Bagi kebanyakan siswa, belakang sekolah memiliki kesenangan tersendiri. Tempat yang tepat untuk bolos jam pelajaran. Tempat yang pas untuk merokok bagi sebagian siswa. Tempat yang pas untuk mencuri waktu berpacaran. Dan tempat yang selalu jadi topik obrolan dan ada penghuninya.
Bagi Auryn, belakang sekolah begitu banyak memberikan kesan yang mengubah kehidupannya. Dia dulu ditembak Yohan di belakang sekolah. Dia sering berduaan dengan Yohan di belakang sekolah. Beberapa waktu lalu, dia ditembak Redo di belakang sekolah. Belakang sekolah juga tempat Auryn berbagi kisah dengan pacar keduanya.
“Ngelamunin apa sih?”
Pertanyaan dan colekan di dagu membuat pikiran Auryn sontak buyar. Dia menoleh ke cowok yang duduk di sampingnya itu. Gadis itu lalu mengulas senyum.
“Inget waktu lo nembak gue,” jawab Auryn tak sepenuhnya berbohong.
Senyum Yohan mengembang. Tangan kirinya terulur ke belakang kepala dan mengacak rambut yang belum dia potong rapi itu.
“Ternyata lagi kepikiran itu. Berkesan banget ya belakang sekolah?”
“Tentu.”
Auryn menatap ke depan, melihat kerajinan tangan dari siswa ekskul 3R. Meski sama-sama di belakang sekolah, tempat berpacaran dengan Yohan dan Redo jelaslah berbeda. Jika bersama Redo, Auryn memilih di belakang ruang peralatan olah raga. Sedangkan bersama Yohan, Auryn memilih duduk di dekat ruang 3R.
“Tiga lagi, hubungan kita genap enam bulan loh.”
Seketika Auryn menoleh. Dia menatap Yohan yang senyum-senyum itu. Sedangkan Auryn mencoba mengingat sekarang tanggal berapa.
“Pasti nggak inget,” kata Yohan melihat Auryn yang mengernyit.
Auryn terkekeh pelan. “Sorry. Aku jarang liat kalender.”
“Ada-ada aja nih. Biasanya cewek loh yang inget kayak beginian,” ujar Yohan. Dia bergeser mendekat dan mengacak rambut Auryn gemas.
“Gue kan beda sama cewek lainnya!” protes Auryn.
Memang benar, Auryn tak sentimen soal tanggal jadian. Apalagi yang dihitung setiap satu bulan sekali seperti menghitung tanggal menstruasi.
“Iya lo emang beda. Lo emang cantik.”
“Bisa aja lo tukang cireng,” kata Auryn seraya mendorong kepala Yohan.
Mendengar balasan itu Yohan terkekeh. Dia sudah berusaha menghidupkan suasana romantis malah Auryn mengacaukan semuanya. “Kalau gue tukang cireng berarti gue tukang cireng paling ganteng dong!” kata Yohan sambil menarik turunkan alisnya.
“Apaan sih lo!”
Auryn meraup wajah Yohan dengan tangan kanannya. Setelah itu Auryn bersandar. Dia menatap etalase yang penuh dengan kreasi dari dedaunan itu.
“Gue jadi inget gimana dulu susahnya dapetin lo,” Yohan menyandarkan tubuhnya lalu ikutan menatap ke etalase seperti Auryn.
“Masa?”
Yohan mengangguk mantap. “Dulu kan kakak tingkat banyak banget yang suka sama lo. Belum lagi temen seangkatan,” jelasnya. “Tapi untungnya gue yang menang,” lanjut Yohan sambil menoleh ke Auryn.
Senyum Auryn mengembang. Dia ingat dengan tingkah kakak tingkat yang dulu mendekatinya. Beruntung kakak tingkat genit itu sekarang sudah lulus, jadi dia bisa sedikit tenang.
“Tapi agak telat kan? pacarannya baru kelas tiga,” kata Auryn menggoda. Dia ingat waktu itu saat Yohan terkesan setengah-setengah mendekatinya.
“Yang pentingkan dapetin lo. Apalagi hati lo juga buat gue, itu yang lebih penting.”
Arah pandang Yohan lalu tertuju ke gadis di sampingnya. Ada yang aneh karena Auryn tak memakai bandana yang dibentuk pita seperti biasanya. Namun itu tak begitu penting buat Yohan. Tiba-tiba ada sesuatu yang terlintas di benaknya.
“Sebenernya gue pacar ke berapa lo, Ryn?” tanya Yohan penasaran.
Sebenarnya sejak berjumpa dengan Auryn, Yohan sudah dibuat terpesona oleh gadis itu. Yohan juga tahu bagaimana sikap cuek dan ketus Auryn. Tapi sikap gadis itu justru membuatnya semakin tertarik. Menurutnya Auryn itu unik.
Auryn menatap Yohan saksama. “Emmm. Lima kayaknya. Atau enam,” kata gadis itu sambil mengulun senyum.
“Masa?”
Yohan tampak tertarik dengan pernyataan Auryn. Cowok itu memutar tubuhnya menghadap Auryn. “Bener?” tanya Yohan tak sabaran.
Auryn ikutan memutar tubuhnya. Tangan kirinya menyentuh pundak Yohan dan mengusapnya pelan. “Ya, enam. Dikit kan?”
“Gue kira lebih,” jawab Yohan. Entahlah dia sebelumnya merasa kalau mantan Auryn itu sangat banyak.
“Sebenernya gue baru boleh pacaran waktu SMA. Terus gue bener-bener klik sama lo.”
Hati Yohan menghangat. Tangannya terangkat dan mengusap puncak kepala Auryn sayang. “Klik gimana maksudnya?”
“Gue paling nyambung sama lo. Gue tahu sih lo itu keras kepala. Tapi kalau sama gue, lo sering banget ngalah,” jelas Auryn. “Terus lo itu selalu bisa pendingin dikala gue emosi.”
“Kayak kulkas gue.”
Auryn terdiam, ingat Yohan yang selalu mengalah saat mereka berdebat. Dia ingat Yohan selalu membuatnya nyaman dan merasa terlindungi. Dan yang pasti, Yohan selalu menenangkan Auryn saat gadis itu emosi atau bete.
“Gue makin sayang sama lo,” bisik Yohan.
Auryn mengangguk lalu mengulas senyum. “Gue juga sayang sama lo.”
“Sini deh tangannya,” kata Yohan seraya menarik tangan kanan Auryn. Yohan membimbing tangan mungil itu menyentuh bagian d**a. Yohan lalu menekan tangan Auryn ke bagian jantungnya.
Telapak tangan Auryn terasa ada yang menedang. Dia lalu menarik tangannya dari genggaman Yohan. “Jantung lo kenceng banget,” kata Auryn.
“Kalau jantung lo?”
Refleks Auryn menyentuh jantungnya. Dia merasa jantungnya berdetak normal, tak berdegup kencang seperti jantung Yohan. Auryn terdiam, awal berpacaran dengan Yohan jantungnya selalu membuat ulah. Namun, sekarang Auryn jarang merasakan hal itu.
Mungkin gue udah biasa sama Yohan, batinnya.
“Seirama nggak sama jantung gue?” tanya Yohan kala melihat Auryn hanya terdiam.
Auryn mengangkat wajah lalu mengangguk pelan. “Sama kok,” bohongnya.
“Gue masih aja gugup kalau deket lo.”
Tak ada respon dari Auryn. Yohan lalu menjawil dagu gadis itu hingga perhatian Auryn kembali. Auryn mengulas senyum tipis lalu menunduk.
“Enam bulan jadian dirayakin nggak nih?” tanya Yohan.
“Terserah lo.”
“Ya udah kita dinner ya.”
Auryn hanya mengangguk singkat. Entah kenapa dia tak antusias mendengar rencana dinner itu. Seperti ada yang mengganggu pikirannya dan firasatnya mengatakan kalau rencana itu akan gagal.
***
Sehari dua kali, Auryn ke belakang sekolah. Sore ini sebelum pulang sekolah dia menyempatkan ke bekalang sekolah untuk menemui Redo. Pacar kedua gadis itu tiba-tiba marah di-chat karena merasa tak diperhatikan.
“Gue kira lo nggak ke sini.”
Baru saja Auryn berbelok, pertanyaan itu sudah dia dengar. Dia mendongak melihat Redo yang berdiri dengan ice cream di tangan.
“Lo marah-marah, ya udah gue ke sini,” jawab gadis itu sambil mendekat.
Redo mengulurkan cornetto rainbow yang baru saja dia beli di kantin ke Auryn. Cowok itu membuka punyanya sendiri lalu memakan ice cream itu.
“Belum leleh. Itu artinya lo nggak ngaret,” kata Redo.
Auryn memutar bola matanya malas. Cewek itu lalu membuka ice cream-nya dan memakannya. Dia melirik Redo, cowok itu terlihat masih sebal.
“Lo kenapa sih marah-marah mulu?” tanya Auryn kemudian.
Sontak Redo menoleh, emosinya langsung menaik. Dia tadi melihat Auryn berpacaran dengan Yohan, tampak begitu asyik. Sedangkan Redo tidak, bahkan chat-nya saja tak diacuhkan oleh Auryn.
“Gue baru aja masuk sekolah. Lo udah sibuk sendiri sama Yohan,” jawab cowok itu.
“Ya gimana. Sebelumnya Yohan nggak bisa dihubungi. Gue khawatir.”
“Mungkin gue bisa nyontoh cara itu.”
“Maksud lo?” satu alis Auryn terangkat.
Redo memutar tubuhnya, lalu menarik pundak gadis itu agar mendekat ke arahnya.
“Kalau gue nggak bisa lo hubungi, apa lo juga khawatir ke gue?”
Tubuh Auryn tersentak. Pertanyaan apa itu? dia menunduk dan menjilat ice cream-nya, bingung harus menjawab apa.
“Nggak bisa jawab? Gue emang nggak spesial ya buat lo.”