perasaan yang semakin aneh

2460 Kata
“Dingin?” Diva meringis dan menggeleng. Dirapatkannya jaket yang dikenakannya. Lebih tepatnya jaket milik Andrew yang disampirkan di tubuhnya. Sekarang sudah pukul setengah tiga dini hari dan beberapa menit yang lalu, Andrew baru saja tiba di rumahnya. Andrew mengendarai motor gedenya dengan kecepatan sedang. Karena jalanan yang lengang, laki-laki itu hanya menghabiskan waktu sepuluh menit untuk pergi ke rumah Diva. “Biasa gue, mah… lo inget nggak waktu itu kita climbing? Waktu itu kan hawanya lebih dingin daripada sekarang, Ndrew.” Andrew menoleh dan mengacak rambut Diva, membuat gadis itu mengerucutkan bibirnya. “Iya, dan lo bikin gue khawatir setengah mampus karena lo sok-sokan kuat nahan dingin dan akhirnya malah kehabisan napas gara-gara asma lo kumat.” Diva tersenyum kecil dan menatap bintang-bintang yang bertaburan di atas sana. “Diva….” “Hm?” gumam Diva tanpa menatap Andrew. Gadis itu sangat terpesona dengan keindahan langit malam. Apalagi Cuma berduaan dengan Andrew, membuat hatinya merasa gimaanaaa.. gitu. “Inget kan kalau gue pernah bilang gue lagi suka sama cewek?”Seketika, pandangan Diva teralihkan dari langit dan menatap Andrew dengan kening berkerut. Gadis itu mengangguk dan memiringkan kepalanya. “Lo mau tau, siapa orangnya?” Diva menelan ludah susah payah. Rasanya ada sebuah batu yang mengganjal di tenggorokannya, menghimpit dadanya, membuatnya sulit bernapas. Diva mengambil napas panjang dan membuangnya. Kenapa tiba-tiba hanya untuk bernapas saja rasanya teramat sulit baginya? “Siapa, emang?” tanya Diva setelah berhasil menemukan suaranya kembali. Dia bertanya dengan nada cuek, seolah apa yang baru saja diucapkan oleh Andrew tidak penting baginya. Padahal dalam hati, jantungnya berdetak tak keruan. “Tiara….” “Hah? HAH?! WHAT?!” “Ti… ara?” tanya Diva terbata. Andrew menoleh. Keduanya saling tatap dalam diam. Perlahan, kepala Andrew mengangguk. “Kenapa? Kok kayak kaget, gitu? Cemburu?” Diva mengerjapkan mata dan langsung membuang muka. Mengubah ekspresinya agar mencibir. Padahal dalam hatinya seperti ada yang terbanting keras dan serpihannya jatuh mengenainya. Sakit... “Dih, pede! Mau lo suka sama Tiara, kek, Shabrina kek, Puput atau semua cewek-cewek yang histeris kalau ngeliat lo dan ingin mencekik gue hidup-hidup karena gue dekat sama lo dan jelas-jelas mereka tau kalau gue itu sahabat lo, I DON’T CARE!” Andrew menahan senyum dan menghela napas. Ditatapnya bintang yang bertaburan di langit hitam di atasnya. Entah kenapa dia merasakan ada sedikit nada tak suka dari sahabatnya itu. “Yakin lo nggak peduli kalau gue suka sama orang lain?” Diva tidak menjawab. Gadis itu sibuk mengatur ritme hentakkan jantungnya agar debarannya tidak bisa didengar oleh cowok disampingnya ini. “I don’t know, Diva… gue mulai ngerasa ada yang perlahan berubah antara gue dan Tiara. Udah lama hingga akhirnya yakin kalau gue suka sama dia.” Kini, Diva memusatkan perhatiannya kepada Andrew. Laki-laki itu menundukkan kepalanya dan menatap lekat-lekat mata Diva. Andrew terpana. Bersahabat dengan Diva selama ini, baru kali ini Andrew menyadari bahwa gadis itu memiliki mata yang indah. Tanpa sadar, Andrew mengelus sebelah pipi Diva. Pipi itu terasa begitu lembut sekaligus dingin di telapak tangannya yang besar dan hangat. Diva menahan napas. Baru kali ini dia bertatapan dengan intens dengan sahabatnya sendiri. Sahabatnya yang menurutnya sangat gokil, aneh, ramah dan mudah bergaul. Sahabat yang selalu ada untuknya, kapanpun dan dimanapun dia berada serta dalam kondisi seburuk apapun. “Maksud… lo?” Diva tidak mengenyahkan tangan Andrew yang berhenti di pipinya yang putih. Gadis itu terhanyut dengan perlakuan Andrew. Andrew tersenyum lembut dan dengan gerakan cepat, tanpa diduga oleh Diva sebelumnya, Andrew melingkarkan kedua lengannya yang kokoh pada tubuh Diva. Menyalurkan kehangatan pada tubuh gadis itu yang sudah menggigil kedinginan. Sama seperti ketika waktu itu mereka climbing, kali ini pun Diva tidak ingin mengakui keadaan yang sebenarnya. Bahwa ternyata, gadis itu menggigil kedinginan. Diva semakin tidak bisa bernapas. Dia tidak membalas pelukan Andrew. Diva bisa merasakan hangat napas dan detakan jantung Andrew pada tubuhnya. Jantungnya sendiri sepertinya sudah sekarat dan harus diganti dengan jantung model terbaru. Jantung dengan keuntungan yang sangat bagus, yaitu anti deg-degan. “Why you make it so hard, Diva? Is it hard to confess that you’re cold?” bisik Andrew lembut dan makin menguatkan pelukannya. Dengan senyum tipisnya, Diva kemudian melingkarkan kedua lengannya pada pinggang Andrew. Astaga, bagaimana ini? Sepertinya, dia, Diva Lucynda Evelyn telah jatuh cinta pada sahabatnya sendiri. Oh, God… apakah itu bahkan mungkin untuk terjadi? “ANDREEEW!” Terdengar suara geram penuh kemarahan dari bawah. Otomatis, Andrew dan Diva menoleh ke bawah dan tersentak. “LO NGAPAIN PELUK-PELUK ADIK GUE DI ATAS GENTENG PAGI BUTA BEGINI?! BELUM PERNAH NGERASAIN DIGORENG BOKAP GUE, YA?!” “Mati gue!” Andrew dan Diva langsung melepaskan pelukan mereka masing-masing dan nyengir kuda ke arah Rere, kakak perempuan Diva yang melotot sangar pada mereka. “Turun!” Bentaknya dengan rambut acak – acakan khas orang bangun tidur, mata melotot ke arah mereka yang sekarang sedang turun dengan gaya seolah – olah ketahuan nyolong ayam kampung. Andrew yang lebih dulu menginjak tanah langsung hendak memegang pinggang Diva ingin membantu, namun mendadak tangannya dipukul oleh ranting pohon dengan keras entah nemu dimana. “Jangan sentuh – sentuh adek gue!” Ucap Rere posesif *ketahuan gak ikhlas* Sambil melirik Andrew yang hanya cengar – cengir. Tak tau harus merespon apa. Diva turun dan menatap kakaknya dan Andrew bergantian, “Tumben lo bangun kak. Ada apa?” Mendadak Rere bersin. Udara dingin membuatnya bersin berkali – kali karna hidungnya memang sensitif. “Gue mau ambil minum...” Dia berhenti karna bersin lagi. Membuat hidungnya memerah. “Trus dengar ada orang ngomong gitu di atas genteng. Gue mikir, hanya maling konyol yang berdiskusi di atas atap tentang barang apa saja yang mau diambil. Yaudah gue keluar dan melihat lo pada pelukan di atas genteng! Ckkckck... emang gak bisa nunggu besok yah jadi harus pelukan sekarang?” Ucapnya dan bersin lagi. Andrew tersenyum dan melepas jaketnya lalu hendak menyampirkan ke badan Rere. Namun ditolaknya. “Iya kak,. Entah kenapa adek lo yang satu ini ngangenin... banget.” Dia melirik Diva dan mengedipkan mata. Sukses membuatnya memerah malu. “Nih anak kalau merona manis juga yah. Ntar ah... kapan – kapan gue godain lagi kalau sumpek.” Batinnya dalam hati Rere melirik ke arahnya. Saatnya mengusir makhluk hidup satu ini kembali ke habtitatnya sebelum dia bersin sepanjang pagi yang berujung bedrest. “Ok, gue tau adek gue ini cantik mengingat gue juga cantik,” Ucapnya dengan nada narsis dan bersin lagi karna udara jam 3 pagi yang semakin dingin. Sedangkan besok dia kuliah. “Tapi,mending lo pulang sekarang deh, Ndrew. Apa kata tetangga ntar lo disini di pagi buta pelukan dengan adek gue? Untung gue yang liat, coba bokap atau nyokap yang liat, lo beneran digoreng! Kalau gak tahan juga, ntar lulus SMA lo nikahin aja adek songong gue. Gue ikhlas dilangkahin.” Ucapan Rere membuat mereka tersentak. Apalagi Andrew yang baru saja memimpikan Diva menikah dengannya. Entah kenapa membuatnya merinding. “Gue diusir, Diva.” Andrew melirik sahabatnya yang daritadi diam sribu bahasa. Hanya menjadi penonton diantara mereka. “Lo memang pantas diusir sih! Kasian kakak gue bersin mulu dekat lo. Bau sih...” Ejeknya membuat rambutnya diacak Andrew. “Iyaa... gue pulang dulu kak. Bye kak Rere, Diva.” Andrew memutuskan pamit dan keluar dari rumah Diva dan mendorong motornya hingga keluar komplek dan menjalankannya. Rere langsung masuk rumah dengan hidung memerah karna selalu bersin. Meninggalkan Diva yang tetap berdiri di luar. Menatap kepergian Andrew dengan perasaan seolah – olah ada yang hilang dari hatinya. Entah apa, dia tak tau. Sambil memegang dadanya dia masuk dalam rumah dan mengunci pintu. Memutuskan tidur kembali. --- Diva tiba di sekolah dengan napas ngos – ngosan. Dia hampir saja terlambat sedikiitttt lagi karna telat bangun. Sudah beberapa hari ini dia selalu bermimpi tentang dia menikah dengan seseorang tapi dia tak tau siapa pria yang menikahinya. Dia samar – samar mendengar suaranya saat mengucapkan ijab kabul, dan dia ingat suara siapa itu, tapi hatinya ragu untuk meyakininya. “Gue mimpi nikah, tapi nikah dengan siapa?” Asyik melamun, tau – tau dia melihat Andrew asyik mengobrol dengan Tiara dan Andini, sangat akrab. Entah kenapa dia tak suka melihatnya ketika Tiara dengan santai melingkarkan tangannya di pundak Andrew dan cowoktak melakukan apa – apa. Seolah santai saja dirangkul oleh cewek secantik Tiara. Ok, itu biasa karna dia pun pernah ribuan kali dipeluk Andrew dengan posisi itu. Tapi dia entah kenapa tak terima ketika Tiara yang melakukannya. Membuat pengakuan Andrew tentang perasaannya pada Tiara terngiang jelas di telinganya. Membuatnya manyun. “Ngapain sih pelak – peluk di depan umum?! Gak sopan banget deh! Tapi... bukannya gue juga kayak gitu? Kok..” Andrew menoleh ke arahnya dan tersenyum sambil melambaikan tangannya membuat Tiara menoleh dan melepas rangkulannya dan melambaikan kedua tangan kearahnya dengan heboh. Diva membalasnya dan hendak menyusul, namun langkahnya terhenti ketika ada yang memanggilnya, dia menoleh dan tersenyum ketika Sandy menghampiri dan mengajak berdiskusi tentang perlombaan basket Putri yang akan diikutinya dua minggu lagi. --- Berkali – kali mata Andrew selalu melirik ke arah lapangan basket. Dia melihat Diva tertawa dan sesekali wajahnya serius dengan Shandy. Entah membahas apa, dia tak tau dan tak peduli. Dia hanya tak ingin cewek itu menepuk – nepuk pundak Shandy seperti dia sering menepuk pundaknya. Tertawa keras seperti yang sering dilakukannya saat bersamanya, apapun itu, dia tak mau Diva melakukannya dengan Shandy. “kenapa gue jadi posesif akut begini?” Sadar bahwa Andrew tak fokus lagi, Tiara mengikuti arah mata Andrew dan tau siapa yang membuat sahabatnya sekarang sedang mengepal tangannya menahan emosi. “Cemburu nih ceritanya?” Godanya ketika Andrew melirik ke seberang sana berkali – kali. Seolah memberi sinyal pada Shandy yang kadang menoleh ke arahnya agar segera menyingkir sebelum dia yang turun tangan. Andrew menoleh ke arah Tiara yang cekikikan melihat tingkahnya. “Kata siapa? Sotoy deh.” Andini ikut – ikutan menggodanya. “Masa sih? Kalau gak, kenapa lo selalu lirik Diva dan menatap Shandy seolah – olah lo sedang melirik Jo? Dia kan gak ngapa – ngapain Diva. Cuma ngajak ngobrol aja.” “Iya juga yah. Ngapain juga gue kayak gini? Aneh deh...” Andrew angkat bahu. Dia melirik Diva yang sekarang memegang tangan Shandy dan menarik – nariknya pelan. Seperti yang sering dilakukannya ketika ingin sesuatu dan menagih pada Andrew untuk dibelikan. Membuatnya tak tahan lagi melihatnya. “Gue mau nyamperin Diva.” Ucapnya dan bergegas menghampiri sahabatnya yang bingung dengan kedatangannya. Aplagi Shandy yang merasa terganggu karna dia menaruh hati pada Diva sejak lama dan ingin mendekatinya. Namun gagal total karna Andrew selalu berada dimana – mana. Seperti sekarang. “Coba liat..” Andini menunjuk Andrew yang sekarang merangkul Diva dengan posesif dan menatap Shandy dengan tajam sesekali menimpali. Membuat Tiara nyengir. “Gue bilang juga apa? Mereka itu lama – lama saling naksir! Tapi ego terlalu tinggi untuk ngaku! Gemas juga lama – lama!” Andini mengangguk menyetujui. Walaupun dia hanya akrab dengan Tiara, tapi dia bisa melihat bahwa Andrew dan Diva itu bukan hanya bersahabat biasa. Ada sesuatu yang istimewa. Mereka tak bisa merasakan namun orang lain bisa melihatnya. “Lo pengen tau gak gimana cara menyatukan mereka?” Ucapnya dan Tiara mengangguk. “Apa?” Dia langsung membisikkan idenya dan mereka terkikik penuh konspirasi sambil menatap Andrew yang menatapnya heran. Namun Tiara hanya merespon dengan kedipan mata. Sudah saatnya menyatukan pasangan aneh ini menjadi pasangan kekasih. Begitu pikirnya dan dia langsung mengiyakan dan memutuskan membahasnya lebih panjang lagi dengan Andini di kelas. Di Balkon sekolah, Jo asyik melihat semuanya dari atas sambil memakan apel. Dia menggigit ujungnya dan menatap Diva yang asyik tertawa itu lalu melirik apelnya lagi. Seringai napsu terpampang di wajah innocentnya dan menggigit apelnya lagi. “Gue akan gigit lo seperti apel, perlahan – lahan, namun akan habis hingga tinggal ampasnya doang. Setelah itu,” Dia membuang apelnya yang sudah habis ke bak sampah. “Lo akan gue buang. Seperti cewek yang lain” Ucapnya sinis dengan ide yang menari – nari di atas kepalanya. --- Diva duduk di kursinya dengan Andrew yang asyik mengobrol dengan temannya. Dia asyik membolak – balik buku dan mencatatnya. Saking asyiknya, dia tak sadar guru pelajaran pertama masuk ke kelasnya diikuti seorang cewek manis, berambut panjang, berkulit kuning langsat dan tatapannya tak lepas dari Andrew saat masuk hingga berdiri di depan. Lalu beralih ke dirinya dan melempar senyum. Membuatnya terdiam. “Dia siapa?” Tanya Diva namun Andrew hanya terpaku. Sorot matanya terlihat tak percaya dengan apa yang dilihatnya di depan. “Lo mau tau siapa dia?” Tanya Andrew ketika gadis itu memperkenalkan dirinya. Diva bisa melihat tatapan mata Andrew mengikuti kemana arahnya berjalan dan duduk di kursinya yang berjarak dua langkah ke belakang darinya. “Dia Arny. Kan tuh cewek udah memperkenalkan dirinya tadi?” Jawabnya dan kaget ketika cewek itu, Arny menoleh ke belakang dan tersenyum ke Andrew lalu meliriknya sekilas dan berbalik ke depan. “Dia... cinta pertama gue, dan..” “Dan... apa?” Tanyanya lagi. Mendadak hatinya tak tenang. “Dia mantan pacar gue waktu kelas 1 SMA yang gue putusin waktu itu. Lo ingat kan?” Lanjutnya lagi dan Diva melongo ke arahnya. What?! Arny. Yah, dia ingat sekarang. Pacar dan cinta pertama Andrew yang terpaksa diputusinya karna cewek itu pindah keluar negeri dan Andrew tak sanggup long distance dengan jarak sejauh itu. Tapi... kenapa dia kembali lagi? Apa ada yang ketinggalan? Kalau ada, apa? Bagaimana kalau yang tertinggal disini itu adalah Andrew? Sahabatnya sendiri? Sanggupkah? Teaser Bestfriend? Hmmm... Part selanjutnya. *baru rencana. Gatau bikin apa gak.* “Gue merasa dilupakan!” Diva langsung melemparkan bom waktu kearah Tiara yang saat itu asyik menyusun beberapa cerita untuk mading mereka. Diva memutuskan mengungsi kerumah Tiara karna tak tahan dengan apa yang dirasakannya sekarang. Pagi tadi yang cerah, dia disuguhkan pemandangan Arny asyik mengobrol dengan Andrew di taman sekolah. Sangat mesra hingga hatinya entah kenapa merasa terbakar. Tatapan yang tak pernah ditunjukkan Andrew padanya itu sangat jelas terpancar saat dia berduaan dengan Arny. Seperti orang pacaran dan yang lainnya ngontrak. Termasuk dirinya. Tiara memutuskan menghentikan pekerjaannya dan melirik Diva yang duduk di ranjangnya dengan melipat tangan ke d**a. Dia tersenyum geli. “Lo cemburu liat Andrew dengan Arny? Wajar kalii.. kan mereka mantan pacar yang sengaja putus karna keadaan.” “Gue gak cemburu!” Diva berteriak dan meremas – remas boneka Tiara yang dipegangnya dengan gemas. Saking gemasnya, hampir saja dia ingin mengguntingnya dan menghamburkan isi boneka itu ke lantai. Mendadak, hatinya semakin sakit saja. “Apa wajar...” Dia terdiam. Matanya menatap Tiara yang fokus ke arahnya sekarang. Sorot mata sahabatnya sangat pengertian. Berbanding terbalik dengan tatapan matanya yang kata kakaknya akhir – akhir terlihat lelah. “Kalau pada akhirnya, gue suka dengan dia sedangkan dia merasa nyaman dengan persahabatan ini?” “Dan apa wajar gue cemburu karna Andrew suka sama lo? Bukan sama gue, sahabatnya sendiri?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN