Bram pergi ke rumah sakit dan Puspa ikut bersamanya, karena wanita itu ingin menjenguk dan melihat bagaimana keadaan Hafiz.
Klek!
Pemandangan pertama yang di lihat oleh Bram adalah Avin yang sedang membujuk Hafiz untuk makan.
Avin hanya melihat sekilas, berbeda dengan Hafiz sepertinya tidak peduli dengan kehadiran Bram mau pun Puspa.
“Ayo, sedikit lagi jagoan,” terlihat Avin sedang menyuapkan makanan pada Hafiz .
“Pahit, Om Avin,” rengek hafiz sambil menggelengkan kepalanya.
“Memang, tapi kalau ngak makan banyak nanti jagoan ngak cepat sembuh,” bujuk Avin.
“Bagaimana kalau Papa yang suapin?” tawar Bram yang berjalan mendekati Hafiz.
Avin dan hafiz melihat pada Bram yang di sampingnya berdiri Puspa.
“Atau mau Tante Puspa yang suapin?” tawar Puspa mendekati ranjang tidur Hafiz.
Hafiz menggeleng dan kembali melihat pada Avin kemudian menjawab lirih, “Sama Om Avin saja.”
Ada kecewa di hati Bram, tapi dia berusaha untuk mengerti keinginan Hafiz, sementara Puspa hanya menganggukkan kepalanya mengerti atas penolakan bocah kecil itu.
Avin kemudian menyuapkan kembali bubur itu dengan sabar pada Hafiz.
“Di mana Hanum?” tanya Bram melihat sekeliling.
“Ke sekolah,” sahut Avin singkat tanpa melihat pada Bram.
“Sekolah?” tanya Bram heran.
“Kau pasti tahu hari ini ada ujian kenaikan kelas, jadi tadi Padma mengantarnya ke sekolah,” terang Avin sambil membersihkan sisa makanan di mulut Hafiz.
Bram menggelengkan kepalanya, “Apa Padma akan kembali ke sini?”
Avin menatap Bram dengan tatapan malas kemudian menggelengkan kepalanya, “Tidak, langsung ke pengadilan agama, hari ini sidang pertama perceraian kalian, kau pasti ingat itukan?”
Bram membalas menatap Avin, walaupun dia terkejut karena ternyata Padma tidak menuruti keinginannya untuk tidak bercerai.
“Aku sudah bilang tidak akan ada perceraian, apalagi ...”
“Tak perlu menjelaskannya padaku, bicaralah pada Padma, yang sudah sangat yakin mengakhiri semuanya denganmu,” sela Avin berdiri memberi kode pada Bram untuk mengikutinya dan pergi berjalan keluar kamar karena tidak ingin Hafiz mendengar pembicaraan mereka, “Om Avin keluar sebentar, nanti kembali.”
Hafiz hanya mengangguk, “Jangan lama-lama ya Om Avin.”
Avin mengacungkan jari jempolnya, “Siap jagoan.”
Sementara pada Bram yang menatapnya dengan tersenyum, Hafiz hanya memandang sebentar kemudian memejamkan matanya tanpa mengatakan apa pun seperti pada Avin.
Bram hanya menarik napas dalam-dalam melihat sikap Hafiz padanya dia berjalan keluar di ikuti oleh Puspa di belakangnya.
“Dia seharusnya memikirkan anak-anak sebelum ..” Bram mulai bicara.
“Bukan dia yang harus memikirkan semua sebelum bercerai, tapi kaulah yang memikirkannya dari awal saat semua di mulai,” Avin kembali menyela ucapan Bram, “Atau mungkin saat kau ingin menikahi Padma dua tahun yang lalu, kau sudah memikirkannya dengan baik-baik.”
“Paling tidak kami harus membicarakannya sebelum keputusan di ambil,” sahut Bram.
“Membicarakan apalagi, saat seorang suami sudah bermain kekerasan dan mengusir istrinya dari rumah, itu artinya adalah keputusan final untuk berpisah,” ujar Avin sinis.
“Aku tidak sengaja melakukannya dan itu juga refleks, aku memintanya untuk pergi menenangkan diri ke tempat di mana Padma bisa berpikir jernih,” Bram berusaha untuk bicara setenang mungkin.
“Bicaralah sesukamu, aku akan mendukung apa pun keputusan Padma termasuk untuk berpisah darimu,” Avin kini berdiri di hadapan Bram dan memberikan tatapan yang tajam.
“Mas Avin, Mba Padma itu seharusnya jangan mengambil keputusan sepihak saja ..” Puspa yang sedari diam ingin ikut bicara, tapi langsung terhenti saat melihat tatapan Avin yang tajam padanya.
“Kau tidak perlu ikut bicara, kau tidak punya kapasitas apa pun dalam hal ini, kecuali ikut berkontribusi dalam perceraian mereka,” ujar Avin menyela, membuat Puspa langsung terlihat pucat dan terlihat sedih.
“Maaf aku tidak bermaksud begitu,” puspa berkata lirih kemudian menundukkan kepalanya.
“Puspa tidak ada sangkut pautnya dengan masalah aku dan Padma,” Bram terlihat tak suka dengan sikap Avin.
“Jadi bukan dia yang membuatmu mulai abai pada anak-anakmu, selama beberapa bulan ini?” Avin menunjuk pada Puspa dengan dagunya, “Dan membuatmu berani ringan tangan pada istrimu sendiri?”
Bram hanya terdiam dengan pertanyaan Avin dan melirik sekilas pada Puspa yang menundukkan kepalanya dengan wajah yang terlihat sedih dan kemudian menggelengkan kepalanya, “Bukan.”
Avin hanya menggelengkan kepalanya tak percaya dan menatap sinis pada Bram dan Puspa bergantian, “Sebaiknya kau pergi, karena kau sepertinya terlambat menghadiri jadwal sidang perceraian dan saranku segeralah berpisah dengan padma secepatnya.”
Bram ingin kembali bicara, tapi Avin justru pergi meninggalkannya dan masuk kembali ke dalam ruang rawat Hafiz.
"Mas Bram, sebaiknya kita pergi menyusul Mbak Padma ke pengadilan, kita harus bujuk biar Mbak Padma mengurungkan niatnya," usul Puspa.
Bram menarik napas berat dan kemudian menganggukkan kepalanya.
**otw***
"Suami anda tidak datang sepertinya, dia hanya mengutus pengacaranya," bisik pengacara yang duduk di samping Padma.
"Biar saja, yang penting urus perpisahan ini secepatnya," Padma melirik sekilas pada pria yang ada di sebelah pengacaranya.
Sidang berjalan singkat, kedua pengacara sama-sama mengajukan keinginan klien mereka.
Hakim memutuskan untuk sidang mediasi, karena keinginan dua belah pihak yang berbeda.
"Maaf aku terlambat," Bram menghampiri Padma yang baru saja keluar di iringi oleh pengacaranya dan juga pengacara Bram.
Padma hanya memandang sekilas pada Bram, tapi tidak pada Puspa yang di pandangnya cukup lama, dan Puspa yang di pandangi berusaha tersenyum walaupun itu terlihat di paksakan.
"Mbak Padma," sapa Puspa, tapi sapaan itu tidak di balas.
justru pandangan Padma kembali pada Bram, "Aku harap sidang berikutnya kamu bisa hadir, karena aku ingin kita bercerai secepatnya."
"Padma, aku sudah bilang tidak akan ada perceraian," Bram berusaha memegang lengan istrinya.
"Aku ingin kita tetap bercerai dan itu yang terbaik," Padma menepis tangan Bram, "Dan terus terang, aku tidak suka urusan ini menjadi bertele-tele hanya karena kau ingin aku lebih mengerti keadaan dan posisimu."
"Aku tidak akan pernah menceraikan mu, kita harus membicarakan ini berdua," Bram terdengar tegas.
"Kurasa tak ada pembicaraan kita berdua," Padma mengarahkan telunjuknya pada Puspa, "Karena aku tahu, kau pasti ingin dia juga ikut terlibat dalam pembicaraan ini."
"Karena kau sudah salah paham pada kami berdua," tegas Bram, "Tidak ada perselingkuhan yang terjadi."
"Bicara saja di sidang berikutnya, dan coba bantah bukti yang ada, " sahut Padma.
"Aku sudah memberitahumu Padma berulang kali, semua bukti itu tidak benar, kami tidak pernah tidur bersama di kamar hotel waktu idi Batam," bantah Bram.
"Mbak, apa yang di katakan oleh Mas Bram itu benar," Puspa ikut bicara walaupun dengan mimik wajah yang khawatir.
"Terus saja membantah, tapi bukti yang lain yang belum aku perlihatkan akan tidak bisa kalian bantah," Padma ingin berlalu pergi.
"Tanya saja pada pengacaramu, aku juga sudah memberikan bukti itu padanya," tunjuk Padma pada pria yang berdiri di sampingnya.
"Dan keputusanku untuk bercerai denganmu sudah bulat," ujar Padma berlalu pergi di ikuti oleh pengacaranya.
"Bukti apa?" Bram penasaran dengan semua yang di katakan oleh Padma.
Dan pengacaranya menyerahkan satu amplop berwarna coklat pada Bram, yang kemudian dengan tergesa pria itu menerima dan membukanya.
Ada keterkejutan luar biasa pada wajah Bram, begitu juga Puspa yang ikut melihat foto-foto itu.