Yana mencengkeram jantungnya, merasakan penyesalan menggerogotinya tanpa henti. Jika waktu bisa diulang, dia ingin memarahi dirinya sendiri. Tidak seharusnya pria seperti Kafka mendapatkan sikap kasar darinya sepert itu. Jadi, perbuatan Kafka sekarang tentu saja bisa dimaklumi olehnya.
Merasa bosan dan tersiksa dengan pikirannya sendiri, Yana turun dari tempat tidur, mendorong tiang infus bersamanya, lalu duduk di sofa untuk menyalakan televisi.
Tiba-tiba saja, ketika dia melihat tayangan di layar besar, tubuhnya mendingin seperti es yang menusuk hatinya.
Seorang wanita sedang membahas berita gosip dengan senyum lebar. Di sebelahnya, ada layar besar yang memperlihatkan sebuah foto yang diambil secara diam-diam.
“Taipan bertangan dingin dan prestisius dari Grup Bimantara baru-baru ini terlihat sedang menemani wanita pujaannya berbelanja di sebuah mall mewah untuk membeli kalung yang bernilai fantastis. Tidak hanya itu, sehari sebelumnya, menurut salah satu paparazzi yang berhasil menangkap foto keduanya, mereka baru saja keluar dari rumah sakit di bagian ginekologi sambil berpegangan tangan.”
Yana seperti tersambar petir di wajahnya.
Bagian ginekologi?
Wajah Yana seketika menggelap pucat sangat jelek. Kesedihan dan kemuraman menjatuhi kedua bola matanya yang terlihat kosong.
Wanita di layar TV melanjutkan dengan nada menggoda dan sedikit main-main, tersenyum misterius. “Apakah Mala Nasram sedang hamil anak dari Kafka Bimantara? Sepertinya Taipan muda yang sangat kaya itu memberinya hadiah sebagai ucapan selamat.”
Yana semakin buruk mendengar berita tersebut. Jadi, itu sebabnya Kafka tidak datang ke rumah sakit lagi untuk menyiksanya?
Ternyata, dia sibuk mengurusi kekasihnya yang sedang hamil, ya?
Rasa sakit menggerogoti hati Yana.
Dia merasa seolah-olah seluruh dunia runtuh di hadapannya.
Di saat dia berharap ada sedikit perhatian, kasih sayang, dan pengertian dari mantan suaminya, Kafka justru sedang menikmati kebahagiaan barunya dengan wanita lain. Tidak heran aksi balas dendamnya luar biasa. Mana sempat dia peduli dengan hal lain di saat sebentar lagi akan mendapatkan buah cintanya dari wanita yang dicintainya?
Semua kenangan indahnya bersama pria itu seketika terasa sangat konyol. Yana akhirnya sadar, kalau ternyata dia sedang hidup dalam imajinasinya sendiri dengan harapan kosong yang memalukan.
Menyadari kebodohannya, Yana hanya bisa merenungi kenyataan pahit bahwa hidupnya memang sangat menyedihkan.
Sementara Kafkah telah menemukan kebahagiaan sejatinya, Yang merasa kalau sepertinya dia akan terus berkubang dalam kegelapan dan kesepian. Menunggu untuk mati sendirian dengan penyakit kanker yang dideritanya.
***
Semenjak melihat berita tentang Mala Nasram yang pergi ke bagian ginekologi bersama Kafka Bimantara, Yana berusaha keras untuk mengalihkan pikirannya agar tidak merasakan rasa sakit yang berkelanjutan di hatinya.
Selama seminggu ke depan, Kafka tak juga mengunjunginya. Hanya dokter dan perawat yang terus mengawasi kesehatannya, serta dua pria berpakaian hitam tetap berjaga di depan pintu, seolah-olah takut dia benar-benar akan kabur dari sana.
“Bagaimana? Apakah Anda sudah memikirkannya?” bisik perawat yang selalu datang ke ruangan itu.
Sejak kepergian Kafka, Yana dan Ryan Wilson berkomunikasi melalui perawat tersebut.
Kertas yang diberikan kepada Yana biasanya akan dibuang ke tempat sampah, lalu keesokan harinya, Yana akan memberitahu jawabannya kepada sang perawat.
“Katakannya kepadanya kalau aku tidak akan melakukannya,” ucap Yana dengan nada selembut mungkin, mencoba menikmati sarapan di depannya.
Ryan Wilson memberinya tawaran untuk kabur dari rumah sakit. Namun, Yana tahu bahwa kemungkinan itu sangat kecil.
Dia juga ingin pergi dan tidak berhubungan lagi dengan mantan suaminya, tetapi keluarganya berhutang 100 miliar, dan Kafka bisa dengan mudah mengintimidasi serta menyiksa anggota keluarganya yang lain. Sangat egois jika dia hanya menyelamatkan diri dari kemurkaan mantan suaminya.
“Nona, pikirkan kembali,” kata perawat itu cemas, lalu melanjutkan, “Dokter Wilson sudah menjelaskan kepada saya kondisi Anda. Jika Anda terus seperti ini, lama-lama Anda bisa saja kehilangan nyawa.”
Yana terdiam.
Dia sudah berusaha melupakan berita gosip tentang kehamilan Mala Nasram. Tiba-tiba, perawat di depannya malah mengungkitnya begitu saja.
“Apakah Anda sudah tahu mengenai rumor tentang kehamilan Mala Nasram? Apakah Anda tidak kesal? Anda sedang sakit, tapi mantan suami Anda malah menahan Anda di sini dan dia sedang bersama wanitanya yang sedang hamil! Apa yang sebenarnya yang dia inginkan?” kata perawat itu dengan nada sangat jengkel.
Yana tersenyum ironis. “Kenapa kamu bertanya seperti itu kepadaku?”
Perawat itu terlihat gelisah. “Saya tahu kalau kalian berdua sudah bercerai. Tetapi, kalau Anda seperti ini terus, bukan tidak mungkin orang lain akan menilai Anda sebagai mantan istri yang berusaha menarik perhatian mantan suaminya. Anda bisa dituduh sebagai orang ketiga yang ingin mencoba menghancurkan kebahagiaan pasangan tersebut. Tolong jangan tersinggung dengan ucapan saya. Saya hanya takut Anda menjadi sasaran kebencian orang lain.”
Yana hanya bisa tersenyum lebih ironis. “Apakah kamu tidak tahu tentang masa laluku, Dina?”
Perawat Dina mengangguk cepat. “Saya tahu. Saya tahu semuanya! Sepertinya tidak ada orang yang tidak mengetahuinya jika mereka membuka internet.”
Yana mendengarkan saksama penjelasan sang perawat, lalu bertanya lagi, “Lantas, kenapa kamu masih ingin membantuku?”
Perawat Dina menjawab dengan sedikit terburu-buru. “Jangan salah paham. Menurut saya, semua orang bisa melakukan kesalahan, tapi bukan berarti mereka tidak bisa mendapatkan kesempatan kedua. Lagi pula, sokter Wilson sudah menjelaskan sedikit tentang kekejaman mantan suami Anda. Dia dengan tega mengirim Anda ke pria lain untuk dimainkan. Tidakkah itu keterlaluan? Seburuk apapun perbuatan wanita, bagaimana bisa dia mengirimnya kepada seseorang agar harga dirinya hancur?”
Setelah berbincang kecil tentang kekejaman Kafka, perawat Dina kembali mengonfirmasi permintaan Ryan Wilson melalui kertas yang diberikan kepadanya.
“Sebentar lagi, aku akan keluar dari rumah sakit. Katakan kepada dokter Wilson kalau dia tidak perlu melakukan ini lagi. Jika memang dia ingin membantuku untuk keluar, mungkin sebaiknya dia meminjamkan ponsel agar aku bisa menghubungi seseorang. Aku hanya membutuhkan ponsel model lama yang mudah disembunyikan. Bisakah kamu memberitahunya?”
Perawat Dina mengamatinya dengan cemas, tapi dia segera mengangguk.
***
Di sore hari, permintaan Yana ternyata dikabulkan oleh Ryan secara diam-diam sembari membawa makanan ke dalam.
Dia berhasil membawa masuk ponsel model lama bersamanya. Karena tidak ingin ketahuan, Yana terpaksa melakukan panggilan telepon di dalam kamar mandi.
“Ke mana wanita itu?” tanya salah satu penjaga yang mengecek ke dalam ruangan.
Perawat Dina sibuk berpura-pura membersihkan tempat tidur, berkata dengan santai, “Dia sedang berada di kamar mandi. Kalian sungguh keterlaluan. Apakah harus mengawasinya seketat ini?”
Penjaga tidak menjawabnya, dia kembali melakukan pengawasan di depan pintu.
Perawat itu mendengus pelan. “Sepertinya ucapan dokter Wilson memang benar. Kafka Bimantara berniat untuk balas dendam atas apa yang telah diterimanya selama pernikahan. Tetapi menurutku dia sangat keterlaluan. Bagaimana bisa dia melempar mantan istrinya kepada pria lain dan mempermalukannya sehina itu?”
Setelah mengamati gosip yang beredar di internet, menurutnya, kekejaman Kafka Bimantara lebih buruk daripada kekejaman Yana Jazada. Namun, dia mengerti bahwa ketika dendam dan kebencian menguasai hati seseorang, mereka tidak akan bisa berpikir jernih.
“Sungguh kasihan wanita itu,” pikirnya, gemetar di dalam hati. Dia menepuk-nepuk bantal di ranjang dengan wajah sedikit sedih.
Yana, di dalam kamar mandi, mencoba menata pemikirannya.
Dengan ponsel di tangannya, dia merasakan beban di hatinya semakin berat.
Setelah berusaha menenangkan diri, Yana akhirnya mengambil napas dalam-dalam dan mulai menghubungi nomor yang sudah lama ingin dia hubungi.
Suara deringan telepon yang terasa seperti selamanya, membuat jantungnya berdegup kencang.
“Halo?” sapa wanita di seberang sana.
“Arini, ini aku. Yana,” balasnya dengan nada lembut dan sedikit lirih.