Malam minggu, Auryn hanya berteman dengan laptop dan ponsel. Gadis itu sedang mengedit vlog yang untungnya sudah dia copy ke laptop. Hingga dia bisa membunuh waktu malam minggunya.
“Auryn!!”
Teriakan kencang itu membuat Auryn buru-buru menutup laptopnya. Dia tak ingin sang mama tahu kalau dia sedang mengedit video.
“Nggak belajar?”
Auryn menoleh dan melihat mamanya berdiri di depan pintu. “Malam minggu, Ma. Masa belajar.”
“Belajar nggak ada batasan hari, Auryn!”
“Iya, Ma.”
“Jangan lupa baca buku. Inget kameramu Mama balikin kalau nilamu udah stabil.”
Setelah mengucapkan itu Audrey kembali keluar. Auryn membuang napas panjang. Masa iya malam minggu masih belajar? Ngenes amat dia.
Drtt!!
Ponsel di meja belajar bergetar. Buru-buru Auryn mengambil benda itu, dan melihat satu pesan masuk dari Redo. Auryn kecewa mengapa bukan Yohan yang mengirimkan pesan. Sejak kemarin sepulang sekolah Yohan tak mengabari. Auryn sudah mencoba mengirim pesan bahkan menelepon, tapi tak ada respons. Auryn khawatir dengan keadaan Yohan.
Drtt!!
Getar itu membuat Auryn tersadar. Dia fokus menatap ponsel dan membaca dua chat dari Redo.
Redo: Ryn. Lo lagi ngapain?
Redo: malam mingguan yuk. Lo kan janji sabtu ini keluar sama gue.
Auryn geleng-geleng. Cowok itu masih bisa memikirkan malam mingguan. Padahal keadaan Redo bisa dibilang belum membaik. Auryn tahu itu karena tadi pagi video call dengan Redo. Wajah lelaki itu masih membiru.
Auryn: keadaan lo masih pulih. Kapan-kapan aja.
Redo: lo malu jalan sama cowok babak belur kayak gue?
Sebenarnya Auryn sama sekali tak malu. Dia memang suka cowok ganteng, tapi bukan berarti dia selalu melihat kesempurnaan fisik saja.
“Woi!!”
Teriakan itu mengagetkan Auryn. Dia menoleh dan melihat lelaki dengan jaket denim berdiri di depan pintu.
“Kalau nggak salah denger ada yang habis dimarahin mama nih.”
Auryn mendengus, abangnya itu selalu kepo. Jika Auryn dimarahi lelaki itu selalu senang. Bak menang lotre.
“Siapa juga yang dimarahin mama,” jawab Auryn lalu kembali membuka laptopnya. Dia kembali mengedit video yang sempat tertunda itu.
Bau maskulin menusuk indera penciuman Auryn, tanda jika abangnya mendekatinya. Auryn lalu melirik, benar lelaki itu berdiri bersandar di dekat meja belajar.
“Lo sih kebanyakan pacaran. Pacar aja ada dua,” kata Andreas ke adiknya itu.
“Diem deh.”
Andreas tersenyum miring. Dia mengedarkan pandangan ke kamar bercat pink dengan segala furnitur berwarna putih itu. Arah pandangnya lalu tertuju ke Auryn.
“Gue pengen tahu dong Redo itu yang mana.”
Auryn menoleh dengan pandangan menyelidik. Tahu sedang dicurigai Auryn, Andreas langsung mengangkat kedua tangannya.
“Gue cuma pengen tahu doang.”
“Awas ya lo ngadu! Gue aduin balik lo!”
Setelah mengacam seperti itu Auryn membuka galeri. Dia mencari foto Redo lalu memperlihatkan ke Abangnya.
“Oh ini yang namanya Redo,” gumam Andreas sambil memperhatikan cowok berpipi tirus dengan senyum segaris itu.
“Redo tipe-tipe badboy. Gue yakin delapan tahun kemudian Redo bakal mirip kayak gue,” tebak Andreas.
“Sok tahu lo.”
Auryn lalu menekan tombol next hingga muncul wajah Yohan.
“Kalau ini tipe goodboy.”
Andreas kembali memperhatikan foto itu. Di mana ada cowok berseragam bakset tengah tersenyum lebar ke kamera. Terlihat senyum Yohan begitu lepas.
“Gue tebak, Yohan yang lebih asyik.”
“Ya emang,” jawab Auryn apa adanya.
“Tapi Redo lebih bisa ngelindungin lo.”
Sontak Auryn mendongak. “Kenapa lo bisa ngomong gitu?”
Senyum Andreas terbit. “Karena gue lihat, Redo tipe cowok yang nggak gampang nyerah dan selalu jaga orang yang dia sayang.”
Auryn tertegun. Benarkan seperti itu? Dia sendiri belum tahu pasti.
***
Senin pagi cuaca terlihat mendung. Membuat beberapa siswa ada yang senang dan ada juga yang tak semangat. Senang karena saat upacara berlangsung mereka tak kepanasan. Tak semangat karena mereka belum bisa beranjak dari hari libur, ditambah Senin pagi suasana mendukung untuk tidur lagi.
Pukul tujuh, siswa SMA Graha Buana berkumpul di lapangan. Prosesi upacara akan berlangsung sebentar lagi. Para siswa sudah berbaris di tempatnya. Bagi yang memiliki tinggi badan tak seberapa berdiri di deretan depan sedangkan yang tinggi dideretan belakang. Dengan formasi seperti itu membuat semuanya bisa melihat ke arah depan tanpa terhalangi yang lebih tinggi.
Di antara kerumunan itu, gadis berkucir kuda berdiri sambil melongok ke arah pintu masuk. Auryn sedang mencari Yohan. Pacarnya yang sampai detik ini belum mengabarinya. Auryn penasaran bagaimana kabar cowok itu. Apa sudah membaik atau justru semakin parah?
Namun sejauh mata memandang, Auryn tak menemukan Yohan. Tak biasanya cowok itu datang telat di hari Senin. Auryn berdecak, lalu mengecek ponselnya yang tak ada pesan masuk dari Yohan.
“Duh apes gue!”
Gerutuan itu membuat arah pandang Auryn teralih. Dia memperhatikan rambut Wiska yang tampak aneh. Biasanya cowok itu selalu mengenakan poni samping, tapi poni itu terlihat tak rata.
“Lo habis kena razia?” tebak Auryn.
Wiska mengangguk sambil kedua tangannya mengusap poninya yang memendek. “Lupa gue kalau Senin. Ya udah gue berangkat agak siang.”
“Salah lo sendiri.”
Auryn terkekeh geli. Bisa dibilang Wiska itu langganan kena razia. Kalau tidak karena rambut panjang pasti ya karena warna sepatu yang tak sesuai. Berkali-kali kena razia, nyatanya Wiska tak kapok.
“Eh lo tadi ngelihat Yohan nggak?” tanya Auryn.
Gerakan tangan Wiska terhenti. Dia menatap Auryn yang terlihat bingung itu.
“Dia kan pacar lo. Ngapain tanya gue?”
“Ya kali lo ketemu dia!”
Setelah menjawab seperti itu Auryn kembali melongok ke arah pintu masuk yang mulai sepi. Hanya segelintir siswa berpakaian abu-abu yang terlihat memasuki. Auryn lalu memperhatikan barisan di sampingnya, barisan kelas Yohan. Biasanya cowok itu berdiri di belakang, tapi Auryn tak melihat kehadiran cowok itu.
“Apa dia nggak masuk ya?” gumamnya.
“Mungkin.”
Wiska yang mendengar gumaman itu langsung menjawab. “Udah deh nanti aja nyari Yohan. Upacara dulu, jangan pacaran mulu.”
“Perhatian-perhatian, upacara hari Senin segera dimulai.”
Pemberitahuan itu membuat Auryn memutar tubuhnya. Semoga lo nggak kenapa-napa, Han. Dalam hati Auryn berdoa untuk pacar pertamanya itu.
Bel istirahat berbunyi. Auryn segera keluar kelas lalu berlari ke kelas di sampingnya. Dia berdiri di depan pintu dan menatap ke tempat duduk barisan belakang. Bangku Yohan terlihat kosong.
“Beneran dia nggak masuk,” gumamnya.
“Hai, Ryn. Masuk ini.”
“Masuk, Ryn!”
“Nyari Yohan ya? dia nggak masuk.”
Rentetan kalimat itu membuat Auryn buru-buru menjauh. Dia kembali ke kelasnya lalu duduk di tempat duduknya—bangku belakang. Auryn bertopang dagu lalu memperhatikan Wiska yang sejak tadi memperhatikan poni.
“Yohan nggak masuk?” tanya Wiska tanpa menatap lawan bicaranya.
“Enggak. Apa dia masih sakit ya?”
“Mungkin.”
Auryn menyandarkan tubuhnya, lalu melipat kedua tangan di depan d**a. Setelah itu dia melirik Wiska.
“Ngaca mulu. Heran deh gue.”
Perkataan Auryn membuat Wiska menoleh. Cowok itu mengembalikan kaca ke Auryn.
“Habisnya gue jadi jelek, Ryn. Ah sial kenapa poni gue jadi aneh.”
“Bukannya jadi. Tapi lo emang jelek,” balas Auryn.
Dua orang itu lalu terbahak. Tak peduli kalau tawa mereka terdengar kencang, bahkan sampai terdengar di luar kelas.
“Permisi, Kak.”
Auryn menoleh. Dia belakangnya, tepat di depan pintu seorang gadis berdiri. Gadis berambut panjang dengan poni yang pernah menemui Virgo.