13-Butuh Perhatian

1252 Kata
“Beneran lo nggak bareng gue aja?” Gadis yang berdiri di samping mobil itu menggeleng tegas. Dia melirik ke dalam mobil di mana ada kakak sepupu Yohan. Auryn tak enak kalau ikut bersama dua cowok itu. “Enggak. Gue naik taksi aja,” tolak Auryn. Yohan membuang napas pelan. Dia mana tega membiarkan Auryn sendirian sedangkan sekolah telah sepi. “Bareng gue aja ya,” ajak Yohan lagi. Kepala Auryn bergerak ke kiri dan ke kanan. “Gue bisa naik taksi. Jangan khawatirin gue. Harusnya lo khawatirin diri lo sendiri,” ucapnya sambil memperhatikan wajah Yohan yang mulai bengap. “Sampai rumah langsung lo kompres ya muka lo,” lanjut Auryn sambil menyentuh pipi Yohan dengan punggung tangannya. Sudut bibir Yohan tertarik ke atas, senang diberi perhatian seperti itu oleh Auryn. Cowok itu lalu mengacak rambut Auryn gemas. “Ya udah gue balik ya,” pamit cowok itu lalu masuk mobil. Auryn memundurkan tubuhnya. Dia melihat mobil itu bergerak, tak lama disusul oleh pria bertubuh kurus yang mengendarai motor Yohan—supir cowok itu. Auryn melongok hingga melihat mobil Yohan sampai di pintu gerbang utama. Setelah merasa Yohan benar-benar pergi, Auryn segera balik badan. Dia masih ada satu tanggungan, tentu saja dengan pacar satunya itu. Auryn lalu berlari, ingat waktu telah beranjak semakin sore. Dap! Dap! Derap kaki terdengar kencang di koridor belakang sekolah. Seorang siswa mendengar derap langkah itu. Dia sama sekali tak bergerak hanya berdiri dengan satu kaki yang sedikit pincang. Dia lalu menyandarkan punggungnya di tembok sambil mendengar derap langkah itu yang mendekat. “Huh!” Embusan napas yang terdengar kencang membuat Redo mengangkat wajah. Tatapan bertemu pandang dengan mata bundar Auryn. Redo menatap Auryn intens. Tanpa diminta ingatan cowok itu berputar saat Auryn bermesraan dengan Yohan. “Gue kira lo lupa sama pacar kedua lo,” kata Redo sebagai kalimat pembuka. Auryn memilih tak langsung menjawab. Dia masih berusaha menormalkan napasnya yang memburu itu. “Gue bela-belain lo ke sini malah lo ngomong gitu!!” balasnya setelah napasnya kembali normal. Redo berjalan menjauh sambil menyeret kakinya. Tendangan Yohan cukup membuat pergerakan lutut Redo terganggu. Cowok itu lalu memilih duduk di lantai, sambil menyelonjorkan kaki. Dia menarik rumput liar di depannya lalu melemparnya ke depan. “Selalu Yohan jadi prioritas!!” kata Redo mengungkapkan kekecewaannya. Mendengar perkataan itu Auryn tak habis pikir. Dia buru-buru mendekat dan duduk di samping Redo. “Lo yang nawarin jadi yang kedua,” ingat Auryn. “Tentu lo udah tahu kan konsekuensi jadi yang nomor dua. Gue juga sering ngomong gitu.” Redo mengangguk samar. Dia memang tahu risiko menjadi nomor dua. Namun, dia merasa jika Auryn terlalu memprioritaskan Yohan. Redo bisa menghitung dengan jari kapan Auryn memperhatikannya. “Ya gue tahu. Tapi gue ngerasa lo jarang perhatian banget ke gue.” Satu alis Auryn terangkat. Dia menyentuh pundak Redo hingga cowok itu menoleh ke arahnya. “Jarang? Bahkan gue selalu balas chat lo. Bahkan gue bela-belain lo ke sini. Menurut lo itu masih kurang?” tanya Auryn kesal. Auryn lalu menjauhkan tangannya dari pundak Redo. Auryn mendongak menatap tembok tinggi yang mulai ditumbuhi lumut. Dia lalu kembali menjelaskan. “Lo mau minta kita ngumbar hubungan di depan orang?” tanya Auryn sambil menoleh cowok yang masih duduk di lantai itu. “Ya nggak bisa!!!” teriaknya kemudian. Auryn kembali duduk dengan napas kembali naik turun karena emosinya. Perkataan Auryn membuat Redo tersadar. Akhir-akhir ini dia terlalu cemburu karena Auryn lebih dekat dengan Yohan. Redo memang seharusnya bersikap menjadi cowok nomor dua. Cowok yang hanya untuk urusan pribadi dan bukan dikenalkan di depan umum. “Oke sorry. Gue salah,” kata Redo sambil mengusap puncak kepala Auryn. Sebenarnya Auryn masih kesal dengan Redo. Tapi Auryn terlalu lelah memperpanjang masalah. Auryn lalu menoleh memperhatikan mata Redo yang bengkak. Tadi, gadis itu melihat lebam di wajah Yohan. Sekarang dia melihat lebam di wajah Redo. Auryn tak bisa berkata-kata atas sikap atas kedua pacarnya itu. “Sebenarnya kalian itu kenapa sih?” tanya Auryn mencari tahu. Dia merasa cerita Yohan tadi masih sepotong. Redo menyentuh pelipisnya yang terasa kaku. Setelah itu dia menjawab. “Yohan yang terlalu ngatur!” “Maksud lo?” Auryn mengangkat alis rapinya. “Ya ngatur. Gue harus ginilah, gitu lah. Sedangkan dia pilih apa yang dia mau.” “Soal basket?” “Ya!” Auryn terdiam. Dia tak banyak tahu bagaimana sikap Yohan jika bersama tim basket. Namun, Auryn cukup tahu jika Yohan termasuk ke deretan cowok keras kepala. “Lo keras kepala, Yohan keras kepala. Harusnya lo ngalah” “Tuh kan.” “Emang bener kan? lo harusnya ngalah!” Mendengar nada perintah Auryn, Redo menegakkan tubuhnya. Dia menatap Auryn tajam. Dia penasaran sebesar apa perasaan Auryn terhadap Yohan. “Emang harus selalu gue? Sayangnya gue bukan orang seperti itu, Ryn.” Tangan kanan Auryn mengacak rambutnya pelan. Entah dia dosa apa sampai punya dua pacar yang sama-sama keras kepala. “Inget perkataan gue, coba selesaiin masalah pake kepala dingin. Gue nggak mau kalian berantem.” “Lo nggak mau Yohan babak belur lebih tepatnya,” kata Redo dengan senyum miring. Di ingatannya masih tergambar jelas ucapan godaan Auryn ke Yohan di UKS. Hal yang tak pernah Auryn lakukan ke Redo. “Udahlah gue nggak mau kita berantem,” Auryn memilih mengakhiri ucapannya. Dia lalu memutar tubuh, memperhatikan Redo yang fokus menatap depan. “Ini udah diobati?” tanya Auryn sambil menyentuh kepala Redo. Redo seketika menoleh, sentuhan itu membuat luka di kepalanya kembali terasa. “Belum lah. Gue nungguin lo yang nyembuhin.” Auryn membuang napas pelan dan memilih tak menjawab kalimat Redo. Gadis itu lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Beruntung dia tadi sempat mengambil plester dari UKS. “Sini gue pakaiin plester,” ucapnya. Senyum Redo mengembang. Memang beginilah seharusnya Auryn bersikap. Bukan terlalu cuek dan selalu memperhatikan Yohan. Redo lalu memajukan tubuhnya, mendekatkan wajahnya ke arah Auryn. “Lain kali jangan berantem lagi,” kata Auryn sambil memasang plester. Redo diam, tapi tak mendengarkan perkataan gadis itu. Dia hanya menatap wajah Auryn yang cukup dekat dengannya. Redo mampu melihat kulit putih bersih Auryn dan mencium aroma buah-buahan menguar dari tubuh gadis itu. “Gue sayang lo, Ryn,” aku Redo. Auryn memundurkan tubuhnya setelah memasang plester itu. Dia tersenyum lebar merespons perkataan Redo barusan. “Lo harus pulang dan istirahat. Lo di jemput?” tanya Auryn mengalihkan pembicaraan. “Gue balik sendiri, Ryn. Emang Yohan yang manja minta dijemput.” Bola mata Auryn berputar. Cowok itu selalu membanding-bandingkan. “Gue balik dulu,” Auryn berdiri hendak meninggalkan Redo. Namun, cekalan cowok itu membuat Auryn kembali duduk. “Gue tanya sama lo. Lo sayang nggak sama gue?” tanya Redo sambil menatap bola mata Auryn. Mencari rasa kasih sayang dari gadis itu. Auryn mengigit ujung bibir. Dia bingung harus menjawab apa. “Atau lo cuma sayang Yohan? Kapan lo mau belajar sayang ke gue?” lanjut Redo membuat Auryn semakin kebingungan. Perlahan Auryn melepas cekalan Redo. Dia mengulurkan tangannya ke pipi Redo. “Gue nggak bisa jawab sekarang.” Setelah mengucapkan itu Auryn segera pergi. Dia berlari menjauh dari belakang sekolah sambil berkali-kali menggeleng. Dia tak tahu dengan perasaannya. Di satu sisi dia menyayangi Yohan. Tapi saat melihat Redo menatapnya dengan sendu, Auryn merasa hatinya tersentil. Sedangkan di halaman, Redo masih duduk di lantai. Dia tersenyum kecut menyadari dia belum bisa merebut hati Auryn. Namun setidaknya cowok itu cukup lega karena Auryn memperhatikannya. Refleks tangan Redo menyentuh plester yang di pasang Auryn. “Gue yakin bisa dapetin hati lo, Ryn. Bahkan utuh cuma buat gue.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN