu setelah kepergian Padma pun dia tidak menyadarinya.
Tapi malam ini ketika sampai di rumah menemukan kesunyian setelah pergi bersama Puspa, ibu dan anak-anak puspa ke mall untuk bersenang-senang dia baru menyadari hal itu.
Banyak pesan dari Padma yang sebenarnya masuk tapi dia abaikan, karena setelah sekian lama tak memberi kabar,, tiba-tiba kemarin istrinya mengirim pesan soal tuntutan dan jadwal sidang perceraian yang di ajukan oleh istrinya.
Setelahnya Bram langsung menghubungi Padma untuk bicara, tapi wanita itu beberapa kali menolak dan justru pesan kembali masuk untuk mempertegas soal tuntutan cerai itu, dan perdebatan melalui pesan di sambungan telepon pun terjadi berakhir dengan pertengkaran kata-kata yang rumit.
Akhirnya dia mengabaikan pesan Padma karena tak ingin membaca apalagi membalas pesan karena dia tidak ingin menyulut kembali kemarahan seperti beberapa minggu yang lalu dan menyebabkan keputusannya untuk menyuruh istrinya pergi dari rumah.
Ternyata hari ini justru Padma mengirim pesan itu adalah kabar mengenai Hafiz yang sakit dan Padma membawanya ke rumah sakit.
Ada kesedihan yang tiba-tiba merasuki hatinya, apa benar sejauh inikah dia sudah tidak peduli dengan anak-anaknya sendiri dan lebih peduli dengan yang lainnya.
Bram mengusap wajahnya dengan kasar, sebuah amanat yang mengubah kehidupan keluarganya dan juga dirinya.
Apakah semuanya sudah terlambat?
***Otw***
Wajah Puspa terlihat lebih cantik dengan hijab bunga berwarna mint di tambah senyum dengan lesung pipi menyambut kedatangan Bram seperti biasa untuk menjemputnya bekerja.
“Ayo Mas masuk dulu, ibu bilang sudah menyiapkan sarapan untuk Mas,” ajak Puspa.
Bram masuk tapi tak membalas senyum Puspa seperti biasa, terlihat wajah pria itu berubah seperti ada kekesalan dalam dirinya.
Dan Puspa tahu ada sesuatu yang tidak beres dengan Bram karena tak seperti biasanya pria itu tidak membalas sapaannya.
"Mas, aku belum kasih tahu ibu soal Hafiz," terang Puspa sebelum Bram melangkah masuk ke dalam rumah, "Tadi malam ..."
“Ibu!” Bram memanggil ibunya begitu melihat wanita itu keluar dari dapur.
“Bram, ayo sarapan," ajak ibunya.
“Kenapa Ibu tidak memberi tahu kalau kondisi Hafiz ternyata sampai separah ini?” ucap Bram.
“Separah apa? Hafiz itu kan cuman panas biasa saja dan ibu sudah suruh bibik untuk memberi obat pereda panas,” sahut Ibunya.
“Tapi ibu tidak memanggil atau membawa Hafiz ke dokter?” tanya Bram.
“Ck, itu hanya panas biasa dan jangan di lebih-lebihkan harus sampai di bawa ke dokter,” sahut Ibunya.
“Dan lagian ibu masih banyak yang di urus dan seharusnya yang mengurus mereka itu kan Padma bukan ibu,” lanjut Ibunya.
“Tapi Padma kan tidak ada di rumah, dia ...”
“Ibu tahu Padma tidak ada di rumah, salah dia kenapa harus pergi dari rumah dan tidak mau mengurus dengan baik Hafiz juga Hanum.”
“Kau itu kan menikahi dia untuk agar bisa mengurusi anak-anakmu, seharusnya dia tahu kewajibannya itu,” ibu Ratmi terdengar jengkel.
“Ibu...”
“Suruh Padma pulang dan urus anak-anakmu dengan benar, terutama Hafiz yang sedang sakit di rumah!” perintah ibunya.
“Hafiz di rawat di rumah sakit,” ucap Bram dan pria itu bisa melihat ekspresi terkejut ibunya.
“Di rumah sakit?”
“Kemarin sore Padma datang menjemput Hafiz yang tidak sadarkan diri, karena di telepon oleh Hanum, ”ucap Bram, “Dan Hafiz hampir saja meninggal karena panasnya yang sangat tinggi.”
“Itu...”
“Dan ibu membiarkan mereka hanya berdua di rumah tidak ada orang lain mengawasi mereka!” ucap Bram dengan geram.
“Ada bibik yang ...”
“Tidak ada, bibik sudah bilang pada ibu untuk izin kalau dia tidak bisa masuk kemarin,” potong Bram.
“Ibu lupa...”
“Ibu lupa? Ibu lupa? Atau sebenarnya Ibu tidak pernah peduli dengan anak-anakku dan hanya peduli dengan anak-anaknya almarhum Rian!”
“Bram!”
“Aku sudah mempercayakan mereka pada ibu sejak Padma pergi meninggalkan rumah, tidak hanya menyerahkan begitu saja tanggung jawab pada bibik yang bahkan tidak tahu bagaimana mengurus anak yang sedang sakit!”
“Bram!”
“Apa kurang dengan apa yang aku lakukan untuk memenuhi keinginan Ibu, agar aku lebih memperhatikan Azzam dan Fani lebih dari pada Hanum dan Hafiz karena mereka anak yatim.”
“Dan aku juga sudah menuruti keinginan Ibu untuk membantu Puspa mengurus perusahaan peninggalan Rian agar tetap berjalan dan membuat keluargaku terabaikan sampai Padma memutuskan untuk meminta bercerai dariku!” Bram menumpahkan segala sesuatu yang ada dalam hatinya.
“Apa? Padma meminta cerai?”
“Dan aku rasa sekarang ibu merasa puas dengan keputusan Padma, bukan begitu Ibu?”
“Ibu..” Ratmi tak bisa menjawab.
"Seandainya Padma dan aku bercerai, maka ibu termasuk salah satu penyebabnya," Bram terdengar marah.
"Jangan salahkan ibu, salahkan Padma yang menjadi wanita tidak bisa mengerti dan memahami kondismu yang punya tanggung jawab terhadap yang lain," sahut ibunya tidak terima.
"Dia mencoba mengerti, tapi aku yang tidak mengerti begitu juga dengan ibu," Bram mendengus kasar.
"Kalau begitu bercerai saja dengan Padma, menikahlah dengan Puspa," ujar Ratmi memandang Puspa yang ada di belakang Bram, membuat wajah wanita itu terkejut mendengar ide ibu mertuanya, "Dia jauh lebih cantik, penurut, lembut dan lebih muda dari Padma."
"Jadi kita akan tetap jadi satu keluarga dan kau bisa menjalankan semua amanat Rian sepenuhnya dengan baik," lanjut Ratmi.
"Semudah itu ibu bicara dan berpikir? Aku tidak percaya," Bram menggelengkan kepalanya.
"Ya," sahut Ratmi singkat.
"Aku tidak akan melakukan itu, karena bagiku itu akan menjadi suatu kekonyolan yang sangat bodoh, apalagi ibu tahu saat ini Padma sedang mengandung anakku," Bram berbalik dan mendapati Puspa yang memandangnya dengan wajah yang sulit di artikan.
"Kau pergi sendiri saja ke kantor, aku akan pergi ke tempat lain dulu," perintah Bram berlalu pergi.
"Mas, aku ikut," Puspa mengiring Bram dengan tergesa-gesa.