Ruang lima kali lima meter tampak sempit ketika dihuni dua belas siswa. Mereka sedang rapat untuk merencanakan takik baru. Bulan depan setelah UAS semester ganjil, di sekolah mereka sering mengadakan perlombaan antar sekolah. Sekolah Graha Buana sebagai tuan rumah selalu memboyong piala berturut-turut.
“Jadi kita pakai man to man defense. Redo, lo bayangi Eka. Meski dia kecil, shooting-nya nggak bisa dianggap remeh,” kata Yohan mengkomando.
Redo mengusap dagunya lalu menggeleng tegas. “Kenapa harus gue? Dia bukan lawan yang sebanding. Gue bayangin kaptennya aja!”
Seketika Yohan menoleh. Dia menatap wakilnya yang tak setuju dengan takik yang dia gunakan itu. “Apa maksud lo? bahkan pak Indra udah setuju sama taktik gue,” jawab Yohan membeberkan alasan.
“Yang lain aja. Jangan gue.”
Sepuluh anggota lain menatap Yohan dan Redo bergantian. Mereka merasa baru kali ini wakil tim basket tak sejalan dengan si ketua. Tapi mereka hanya bisa diam daripada memperkeruh suasana.
“Apa sih mau lo? lo mau nyerang terus? Otak lo dong dipake!” balas Yohan sambil menunjuk pelipis dengan jari telunjuk. Dia mulai kesal dengan Redo. Tak biasanya wakilnya itu begitu menyebalkan. Kalau mau menang sendiri memang itu ciri khas Redo, tapi Yohan masih bisa mengatasi itu.
Perkataan Yohan membuat emosi Redo memuncak. Cowok berpipi tirus itu mendekat dan menarik bagian depan seragam Yohan. “Lo bisa nggak biasa aja?” kata Redo dengan wajah memerah.
Yohan menarik tangan Redo yang memegang seragamnya. Yohan berdiri, pun Redo. Kapten tim basket itu lalu mendorong pundak Redo agar menjauh.
“Biasa aja dong lo! gue nggak bakal ngomong kayak gitu kalau lo nggak mulai!”
“Lo dulu yang mulai, Han!!” Redo balas mendorong Yohan, bahkan lebih kencang.
Dorongan Redo membuat Yohan terdorong ke belakang. Hal itu membuat emosi mulai menguasai Yohan.
“Jangan ngajak ribut lo!!” tantang Yohan.
Sepuluh anggota lainnya bergerak cepat menahan Yohan dan Redo. Mereka tak ingin agenda rapat menjadi kacau karena emosi dua orang itu
“Udah, deh. Ngapain sih dibikin ribut!” kata Uca—pemain dengan badan besar.
“Apa lo!!” maki Redo saat Yohan menatapnya sinis. Redo bergerak maju, tapi tubuhnya ditarik lima orang ke belakang.
“Nggak punya aturan!” balas Yohan sambil menyentak kedua tangannya. Dia menoleh ke kanan dan kiri menatap lima orang yang berdiri di sampingnya itu.
“Rapat dilanjutin setelah pulang sekolah!” setelah mengucapkan itu Yohan berjalan keluar.
Melihat sang ketua keluar, lima cowok yang membentengi Redo perlahan menjauh. Redo membenarkan letak seragamnya yang sedikit miring. Dia lalu berjalan keluar dan mengejar langkah Yohan yang menuju arah kamar mandi.
“Lo kira masalah bakal selesai gitu aja?”
Perkataan itu membuat langkah Yohan terhenti. Dia menoleh dan mendapati Redo yang menatapnya tajam. Yohan lalu mendekat hingga berdiri lima langkah dari Redo.
“Lo kenapa sih? hari ini lo nantang banget,” tanya Yohan.
Redo mengulas senyum. Dia sangat kesal dengan Yohan yang sok penguasa titu. Bukan menguasai ekskul basket, bahkan menguasai tingkah Auryn. Ditambah sesuatu yang tadi pagi membuat mood Redo berantakan. Kini cowok itu punya pelampiasan seluruh amarahnya.
Akhirnya Redo mendekat. Dengan gerakan cepat dia menonjok Yohan, tapi segera ditepis oleh lawannya. Tak ingin kalah, Redo langsung menendang kaki Yohan. Tapi tendangan itu tak banyak memberikan efek.
Yohan meringis merasakan kakinya yang mulai terasa sakit, tapi dia tak ingin menunjukkan. Satu tangan Yohan masih mencekal tangan Redo. Lalu dengan gerakan cepat, tangan Yohan yang bebas memukul perut Redo kencang.
Pukulan itu Redo mundur beberapa langkah sambil mengusap perutnya. Tak terima dipukul oleh Yohan, Redo mendekat. Dia mengangkat kakinya dan menendang lengan Yohan. Membuat ketua tim basket itu mundur dan kehilangan keseimbangan.
Redo memanfaatkan Yohan yang limbung. Dia mendekat dan memukul kepala Yohan bolak balik. Yohan hendak berdiri, tapi kepalanya terasa berat. Dia mengangkat kaki, dan menendang lutut Redo.
“Sialan!!” maki Redo setelah kaki Yohan mengenai lututnya.
Yohan memaksakan diri berdiri lalu berlari ke Redo. Dia memukul kepala Redo membabi buta. Emosi Yohan telah membuat energinya bertambah.
“Jangan berantem woy!!” kata seorang siswa yang hendak ke kamar mandi belakang sekolah.
Teriakan itu tak diindahkan Yohan dan Redo. Mereka belum puas menghabisi lawannya. Pukulan dan tendangan mereka dapatkan bergantian. Wajah lebam seolah tak berarti pertarungan berakhir sebelum lawan mereka menyerah kalah.
“YOHAN!! REDO!!!”
Suara Pak Sadiman membuat Yohan dan Redo serempak menghentikan kegiatannya. Mereka mengangkat wajah, menatap guru BP bertubuh kekar dengan wajah gahar itu.
“Kenapa berhenti? Pukul saja sampai kalaian sama-sama mati!!” kata Pak Sadiman.
Yohan melirik lawannya. Dia lalu berdiri, mengusap sudut bibirnya yang terasa perih.
Perlahan Redo juga berdiri sambil mengusap pelipisnya yang terasa robek.
“Sekarang ikut saya ke kantor!!” kata Pak Sadiman tegas tak terbantahkan.
Dua siswa itu saling beradu pandang. Merasa jika pertengkaran ini belum sepenuhnya berakhir. Yohan dan Redo lalu berjalan mengikuti langkah Pak Sadiman.
Saat mereka melewati tikungan, mereka melihat Auryn berdiri menatap keduanya bingung. Redo dan Yohan hanya mengulas senyum. Hasil dari tindakan mereka sekarang dilihat oleh para siswa yang kebetulan masih istirahat itu.
Tunggu aja, Han. Lo bakal kalah! batin Redo tak terima.
***
Auryn menerobos para siswa yang berjalan berlawanan arah darinya. Gadis itu sesekali melongok mencari cowok yang tadi babak belur itu. Setelah jam istirahat pertama hingga jam pelajaran terakhir, Auryn tak bisa berkonsentrasi. Dia sangat penasaran dengan Yohan dan Redo yang tampak kacau. Auryn sudah mengirim pesan ke dua cowok itu, tapi tak ada balasan sama sekali.
“Yohan mana?” tanya Auryn ke anggota tim basket yang bertubuh besar itu.
Uca menatap pacar Yohan itu saksama. “Dia di UKS,” jawabnya.
Tanpa mengucapkan terima kasih, Auryn balik badan. Gadis itu berlari menuju UKS. Tak berapa lama, dia sampai depan ruang tujuan. Samar-samar Auryn mendengar rintihan kecil lalu dia memutuskan masuk.
Hal yang pertama Auryn lihat adalah Yohan yang sedang menyentuh ujung bibir sambil meringis. Auryn buru-buru mendekat dan berdiri di samping cowok itu.
“Jangan lo sentuh terus,” pinta Auryn sambil menarik tangan Yohan.
Yohan menoleh, dia ingin mengulas senyum tapi bibirnya terasa perih. Dia lalu naik ke brankar dan kembali mengistirahatkan tubuhnya.
Mata bundar Auryn mengamati wajah Yohan. Bibir atas Yohan yang memiliki philtrum tajam terlihat sedikit tebal dengan warna biru dan merah. Pelipis Yohan tampak berisi, dengan warna kebiruan bahkan terlihat otot yang terlihat. Lalu rahang cowok itu terlihat berat sebelah. Di bagian kiri terlihat semakin besar daripada sebelah kanan.
Melihat kondisi Yohan, Auryn bergidik. Gadis itu membayangkan jika pukulan itu sangatlah keras.
“Kenapa sih? Kok lo jadi kayak gini? Nggak biasanya lo barantem.”
Yohan menarik napas panjang, tak langsung menjawab. Setelah dipanggil guru BP, dia memutuskan untuk istirahat di UKS. Selama di ruangan dengan bau-bau khas obat-obatan itu, Yohan merenung. Dia merasa permasalahannya dengan Redo sangat sepele. Namun, karena keduanya diliputi emosi membuat masalah terlihat begitu besar.
“Biasalah, beda pendapat,” jawabnya sambil menatap pacarnya.
Auryn memutar bola matanya. Menurutnya cowok sama saja. Dia sering mendapati abangnya babak belur karena bertengkar. “Emang semua cowok gitu ya? Menyelesaikan masalah dengan bertengkar. Kayak otak mereka ada di otot.”
Seketika Yohan terkekeh lalu dia mengernyit merasakan bibirnya yang perih. “Ya gitu,” jawabnya lebih seperti gumaman.
“Pasti perih banget ya?” tanya Auryn retoris.
Yohan mengangguk. Bukan hanya perih, tapi seluruh wajahnya sekarang terasa ngilu.
“Makanya jangan berantem. Kalau ginikan jadi rugi.”
“Gue nggak akan berantem kalau nggak ada yang cari masalah.”
“Maksud lo?” tanya Auryn bingung. Dia lupa jika tadi melihat Redo yang juga babak belur.
Tangan Yohan terangkat, merapikan rambut Auryn ke belakang telinga. Yohan lalu memiringkan tubuhnya agar leluasa menatap wajah cantik Auryn. “Redo yang cari gara-gara.”
“Gara-gara?” tanya Auryn sedikit gugup. Dia berharap bukan masalah dirinya mereka bertengkar. Auryn menunduk lalu tersenyum tipis ke Yohan.
“Emm. Gara-gara apa ya?” tanya Auryn ingin tahu.
Yohan menarik napas panjang. Dia lalu mendongak menatap langit-langit kamar.
“Beda pendapat. Masalah basket.”
Jawaban itu membuat Auryn membuang napas lega. Huh, rahasia terbesarnya aman. Tangan Auryn terangkat dan mengusap pipi Yohan. “Cepet sembuh ya. Biar wajah gantengnya keliat lagi.”
“Cium dong bibirnya. Biar cepet sembuh,” kata Yohan menggoda.
“Apaan sih.”
Pipi Auryn seketika bersemu lalu dia tertawa pelan. Di saat kondisi cowok itu babak belur, dia tetap saja bisa membuar Auryn tertawa.
Keakraban Yohan dan Auryn diperhatikan oleh lelaki yang mengintip dari jendela. Cowok itu tak terima melihat Auryn yang selalu memprioritaskan Yohan. Redo mengeluarkan ponsel lalu mengirimkan pesan ke Auryn.
Redo: kalau lo nggak lupa, pacar lo yang satunya juga babak belur.
Redo: jangan cuma Yohan aja yang lo perhatiin.