7. Firza Berulah

1306 Kata
Seorang pria berpakaian rapi sedang berdiri di depan pintu ruangan di mana Syalwa dan Malvin berada. Ia menatap tajam ke arah dua orang itu, bergantian. "Bang Firza?" "Pak Firza?" Malvin dan Syalwa bersamaan menyebut nama orang yang sedang berdiri dengan wajah datarnya itu. "Ngapain kamu di sini, Ca?" tanya Firza pada istrinya, sambil masuk ke ruangan yang sama dengan sang istri dan kliennya. "Aku ada meeting sama Pak Malvin buat acara ulang tahun kantornya Pak Malvin," jawab Syalwa, seadanya. "Lho? Syalwa kenal Pak Firza?" tanya Malvin, menatap pasangan suami istri itu bergantian. "Iya, Pak," jawab Firza, sedangkan Syalwa, hanya mengangguk, membenarkan. "Boleh saya duduk?" tanya Firza, sambil menatap kedua orang lainnya bergantian. "Oh, tentu saja boleh, Pak Firza, silakan duduk." Malvin mempersilakan Firza untuk bergabung bersama mereka, setelah berpikir beberapa saat. "Terima kasih," jawab Firza. Malvin hanya mengangguk seraya tersenyum ramah sebagai tanggapan. Pemuda itu pun duduk kembali di tempat semula lalu meraih ponsel yang tergeletak di meja. Jari pria itu mulai menari di atas layar benda berbentuk pipih tersebut. Firza memposisikan diri di samping istrinya yang sudah kembali duduk. Wanita itu menatap tajam pada pria yang kini sudah menjadi suaminya itu. Tapi Firza mana peduli. Yang dia tahu, dia tak suka ada pria lain duduk berduaan dengan istrinya. Untuk itu ia menebalkan muka agar bisa duduk menemani sang istri. "Abang ngapain duduk di sini?" bisik Syalwa pada suaminya yang diam saja, seakan tak mendengar bisikan sang istri. "Abang ...." Syalwa mencubit lengan suaminya dengan perasaan geram tak terkira. "Sakit, Ca," desis Firza sembari mengusap lengan yang terasa panas akibat ulah sang istri. "Abang ngapain sih ikut nimbrung di sini?" bisik gadis itu lagi dengan mata membulat, menatap galak pada pada sang suami. "Nemenin kamu," jawab Firza singkat. "Aku gak perlu ditemani sama Abang," tolak Syalwa. "Oh, jadi kamu mau berduaan aja sama pria itu? Iya?" Firza menatap sengit pada istrinya. "Kami tidak berdua, Abang. Bertiga. Asisten Pak Malvin masih di jalan," kilah Syalwa, sejujurnya. "Kalau gitu, kita tunggu sampai dia datang," putus Firza seraya mengangkat bahu acuh. Syalwa pun hanya bisa diam dengan perasaan kesal. Hening. Tak ada yang bersuara. Keduanya hanya diam membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sedangkan Malvin, masik berkutat dengan ponsel pintar. "Pak Firza ini apanya Syalwa? Saudara, teman atau mungkin kekasih?" tanya Malvin memecah keheningan. Setelah urusan dengan ponselnya selesai. "Kami su—" "Saudara. Iya, kami saudara." Firza memotong ucapan istrinya dengan cepat , sebelum gadis itu mengatakan hubungan mereka yang sebenarnya. Syalwa hanya bisa menghela napas lelah. Terserah saja suaminya mau bilang apa. Ia tak mau pusing memikirkan hal itu. "Oh, begitu." Malvin mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti. "Syalwa ini adik sahabat baik saya, sudah seperti adik saya sendiri. Kami sudah dekat dan saling mengenal sejak Syalwa berusia tujuh tahun." Firza tersenyum saat bercerita. Ekspektasi suami Syalwa itu seakan sedang memamerkan kedekatan antara dirinya dan sang istri di depan Malvin. Dengan kata lain, ia merasa jauh lebih lama mengenal Syalwa daripada Malvin. CEO muda itu kembali menganggukan kepala sebagai tanggapan, tidak berniat untuk bicara apa pun. "Selamat siang. Maaf saya terlambat." Seorang wanita cantik yang mengenakan pakaian kerja berdiri di ambang pintu. Ketiganya pun menoleh ke arah sumber suara. "Tidak apa-apa, Ambar. Ayo silakan masuk. Duduk." Malvin mempersilakan gadis yang bernama Ambar yang baru saja tiba. "Syalwa, kenalkan, ini asisten saya, namanya Ambar," ucap Malvin, memperkenalkan Syalwa pada asistennya, saat gadis itu sudah duduk dengan nyaman. "Ambar." Gadis bernama Ambar itu mengulurkan tangan pada Syalwa. "Syalwa." Ia menyambut uluran tangan Ambar. Mereka pun berjabat tangan, dengan saling tersenyum. "Syalwa ini dari event organizer yang akan mengurus acara kita nanti," ujar Malvin menjelaskan pada Ambar. Untuk acara besar itu, Malvin terjun langsung mengurus segala kebutuhan termasuk mencari event organizer. Ia hanya meminta Ambar mengosongkan jadwal saat ini untuk bertemu pihak yang akan mengurus acara yang akan diselenggarakan perusahaannya. Oleh karena itu, Ambar baru berkenalan dengan Syalwa. Karena ia sebelumnya tidak tahu menahu event organizer mana yang jasanya akan dipakai sang atasan. "Oh. Baik, Pak," jawab Ambar seraya menganggukan kepala. Dia lalu menoleh ke arah Firza dengan dahi berkerut. "Pak Firza ... ikut meeting juga bersama kita hari ini? Bukankah kemarin kita sudah meeting dengan Pak Firza?" tanya Ambar. Bingung sekaligus penasaran. "Oh. Tidak, Ambar. Pak Firza hanya ikut menemani. Kebetulan Pak Firza ini teman Syalwa," jawab Malvin. "Sabahat baik," ralat Firza. "Oh, iya. Itu maksud saya. Sahabat baik yang sudah seperti kakak bagi Syalwa," lanjut Malvin. "Oh begitu. Saya pikir meeting bersama pak Firza juga," sahut Ambar seraya terkekeh. "Berhubung Ambar sudah sampai, bagaimana kalau kita pesan makan dulu?" usul Malvin. "Setelah itu, baru kita meeting. Supaya lebih santai jika perut kenyang." Pria itu berseloroh untuk mencairkan suasana. Usulnya pun disetujui oleh yang lain. Malvin memanggil salah satu pramusaji dan memesan beberapa jenis makanan untuk makan siang mereka bertiga. "Abang ngapain masih di sini sih?" bisik Syalwa pada suaminya. "Aku sudah bilang. Aku mau menemani kamu, Ca," sahut Firza, balas berbisik. "Tapi asisten Pak Malvin sudah datang. Untuk apa abang masih di sini?" kilah Syalwa. "Aku masih ingin duduk di sini." Dengan acuh Firza menjawab. "Abang, tolong, deh. Jangan malu-maluin aku di depan Pak Malvin," desis Syalwa. Ia sudah sangat kesal dengan kelakuan suaminya. Tapi Firza tidak peduli. Ia memutuskan untuk tetap berada di sana. "Aw ... Aw ...." Firza meringis kesakitan saat merasakan ada sesuatu yang menyakiti perutnya. "Ada apa Pak Firza?" tanya Malvin dan Ambar, hampir bersamaan. "Ah, ini perut saya sakit, Pak. Seperti ada yang mencubit, mungkin saya lapar." Pria itu menjawab asal sambil meringis. Syalwa menusuk perut Firza cukup kencang menggunakan pulpen yang ada di tangan. Gadis itu sangat kesal dengan melakukan suaminya yang seperti anak kecil. "Kalau begitu, Pak Firza ikut makan saja bersama kami di sini. Bagaimana?" tawar Malvin. "Boleh juga, Pak. Kebetulan saya juga belum makan siang, lapar. Mungkin itu yang membuat perut saya seperti ada yang mencubit," sindir Firza sambil menatap sang istri dengan pandangan mengejek, membuat Syalwa semakin geram. "Abang, bukannya Abang ada janji sama A Raka?" ucap Syalwa tiba-tiba. Malvin dan Ambar pun menoleh pada gadis itu. "Enggak, kata siapa?" Firza menoleh pada istrinya dengan kening berkerut. "Tadi A Raka yang bilang. Abang lupa mungkin. Ya udah, Abang pergi aja. Kasihan A Raka nungguin, lho," ujar Syalwa, mengusir suaminya dengan halus. "Enggak, Caca sayang ... aku gak ada janji sama Raka siang ini," kilah Firza. "Abang yakin?" tanya Syalwa. "Yakin dong," jawab Firza tanpa ragu. Syalwa akhirnya mendesah pasrah. Ia bingung bagaimana lagi caranya untuk mengusir Firza. Dia merasa tak enak hati pada Malvin. Tak lama makanan yang mereka pesan pun datang. Ada empat piring nasi putih, dan beberapa lauk pauk terpisah. "Syalwa mau makan pakai apa?" tanya Malvin pada Syalwa yang duduk di hadapannya. "Apa saja, Pak," jawab gadis itu. "Ayam balado, suka?" tanya Malvin. Syalwa mengangguk. CEO muda itu mengambilkan satu potong paha ayam dan meletakkannya di piring makan sang gadis. "Sayur capcay, suka juga?" Malvin bertanya lagi sambil menatap Syalwa. Gadis berkerudung itu pun mengangguk. "Suka, Pak," jawabnya. Sama seperti sebelumnya, Malvin menyendok beberapa sayuran dan meletakkannya di piring makan Syalwa. "Terima masih, Pak," ucap Syalwa seraya tersenyum. Malvin pun membalas tersenyum manis pada Syalwa seraya mengangguk. Sementara Firza, memperhatikan interaksi mereka dengan rahang mengeras dan tangan terkepal. Entah kenapa, hawa di ruangan itu tiba-tiba terasa panas, membuat Firza berkeringat. Padahal, AC terpasang dengan baik. Tidak ada yang rusak sama sekali. Firza selalu memastikan rumah makan miliknya itu selalu dalam keadaan baik hingga membuat nyaman pada pengunjung. Kedua tangan Firza terangkat dan mendarat tepat di atas meja, hingga menimbulkan suara dentuman yang cukup keras. Pria yang menikahi Syalwa secara siri itu, memukul meja dengan kedua tangan yang berada di samping kiri dan kanan piring makan miliknya. Sementara tiga orang lain yang ada di sana, terkejut mendengar suara yang cukup nyaring tadi. Mereka saling bertukar pandang dengan sorot mata bingung. Lalu ketiganya memandang Firza dengan tatapan penuh tanda tanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN