Arini yang mendengar suara sahabatnya setelah sekian lama akhirnya berseru senang, seolah-olah sedang meneteskan air mata. "Yana, kamu ke mana selama ini? Apa yang sebenarnya terjadi kepadamu? Kenapa kamu tidak bisa dihubungi dan menghilang secara tiba-tiba?"
Yana tersenyum kecut, lalu menjelaskan dengan nada setenang mungkin. "Aku baik-baik saja, sungguh. Bagaimana dengan keluargaku? Apakah masalah kami sudah selesai? Bagaimana dengan rumah kami yang disita?"
Arini sedikit terisak pelan, menjelaskan secara hati-hati. "Yana, aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi ibumu berhasil mendapatkan uang untuk menyelesaikan masalah kalian. Kakakmu akhirnya berhasil dikeluarkan dari penjara dengan jaminan, sedangkan ayahmu sudah keluar dari rumah sakit. Begitu juga dengan adikmu, Tera. Dia sudah dipindahkan ke kampus lain setelah salah paham yang menimpanya berhasil diselesaikan."
Yana termenung mendengar berita baik tersebut, tetapi bagi dirinya, itu adalah hal sebaliknya. Itu artinya, Yana berhutang kepada Kafka dan dia tidak tahu bagaimana cara membayarnya di masa depan.
"Yana, kamu masih di sana? Apakah kamu mendengarkanku?" Arini berseru kembali.
Yana mencoba terlihat tenang dan baik-baik saja. Dia mengangguk dan berdeham cepat. "Um! Aku baik-baik saja di sini. Syukurlah semua masalah sudah diselesaikan."
Arini memotongnya cepat. "Apakah kamu tidak penasaran, Yana? Ibumu mendapatkan uang yang sangat banyak. Hutang judi ayahmu terlalu besar. Menurutmu, dari mana dia mendapatkan uangnya? Jangan-jangan dia juga meminjam dari rentenir lain. Aku takut ini malah semakin memberikan masalah kepada kalian."
"Tenanglah, uang itu berasal dari Kafka Bimantara."
Wanita di seberang telepon tiba-tiba terdiam.
Yana mengerutkan kening dalam, lalu berkata lagi, "Kenapa kamu diam saja? Aku tahu ini sangat sulit dipercaya, tapi itu benar. Kafka Bimantara bersedia meminjamkan uang 100 miliar kepada ibuku."
"Apa? 100 miliar? Apa aku tidak salah dengar? Bagaimana bisa dia mau meminjamkan uang sebanyak itu kepada ibumu? Bukankah dia..." kata-kata Arini terpotong.
Yana juga tahu maksudnya.
Dia ingin menjelaskan kepada Arini bahwa sebenarnya uang itu tidak dipinjamkan secara normal kepada ibunya, melainkan lebih tepatnya, ibunya menjual putrinya sendiri sebagai jaminan.
"Sudah, sekarang masalahnya sudah selesai. Jangan khawatir. Mungkin sebenarnya Kafka tidak seburuk yang kita pikirkan. Aku akan menjelaskan banyak hal begitu aku kembali menemuimu."
"Tapi, Yana, apakah kamu sungguh bertemu kembali dengan Kafka Bimantara? Bagaimana kamu dan ibumu…?" tanya Arini lagi, sangat bingung.
Yana segera menjawab, "Jangan khawatir. Aku bisa menyelesaikannya. Bukankah aku sudah pernah mengalami hal-hal yang lebih buruk? Lagi pula, Kafka sekarang sedang bahagia. Aku turut bahagia karenanya. Setidaknya, fokusnya berkurang kepadaku."
"Jadi, kamu sudah tahu berita tentang kehamilan Mala Nasram?" tanya Arini, suaranya semakin pelan.
Yana mengangguk meskipun Arini tidak bisa melihatnya, dan mencengkeram ponsel model lama di tangan kanannya. "Aku sudah tahu. Sepertinya, tidak ada yang tidak tahu hal itu saat ini.”
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Arini khawatir.
Yana terkekeh, meskipun ada sedikit kesedihan di hatinya. "Apa maksudmu aku tidak apa-apa? Tentu saja aku tidak apa-apa. Aku malah sangat senang."
"Yana, kamu masih menyukai Kafka, bukan?"
Wanita itu terdiam, tatapannya kosong mengarah ke lantai kamar mandi.
Arini Gusmawan tahu perasaan Yana yang sesungguhnya saat dia tidak sengaja mabuk usai pulang bekerja beberapa saat lalu. Saat itulah Yana menjelaskan perasaannya sambil berlinang air mata.
Selama beberapa menit, Yana dan Arini membicarakan banyak hal. Lalu, Yana yang terlihat lebih tenang segera keluar dari kamar mandi. Dia mengangguk penuh rasa terima kasih kepada perawat Dina, lalu mengembalikan ponsel kepadanya.
"Terima kasih. Aku berhutang kepadamu," kata Yana lembut.
Perawat Dina tersenyum cepat. "Jangan berkata begitu, Nona Jazada. Dokter Wilson memberiku bayaran untuk melakukan ini."
"Aku tahu, tapi tetap saja. Apa yang kamu lakukan sangat berisiko. Jika ketahuan, mungkin saja kamu bisa diskors. Atau bahkan dikeluarkan dari rumah sakit," ucap Yana penuh perhatian.
Dia tidak mengerti mengapa masih ada orang yang berbuat baik kepadanya setelah skandalnya tersebar di internet. Meskipun itu demi uang, tetap saja tidak sebanding jika perawat Dina ketahuan oleh Kafka.
Perawat Dina tampak terkejut kecil. "Jangan terlalu dipikirkan. Sekarang, berbaringlah. Lebih banyak istirahat akan lebih baik."
Yana mengangguk mengerti, lalu segera berbaring kembali di ranjang pasien. Selama beberapa hari ke depan, ketenangan di rumah sakit membuat Yana menjadi lebih rileks. Kafka juga masih belum datang menjenguknya. Dia berpikir, mungkin pria itu sudah melepaskan dendamnya, terutama karena kekasih hatinya sekarang sedang hamil buah hati mereka.
Yana termenung menatap jendela kamar VIP. Hatinya terasa kosong.
Dulu, dia sangat menginginkan anak dari Kafka. Namun, vonis dari dokter membuatnya hanya bisa mengubur semua impiannya. Yana mungkin tidak akan pernah bisa hamil. Lebih tepatnya, dia tidak boleh hamil.
***
Pada hari Senin, di minggu keempat bulan itu, Yana akhirnya diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Perawat Dina menatapnya dengan wajah penuh rasa iba. Selama Yana berada di rumah sakit, tidak ada satu pun orang yang datang menjenguknya atau menanyakan kabarnya.
"Terima kasih sudah menemaniku di sini, Dina. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu," ucap Yana dengan tulus.
Perawat Dina merasa terharu, mengusap air mata yang hampir jatuh dari sudut matanya.
"Jika ada masalah, hubungi saja nomor yang aku berikan kepadamu," ujarnya dengan suara lembut dan tegas.
Yana mengangguk sambil tersenyum lebar. Selama di rumah sakit, Dina sudah seperti saudari sendiri baginya.
"Aku tidak akan melupakan kebaikanmu," ucapnya lagi dengan penuh rasa syukur.
Percakapan mereka terpotong oleh kehadiran seorang pria berbaju hitam yang tiba-tiba muncul di pintu.
"Nona Jazada, apakah Anda sudah siap?" tanyanya dengan sopan.
Yana mengangguk, lalu melirik sebentar ke nakas di samping tempat tidurnya. "Aku tidak punya banyak barang. Sepertinya semuanya tertinggal ketika aku pingsan waktu itu."
Pria berbaju hitam mengangguk cepat. Dia lalu menyerahkan setelan pakaian yang dibawanya untuk dikenakan Yana sebelum keluar dari rumah sakit.
Setelah berganti pakaian, Yana akhirnya bersiap untuk meninggalkan rumah sakit.
"Silakan ikut saya, Nona."
Tangan pria itu mengisyaratkan Yana untuk mengikutinya keluar dari kamar perawatan. Sebelum melangkah pergi, Yana sekali lagi mengangguk penuh rasa terima kasih kepada perawat Dina, lalu memeluknya erat.
Setelah berpisah dengan perawat itu, Yana berjalan mengikuti pria berbaju hitam di depannya.
“Maaf, permisi," gumam Yana dengan sedikit rasa tidak nyaman. "Kalau boleh tahu, kemana aku akan dibawa?"
Pria itu menoleh sebentar, menjawab dengan suara rendah tapi jelas, "Tuan Bimantara menyuruh saya membawa Anda kembali ke Mansion Matahari."
Mansion Matahari adalah kediaman mewah milik keluarga Jazada di masa lalu. Tempat itu mendapat julukan demikian karena posisinya yang selalu terkena sinar matahari sepanjang tahun, menciptakan pemandangan yang megah dan bercahaya.
Mendengar jawaban dari pria itu, kening Yana mengerut dalam. "Bolehkah aku menelepon Tuan Bimantara?"
"Maaf, Tuan Bimantara sangat sibuk akhir-akhir ini. Dia tidak bisa berbicara dengan Anda," jawab pria itu tanpa ragu.
Yana terdiam, mengikuti langkah pria itu dengan tatapan sedikit kosong.
“Sangat sibuk? Maksudnya adalah menemani Mala Nasram, bukan?" gumamnya dalam hati.
Beberapa hari terakhir, Kafka terus muncul dalam berita sensasional bersama cinta sejatinya.
Walaupun Yana tidak nyaman untuk mengikuti berita-berita gosip tersebut, informasi tentang Kafka tetap saja terus menghampirinya, karena perawat Dina sering berceloteh tentang betapa jahatnya Kafka Bimantara yang memperlakukan mantan istrinya seperti orang yang dibuang.
"Jadi, kapan aku bisa berbicara dengannya?" tanya Yana dengan nada lelah saat mereka tiba di depan sebuah mobil hitam mewah.
Pria berpakaian hitam menjawab dengan tegas. "Hal itu akan disampaikan oleh Tuan Bimantara sendiri. Tolong tunggu waktu yang tepat agar dia bisa berbicara dengan Anda."
Yana mengangguk pasrah, lalu melirik ke dalam mobil yang terlihat sangat megah.
Ada keraguan dalam hatinya, tapi dia tahu dia tidak punya pilihan lain.
“Apakah ini benar-benar jalan yang harus aku tempuh?" pikirnya gelisah.
Masuk ke dalam mobil ini, berarti dia harus ikut dalam permainan Kafka dan Yana sadar betul tidak ada jalan kembali setelah melaluinya.
Hutang 100 miliar, ditambah biaya rumah sakit, membuat Yana merasa sesak napas.
Semua itu menekan hatinya seakan diremas oleh tangan tak terlihat.
Bagaimana dia bisa melunasi semua hutang itu jika Kafka mengawasinya terus?
Yana merasa Kafka pasti sedang merencanakan sesuatu untuk membuat hidupnya semakin sulit. Setiap langkah yang dia ambil olehnya sekarang seolah membawa dirinya lebih jauh ke dalam perangkap yang telah disiapkan Kafka.