6 : Bertemu Malvin

1166 Kata
"Pagi, Ca." Seorang gadis cantik menyapa Syalwa, saat ia sampai di kantor cabang perusahaan milik keluarganya. "Pagi juga, Des." Syalwa menjawab sapaan Desi, rekan kerja sekaligus sahabatnya. Ia duduk di kursi kerjanya. "Oh iya, Ca, kita ada agenda bertemu Pak Malvin Putra Wijaya siang ini." Desi memberitahu jadwal kerja Syalwa untuk hari ini. "Malvin Putra Wijaya? Dia siapa?" Wanita yang baru dua hari lalu menikah itu mengernyit, mendengar nama yang asing di indra pendengaran. "Dia, direktur utama di perusahaan yang mau mengadakan acara ulang tahun itu, lho, Ca," ujar Desi, menjelaskan. "Oh ... yang itu. Iya, Aku ingat," angguk Syalwa. "Kamu yakin dia direktur utama?" "Menurut informasi yang aku dapat, iya. Dia direktur utama. Kenapa?" ujar Desi, menjawab sekaligus bertanya pada atasan merangkap sahabatnya. "Gak apa-apa, sih. Heran aja direktur utama mau mengurusi urusan begini. Biasanya 'kan, mereka tunjuk orang lain," jawab Syalwa. "Iya juga, sih," sahut Desi setelah berpikir sejenak. "Ah, tapi sudahlah. Yang penting mereka mau bayar jasa kita aja," ujar Syalwa. "Apalagi kalau nggak rewel itu bonus." "Nah itu yang paling benar," sahut Desi, mereka pun tertawa. Memang tak begitu penting siapa yang bekerja sama dengan mereka, yang terpenting mereka mau membayar sesuai nominal yang disepakati. "Jam berapa kita ketemu Pak Malvin?" tanya Syalwa lagi. "Pas makan siang," jawab Desi. "Oke. Di mana?" "Resto Kenangan." "Restonya Bang Firza?" tanya Syalwa, memastikan. "Iya, Ca. Resto Pak Firza." "Oke. Nanti kita bareng aja ke sana, ya." "Emm ... tapi, Ca ...." Desi menjeda kalimatnya. Ia merasa tak enak hati sebenarnya untuk bicara. "Kenapa?" Syalwa menatap Desi dengan pandangan bingung. "Aku gak bisa ikut, Ca. Maaf," cicit Desi. "Lho? Kenapa? Masa aku sendiri ke sana?" protes Syalwa. "Tapi hari ini aku ada janji makan sama calon mertua aku. Mereka hanya punya waktu hari ini saja, itu pun sengaja datang dari luar kota untuk ketemu aku. Maaf, ya." Desi memandang Syalwa dengan raut wajah tak enak hati. "Hm, ya udah deh kalo gitu, gak apa-apa. Aku ke sana sendiri aja. Semoga acara kamu lancar, ya," harap Syalwa seraya tersenyum tulus pada sahabatnya itu. "Aamiin. Tapi jujur aku deg-degan banget, Ca," ucap Desi seraya meletakkan tangan di dadanya sendiri. "Ya, iyalah, Des. Kalau jantung kamu gak deg-degan, ya, kamu juga gak hidup, dong," seloroh Syalwa. "Ih, Caca. Bukan itu maksud aku." Desi merajuk seraya memanyunkan bibir. "Hahaha, iya aku paham. Kamu yakin aja kalau mereka akan menerima dan menyayangi kamu. Oke?!" "Aamiin, semoga, ya, Ca. Aku gugup banget ini.” *** "Selamat siang, Mbak Caca," sapa seorang karyawan, saat Syalwa masuk ke dalam Resto Kenangan. Mereka semua sudah mengenalnya, bukan sebagai istri pemilik resto, melainkan sebagai adik bos mereka. "Siang, Mbak Hesti. Meja yang sudah di pesan atas nama Pak Malvin Wijaya, di mana, ya, Mbak?" tanya Syalwa. "Oh, di ruang VIP, Mbak," jawab Hesti. "Ruang VIP? Dia pesan untuk berapa orang, Mbak?" tanya Syalwa lagi. "Untuk tiga orang, Mbak Caca," sahut Hesti. "Oh, oke deh. Aman kalau gitu. Gak berduaan berarti." ujar Syalwa. "Pak Malvin sendiri belum datang 'kan?" "Sudah, Mbak. Beliau sudah menunggu di dalam,' jawab Hesti tanpa dosa. "Astagfirullah, Mbak kenapa gak bilang dari tadi." Syalwa menatap kesal pada karyawan bernama Hesti itu. "'Kan, Mbak Caca juga baru nanya. Hehehe ...," jawabnya seraya cengengesan. Syalwa hanya melirik sebal seraya menghela napas lelah. "Ya sudah. Saya masuk dulu kalau gitu." Gadis itu segera berjalan dengan cepat seraya menggerutu karena ulah Hesti. Ia melangkah menuju ruang VIP, di mana klien penting itu sudah menunggu. "Selamat siang." Syalwa menyapa, setelah mengetuk pintu ruang VIP yang terbuka lebar. Ia berdiri di depan pintu. "Selamat siang," jawab seorang pria, dengan setelah jas lengkap yang terlihat rapi dan tentu saja menawan. Pria itu bangkit dari posisi duduk, dan berjalan menghampiri Syalwa yang masih mematung di depan pintu. "Pak Malvin Putra Wijaya?" tanya Syalwa pada pria itu. "Benar. Bu Syalwa?" Pria itu mengangguk dan bertanya balik. "Iya, benar, Pak." jawab Syalwa sembari tersenyum dan mengangguk sopan. "Oh, iya. Mari silakan masuk, Bu Syalwa." Malvin mempersilakan Syalwa yang masih berdiri di luar. Dengan ragu Syalwa melihat ke dalam ruangan, dan tak menemukan orang lain di sana. "Maaf, Pak. Apa hanya ada kita berdua dalam pertemuan ini?" tanya Syalwa dengan ragu. "Oh. Tidak, Bu. Ada asisten saya juga. Nanti dia menyusul, mungkin sebentar lagi sampai. Tadi dia menghubungi saya dan mengatakan akan sampai sekitar lima belas menit lagi," jelas Malvin. "Oh, begitu ya ...." Syalwa mengangguk tanda mengerti. "Mari, silakan masuk, Bu. Kita tunggu di dalam. Pintunya biarkan terbuka saja, jika memang Bu Syalwa merasa tidak nyaman berada berdua dalam ruangan tertutup." Malvin memberi solusi. Dari raut wajah sang gadis, dia paham bahwa Syalwa ragu. "Baik, Pak. Terima kasih." Syalwa pun akhirnya masuk dan duduk menghadap langsung ke arah pintu yang terbuka. "Apa Bu Syalwa sudah tau tentang acara yang akan saya adakan?" tanya Malvin memecah keheningan yang sejenak memenuhi ruangan tersebut. Ruangan VIP memang bukanlah ruangan yang tertutup total, ruangan itu hanya dikelilingi oleh pembatas setinggi satu setengah meter saja, dan dilengkapi dengan pintu. Firza sengaja membuat beberapa ruangan VIP khusus untuk tamu yang ingin membicarakan hal penting tanpa terganggu oleh pengunjung lain. Tak jarang juga digunakan untuk pengunjung yang mengadakan acara keluarga. Sebab meja di ruangan VIP berkonsep lesehan. Hanya ada meja setinggi lima puluh centimeter, dengan beralaskan karpet bulu tebal dan bantal duduk. Firza juga mengantisipasi akan adanya hal yang tidak diinginkan, dengan membuat pembatas yang tidak terlalu tinggi. Agar tidak digunakan untuk hal yang tidak-tidak oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Pembatas pun bukanlah sekat tembok tanpa celah, FIrza sengaja memesan ukiran dengan banyak celah dari kayu sebagai pembatas. Selain menjadikan restonya tempat yang cocok berswafoto, juga untuk meminimalisir hal yang tidak diinginkan, seperti perbuatan tidak senonoh dan semacamnya. "Alhamdulillah, sudah, Pak. Hanya konsepnya saja yang masih perlu saya diskusikan dengan Bapak," jawab Syalwa, tersenyum ramah. "Saya boleh panggil Anda dengan nama langsung? Supaya tidak canggung saat berkomunikasi. Sepertinya kita akan lebih sering berdiskusi, mengingat saya orang yang sedikit rewel." Malvin terkekeh mengakhiri ucapannya. "Tentu saja, boleh, Pak. Silakan." Syalwa mengangguk setuju, sebenarnya dia pun merasa tidak nyaman dengan sebutan ibu. "Panggil saya Malvin, saja. Sepertinya usia kita tak jauh beda," usul Malvin. "Tapi saya tak enak, Pak." Syalwa menolak baik-baik. "Ya sudah kalau begitu, bagaimana Syalwa saja. Nyamannya seperti apa. Saya tidak masalah." Malvin tersenyum menatap Syalwa sesaat, membuat Syalwa sedikit salah tingkah dengan tatapan kliennya itu. "Baik, Pak." Syalwa mengangguk canggung. Ia sangat tak nyaman berada hanya berdua dengan laki-laki dalam satu ruangan, meskipun bukanlah ruangan tertutup. Seumur hidup, dia memang tak pernah mengalami situasi seperti itu, Raka dan Firza yang selalu menjadi bodyguard gadungan untuknya, tak pernah membiarkan laki-laki mana pun mendekat. Dan sekarang, dia malah menjadi istri dari salah satu bodyguard gadungan itu. Syalwa menghela napas berat, saat mengingat bahwa kini dia adalah istri dari Firza Putra Narendra. Seorang pria yang selalu menjadi sahabat baik untuk bercerita selama ini, pria itu pun sudah dia anggap seperti kakaknya sendiri. "Caca." Suara seseorang memanggil nama gadis itu. Sontak membuat Syalwa dan Malvin, bersamaan menoleh ke arah sumber suara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN