8. Tingkah Absurd Firza

1374 Kata
"Abang kenapa?" tanya Syalwa sembari menatap bingung pada sang suami yang sedang tertegun. Pria itu baru menyadari bahwa dia baru saja mempermalukan diri sendiri, sehingga menjadi gugup karena semua mata tertuju padanya saat ini. Ah, seperti selogan sebuah iklan saja. "Aw ... perut sakit lagi. Maaf saya permisi ke kamar mandi sebentar," pamit Firza. Pria itu berpura-pura memegang perut yang sebenarnya sama sekali tidak sakit. Dengan langkah cepat, dia keluar dari ruangan tersebut dan melangkah menuju ke ruang kerjanya. "Yang sakit bukan perut aku, tapi mata aku yang lebih sakit melihat laki-laki itu memberikan perhatian berlebih pada istriku," gerutu Firza saat ia sampai di ruangan. "Dasar laki-laki gak tau diri. Bisa-bisanya dia bersikap manis pada istri orang di depan suaminya," makinya lagi. Pria berusia dua puluh sembilan tahun itu, terus saja mengoceh, meluapkan segala kekesalan. Tanpa dia pikir lagi semua adalah salahnya. Jika saja dia mengakui Syalwa adalah istrinya, tidak mungkin ada pria lain bersikap seperti itu pada sang gadis. Firza merasa belum siap saja, jika semua orang tahu bahwa dia sudah menikah. Pernikahan dadakan karena ulah kedua kakaknya. Entah kapan dia akan siap. "Sudah gak apa-apa, Bang?" tanya Syalwa dengan khawatir, saat Firza kembali ke ruangan itu. "Gak apa-apa," jawab Firza singkat. "Ya udah, Abang makan deh, kalau gitu, keburu dingin nanti." Syalwa menyodorkan piring yang sudah berisi nasi dan lauk. Firza makan tanpa berkata apa pun lagi. Ia hanya memperhatikan interaksi Syalwa dan Malvin saja, yang menurutnya berlebihan. Keempat orang itu pun makan dalam diam. "Abang kenapa masih di sini?" tanya Syalwa, dengan berbisik setelah mereka selesai makan. Dua orang karyawan kini sedang membereskan semua barang yang ada atas di meja, agar mereka bisa dengan santai membahas pekerjaan. "Memangnya kenapa?" Firza malah bertanya balik dengan santai. "Kok kenapa sih, Bang? Aku 'kan mau meeting di sini," protes Syalwa. "Ya udah, tinggal meeting aja, susahnya apa?" "Ya terus, Abang mau ngapain di sini selama kami bicara soal pekerjaan?" "Dengerin aja." "Ya Allah, Abang. Emangnya Abang gak ada kerjaan yang lain, apa?" "Gak ada," jawab Firza tanpa beban sambil menggelengkan kepala. Syalwa mengepalkan Kedua tangan dengan kesal. Sampai kapan sang pria berlaku seperti itu padanya? Dia bukan lagi anak kecil yang mesti dijaga siang malam. Dalam pikiran Syalwa, Firza sengaja melakukan itu dengan dalih menjaganya. Padahal ... sepertinya bukan karena itu?! "Syalwa, kita mulai saja, yuk. Setelah ini saya masih ada keperluan," ajak Malvin pada Syalwa yang terlihat sedang berbincang dengan Firza. "Baik, Pak," angguk Syalwa. "Tidak masalah 'kan, Pak, kalau saya duduk di sini?" tanya Firza saat menyadari tatapan istrinya. "Saya pun terlibat dalam acara yang Anda selenggarakan nanti, saya rasa bukan ide buruk jika menyimak seperti apa konsep acara nanti." Sesaat Malvin diam, tapi akhirnya pria itu mengangguk mengingat ia memang memesan makanan dari tempat Firza untuk acara nanti . "Tidak masalah kok, Pak Firza, silakan," ujar Malvin. Firza menoleh dan tersenyum mengejek pada istrinya. Merasa bisa mengalahkan gadis itu. Meeting pun berjalan dengan lancar, walau selama itu, Firza beberapa kali berulah, saat melihat Malvin dan Syalwa di posisi yang menurutnya terlalu dekat. Firza tidak bosan melakukan hal-hal konyol, entah itu terbatuk-batuk, berdehem, atau pura-pura tersedak. Padahal sebetulnya, Syalwa dan Malvin pun menjaga jarak di antara mereka. Hanya Firza saja yang menganggapnya berlebihan. Yang pasti, Firza sukses membuat Syalwa malu dengan tingkah konyolnya. Pria tampan yang merupakan seorang CEO dari sebuah perusahaan ternama itu hanya tersenyum dengan sikap kekanakan Firza. Meski dalam hati, ia pun menyadari ada yang tidak beres dengan sikap Firza yang menurutnya ... aneh? Sore hari meeting pun selesai, lalu mereka keluar dari ruangan VIP restoran tersebut sambil berbincang ringan. Firza pun mengikuti mereka dari belakang, dia berhenti di pintu keluar saat ada karyawan yang memanggilnya. "Syalwa tadi datang ke sini naik apa?" tanya Malvin saat mereka sampai di tempat parkir restoran tersebut. "Saya tadi pakai ojek online, Pak," jawab Syalwa seadanya. "Kalau kamu tidak keberatan, saya bisa antar kamu pulang," tawar Malvin dengan sungguh-sungguh. "Tidak usah, Pak. Tidak apa-apa nanti saya bisa pakai ojek online. Terima kasih stas tawaran Bapak. Tapi maaf, saya tidak mau merepotkan Pak Malvin dan Bu Ambar." Syalwa menolak dengan sopan tawaran dari pria rupawan itu. "Kami tidak merasa direpotkan," kilah Malvin. "Saya pakai ojek online saja, Pak." Syalwa tetap pada pendiriannya. "Yakin, kamu mau naik ojek online?" Malvin kembali bertanya untuk memastikan. "Iya, Pak. Saya yakin," jawab Syalwa tanpa ragu. "Terima kasih atas niat baiknya, Pak Malvin. Biar Syalwa saya yang akan antar pulang," sambar Firza yang tiba-tiba datang menghampiri mereka. Syalwa hanya mendelik sebal pada sang suami yang bersikap seolah dia adalah milik pria itu. Iya, memang Syalwa adalah istrinya. Lebih tepatnya istri yang tidak dianggap. Firza bahkan tak mau mengakui hal itu di depan Malvin tadi. "Ya sudah kalau begitu. Kami permisi. Mari Syalwa, Pak Firza." Malvin pun akhirnya pamit seraya mengangguk sopan pada keduanya, begitu pun dengan Ambar. "Silakan, Pak," jawab Syalwa. Sementara Firza hanya balas mengangguk. CEO dan sang asisten pun masuk ke dalam mobil mewah milik Malvin. Pria dua puluh lima tahun itu duduk di balik kemudi. Sementara Ambar, duduk di kursi samping kemudi. "Ambar, cari tau semua tentang Syalwa. Juga hubungannya dengan Pak Firza. Saya mau kamu melaporkan kepada saya secepatnya!" perintah Malvin sebelum mengemudikan mobil di jalanan yang cukup ramai di sore itu. "Baik, Pak. Akan saya laporkan secepatnya kepada Bapak." Ambar pun menyanggupi perintah sang atasan dengan pasti. *** "Ca, kamu marah? Dari tadi di mobil diam aja," tanya Firza setibanya mereka di rumah. Pria itu terus mengekor ke mana pun sang istri melangkah. "Ca, jawab dong. Aku bicara sama kamu, lho," bujuk Firza. Tapi sepertinya Syalwa masih kesal pada suaminya. Dia tidak mengucap satu patah kata pun. "Caca." Firza menghadang langkah Syalwa yang hendak masuk ke kamar tamu. "Minggir. Aku mau masuk!" perintah Syalwa yang tentu saja tidak didengar oleh suaminya. Pria menyebalkan menurut Syalwa itu terus saja menghadang langkah sang istri ke mana pun sang gadis menuju. "Abang, awas, ah. Aku mau istirahat." Syalwa akhirnya mendorong tubuh Firza. Tapi, sayang tenaganya tidak cukup kuat. "Abang, minggir, gak?" teriak Syalwa dengan kesal. Napasnya memburu. Dadanya sudah begitu sesak dengan emosi. "Enggak. Aku gak akan minggir sampai kamu mau bicara sama aku," ujar Firza tanpa rasa bersalah. "Aku gak mau bicara sama Abang. Minggir!" Sekali lagi Syalwa mendorong tubuh tinggi kekar sang suami. Tapi tenaganya tetap tidak cukup kuat untuk merubuhkan pria dewasa yang merupakan suaminya itu. Firza menangkap tangan Syalwa yang masih berada di depan dadanya. Syalwa pun mendongak, menatap Firza yang sedang menunduk menatapnya. Kedua netra mereka bertemu pandang. Sesaat mereka pun saling diam. Syalwa segera melepaskan pandangan. Dia menepis tangan Firza yang memegang dengan kuat tangannya dan berhasil. Gadis itu segera masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu dari dalam. Dia menyandarkan tubuh pada pintu dan merosot ke lantai seraya meraba dadanya yang berdebar hebat. Bahkan lutut pun tak mampu menopang tubuhnya. "Ya Allah perasaan apa ini?" gumam sang gadis. Sementara Firza, mematung di depan pintu kamar tamu yang kini sudah menjadi kamar tidur istrinya. "Ya Tuhan, sepertinya aku sudah tidak waras," gumam pria itu sambil meraba dadanya sendiri yang berdegup kencang. Firza kemudian mengerutkan dahi, saat menyadari sang istri tidak lagi bersamanya. Dia kemudian menoleh ke arah pintu kamar tamu yang sudah tertutup rapat. "Kapan dia masuk kamar? Apa anak itu sudah pandai menghilang?" tanyanya dengan wajah polos. "Atau ... aku yang benar-benar sudah tidak waras? Argh ...!" Firza menggaruk kepala dengan gerakan cepat. Dia berjalan mendekati pintu kamar sang istri dan mengetuknya berkali-kali. "Ca, buka pintunya, bilang dulu sama aku, kenapa kamu marah?" ujarnya Sedangkan di balik pintu itu, Syalwa berdecak kesal. "Dia itu polos atau berlagak polos, sih? Sudah bikin aku malu masih saja nanya, heran," rutuknya dengan rasa kesal sudah mencapai ubun-ubun. Gadis itu lalu berjalan ke arah tempat tidur, kemudian berbaring seraya membenamkan kepala di bawah bantal tanpa peduli pada suaminya yang belum juga menyerah mengetuk pintu. "Ca, ayo dong, buka pintunya, Sayang," bujuk pria itu lagi. "Caca, mau buku sendiri atau aku dobrak pintunya?" Lagi-lagi suara sang pria terdengar, mengganggu telinga gadis itu. "Argh ...!" Syalwa mengerang kesal. Dia mengacak-acak rambutnya sendiri. Karena merasa terganggu, gadis itu beranjak dari tempat tidur. Dengan malas ia bejalan menuju pintu lalu membukanya secara tiba-tiba. Bersamaan dengan Firza yang hendak mendobrak pintu. Alhasil, sang pria terjerembab di lantai kamar tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN