Jam pelajaran telah dimulai, Auryn duduk sambil mengedarkan pandangan ke arah depan. Cowok yang biasanya duduk di depan itu tak terlihat. Auryn terkikik, ingat tak membersihkan seragam Virgo. Gadis itu hanya melipat seragam kotor itu dan meletakkan di laci meja Virgo.
“Ngapa lo senyum-senyum?”
Wiska yang melihat Auryn senyum-senyum seketika penasaran. Wiska mendekat lalu menatap ke arah pandang Auryn.
“Lo nggak kesambet setan pojokan kelas kan?”
Auryn meraup wajah Wiska. Gadis itu bosan saja mendengar pertanyaan aneh Wiska.
“Gue habis ngerjain Virgo tahu,” cerita gadis itu.
“Kok lo nggak ngajak gue?”
“Ya sorry.”
Wajah Wiska kemudian berubah antusias. “Terus gimana?”
Senyum Auryn mengembang. Dia mengeluarkan botol yang isinya telah kosong itu. Setelah itu dia menatap Wiska.
“Gue habis bikin cappucinno terus gue tumpahin ke seragamnya.”
Buru-buru Wiska menoleh ke meja paling pojok yang telah kosong itu. “Terus dia sekarang?”
Auryn mengangkat bahunya. “Gue disuruh bersihin bajunya terus disuruh nganter ke UKS,” jelasnya. “Males bangetlah gue.”
“Dan sekarang dia masih di UKS?”
“Tahu.”
Keduanya lalu menatap depan, mendengar penjelasan tentang gelombang elektromagnetik. Diam-diam Auryn tersenyum tipis. Lima belas menit berlalu dan Virgo belum juga masuk kelas.
Tok. Tok. Tok.
“Maaf, Bu saya telat.”
Suara itu membuat Auryn sontak menoleh. Dia kaget melihat Virgo yang berjalan masuk lengkap dengan seragam. Auryn mengernyit, cowok itu dapat seragam dari mana?
“Sialakan duduk, Go,” kata bu Yovi.
Virgo duduk di tempat duduknya. Dia menyempatkan diri melirik ke Auryn. Gadis itu terlihat kaget dan Virgo hanya tersenyum singkat. Cowok itu mengeluarkan buku lalu fokus mengikuti mata pelajaran. Jika Auryn merasa Virgo kalah, gadis itu salah besar.
Tadi Virgo menyempatkan pulang dulu. Namun sebelum itu dia mampir ke ruang guru dan izin ke bu Yovi yang kebetulan sudah datang. Makanya Virgo tak kena marah saat masuk kelas barusan.
Sedangkan di bangku belakang, Auryn masih menebak-nebak mengapa cowok itu kembali mengenakan seragam. Bahkan tak dimarahi oleh bu Yovi.
“Ck! Lo sih nggak ngajak gue. Makanya kalau mau ngerjain orang ajak gue biar sukses,” bisik Wiska.
“Diem loh.”
Auryn lalu pura-pura membuka pukut paket di depannya. Sial, kenapa dia justru yang kesal? Dan kenapa juga patung ber-earphone itu selalu menang?
***
Setelah skorsing selama tiga hari, akhirnya hari ini Yohan bisa kembali ke sekolah. Dia tak sabar bertemu dengan tim basket dan tentu saja Auryn. Selama skorsing, Yohan sama sekali tak diperbolehkan keluar dan ponselnya disita oleh orangtuanya sebagai hukuman.
“Gimana? Udah baikan sama Redo?”
Yohan menoleh dan melihat Uca yang duduk di sampingnya. “Ngapain. Gue nggak salah,” jawabnya masih kesal dengan kejadian waktu itu.
“Lo kapten sekaligus ketua ekskul basket. Redo wakil lo. Gimana organisasi kita kalau dua orang penting justru berantem?” tanya Uca. “Nggak biasanya lo kayak gini.”
“Lo bener. Tapi gue belum bisa lupain masalah gitu aja. Redo yang mulai.”
“Meski Redo yang mulai apa salah kalau lo minta maaf duluan? ”
“Dia makin songong kalau gue minta maaf duluan!” balas Yohan. Dia bisa saja meminta maaf, tapi dia yakin kalau Redo pasti akan semena-mena.
Yohan lalu memutar tubuhnya hingga menatap Uca sepenuhnya. “Gue tanya sama lo. Redo dulu sikapnya nggak kayak gitu kan? Awal gue kenal dia baik banget,” ungkap Yohan.
Uca terdiam. Dia merasa masalah pribadilah yang membuat Redo berambisi untuk mengalahkan Yohan. Dia tahu bagaimana kondisi keluarga Redo.
“Yohan. Gimana keadaan lo? baik-baik saja?”
Pertanyaan itu membuat Yohan menoleh, dan mendapati Yunda—gadis yang sejak dulu mengejarnya. Yohan menoleh ke Uca dan menepuk cowok itu. “Kapan-kapan dilanjutin,” kata Yohan tak ingin Yunda mendengar pembicaraan.
“Oke. Nanti gue tunggu di ruang bakset!” ucap Uca lalu memilih keluar kelas.
Selepas kepergian Uca, Yohan mendongak menatap Yunda. “Baik-baik aja,” jawab cowok itu lalu berdiri.
Gadis berambut sebahu bervolume dengan poni samping itu menarik tangan Yohan. Mencegah cowok itu pergi. “Bibir lo masih luka? Ya ampun, kenapa bisa sampe gini sih?” tanya Yunda sambil menyentuh ujung bibir Yohan.
Tangan Yohan menarik tangan itu lalu berjalan keluar kelas. Yunda berdecak dan buru-buru mengejar Yohan.
“Yohan! Gue kan mau ngobrol sama lo!”
“Gatel banget jadi cewek!”
Kalimat itu membuat Yohan dan Yunda menoleh. Mereka melihat gadis berbandana berdiri sambil bertolak pinggang. Mata gadis itu membulat dengan rahang yang terlihat mengeras.
“Kenapa diem?” tanya Auryn yang melihat Yunda menatapnya.
“Pergi aja yuk,” ajak Yohan tak ingin ada perdebatan.
Auryn menggeleng tegas. Dia menatap Yunda, gadis yang suka dengan hal-hal berbau Korea itu.
“Jangan deketin cowok gue!”
Yunda mengangkat bahu seolah tak terpengaruh. “Suka-suka gue dong. Terserah gue mau deket sama cowok mana aja!”
“Dasar pelakor!!”
“Jaga ya mulut lo!” balas Yunda tak suka.
Yohan turun tangan. “Udah deh nggak usah berantem!”
Auryn lalu berjalan menjauh. Sambil berjalan dia menggerutu sebal ke Yunda yang selalu tebar pesona ke Yohan. Auryn memang menyadari jika pacarnya itu tampan, bahkan pacar keduanya juga tampan. Namun, Auryn tak terima pacarnya didekati cewek lain.
“Zaman sekarang pelakor di mana-mana,” gerutu gadis itu.
“Udah jangan dengerin dia.”
Cowok itu lalu melingkan lengannya ke pundak Auryn. “Gue kangen lo,” bisik Yohan di telinga Auryn.
Auryn mendongak, dia mengulas senyum lalu mencubit pipi Yohan. “Bisa aja lo ngalihin kemarahan gue.”
“Bisa dong. Yohan! Pacaran yuk!” ajak Yohan lalu menyeret Auryn.
Di belakang cowok itu, Auryn menurut saja. Dia juga merindukan Yohan dan butuh banyak mengobrol tanpa pengganggu. Namun saat melewati tangga hendak menuju ke lantai bawah, mereka berpapasan dengan Redo hendak naik ke lantai atas.
Auryn melihat wajah pacar keduanya itu cukup membaik. Juga Redo tampak tak pincang lagi. Sedangkan Yohan menatap cowok yang telah bertengkar dengannya itu dengan sekilas. Lalu Yohan menarik tangan Auryn agar melanjutkan langkah.
“Lo udah baikan belum sama dia?” tanya Auryn ingin tahu.
Yohan menggeleng pelan. Dia akhirnya duduk di depan kelas sebelas. Cowok itu mengedarkan pandangan melihat kelas lain di ujung sebelah sana. “Belum. Gue ngerasa Redo selalu cari gara-gara,” ungkapnya.
Tangan Auryn mengusap tengkuknya. Dia merasa ini semua karena ulahnya juga. Dia tahu sebelumnya Yohan dan Redo berteman meski bukan teman dekat dan teman baik.
“Menurut lo, gue harus minta maaf nggak?” tanya Yohan.
Arah pandang Auryn tertuju ke awan putih yang menerangi. Cewek itu lalu tersenyum tipis.
“Lo kan selalu ingetin gue biar nggak cari musuh. Minta maaf nggak ada salahnya.”
Yohan mengangguk setuju. Selama skors dia juga memikirkan itu. Dia paling anti memiliki musuh. “Tapi Redo berubah banget,” ungkapnya. “Ah udahlah ngapain ngomongin dia.”
“Hehe iya,” Auryn tersenyum garing. Dia juga was-was kalau terus membahas Redo.
Tangan Yohan lalu menarik tangan Auryn. “Sorry ya ponsel gue kemarin disita. Jadi nggak ngabarin lo.”
Penjelasan itu membuat Auryn lega. “Gue kira lo kenapa-napa.”
“Lo khawatiriin gue?”
“Iyalah.”
Satu tangan Yohan yang bebas mencubit pipi Auryn. “Ugh manisnya.”
“Gue kira juga lo chat-an sama Yunda,” lanjut Auryn dengan bercanda. Entahlah tiba-tiba dia ingat dengan gadis maniak Korea itu.
“Enggaklah. Gue kan sayangnya sama lo.”
Auryn yakin kalau Yunda mendengar kalimat itu, gadis itu akan mencak-mencak tak terima. Yunda, entah sampai kapan cewek itu mengejar Yohan.