masa lalu

1623 Kata
Diva terhenyak dan menelan ludah susah payah. Ditatapnya Arny yang tengah tersenyum manis ke arah teman sebangkunya itu. Diva ikut – ikutan memperhatikannya. Tatapan mereka berdua terlihat lain, yang satu penuh kerinduan, satunya lagi penuh keterkejutan dan ada sepercik perasaan rindu. Membuat Diva mendadak tak pantas ada di antara mereka. “Ndrew...” Panggilnya pelan dan cowok itu memutus tatapannya dengan Arny dan beralih padanya. “Gue duduk sama Tiara yah. Ada yang mau diobrolin bentar. Lagipula, kasian dia duduk sendiri kayak gak ada temannya itu.” Dia memberikan alasannya ketika Andrew menatapnya serius. Dan tanpa diduga, dia mengangguk. “Yaudah, lo duduk sana sama Tiara. Kasian gue kalau dia nangis ntar ga ada yang temanin.” Kalau biasanya dia akan tertawa terbahak – bahak mendengarnya, namun kini entah kenapa dia hanya tersenyum simpul dan membereskan mejanya secepat dia bisa dan langsung pindah ke depan dan mendaratkan pantatnya di samping Tiara yang puyeng melihat soal. “YAK! Ngapain lo disini?” Tiara kaget dengan kehadiran Diva yang seperti Jin baginya. Tak biasanya Andrew mengijinkan Diva duduk dengannya. Biasanya boro – boro mengijinkan, dia meminta agar Diva sebangku dengannya sebentar... saja, wajah Andrew langsung berubah menjadi mengerikan. Seolah – olah dia meminta hatinya untuk dibikin jeroan. “Memangnya gak boleh? Gue pengen sebangku sama lo.” Diva menjawab tanpa melihat Tiara yang masih menatapnya takjub. Dia fokus dengan apa yang dihadapinya sekarang. Tiara geleng – geleng dibuatnya. Dia melihat Andrew yang sekarang duduk sendiri. Entah kenapa, ada sesuatu antara mereka. Dan dia seperti orang bodoh karna tak mengetahuinya. “Lo gak berantem dengan Andrew, kan?” Gerakan mulutnya yang asyik komat – kamit menghitung hasil hitungannya yang lebih mirip baca jampi – jampi itu kontan melongo. Semua hitungannya buyar seketika seperti debu yang ditiup. “Gak. Gue Cuma pengen duduk bareng lo aja. Memangnya gak boleh yah? Yaudah, gue balik.” Diva pura – pura memasang wajah terluka dan berdiri dari duduknya, namun ditahan Tiara. “Ya amplop! Gue Cuma bercanda, Diva. Heran aja sih liat lo sebangku sama gue.” Diva tersenyum mendengarnya. Entah kenapa dia tak ingin memnjawabnya. “Hhahaha... udah ah, gue mau ngerjain lagi nih. Masih banyak.” Diva melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Membiarkan pikiran Tiara menari – nari. “Mereka kenapa?” --- “Kenapa, lo?” Suara Tiara membawa Diva kembali ke realita. Gadis itu sontak meringis dan menggeleng cepat. Diubahnya air mukanya agar menjadi tenang, sehingga Tiara tidak mengetahui bahwa sebenarnya di dalam dadanya sudah menggenang lahar yang siap dimuntahkan keluar dalam bentuk makian. “Nothing,” jawab Diva pelan. Gadis itu memaksakan seulas senyum kepada Tiara. Tiara sendiri hanya mengangkat bahu tak acuh, kemudian kembali memusatkan perhatiannya ke arah guru yang sedang menjelaskan pelajaran selanjutnya, Bahasa Inggris. Diva menghembuskan napas lega karena untuk kali ini, Tiara tidak memberikan pertanyaan apapun yang berpotensi membuatnya mati dalam posisi duduk saking bingung harus jawab apa. Mengingat saat ini dia tak ingin menjawab pertanyaan apapun baik diucapkan atau menggunakan telepati seperti yang dia lakukan dengan Andrew atau Tiara. Mengingat Andrew, entah kenapa dia menoleh pelan ke belakang dan membelalakkan matanya. “ Sejak kapan Arny bertukar tempat duduk dengan Roy?!” Diva bisa melihat Arny dan Andrew saling bercanda dalam intonasi suara yang pelan. Sesekali, mereka tertawa dan terlihat sangat akrab. Diva mendengus dan membuang muka. Katanya mantan, tapi kenapa hubungan keduanya begitu dekat? Seolah-olah masih tersisa perasaan cinta diantara keduanya! Apa… apa jangan-jangan, Andrew masih menyukai Arny? Dan Arny juga masih menyukai Andrew? Lalu, mereka berdua nantinya akan memutuskan untuk kembali berpacaran? Diva menggelengkan kepalanya kuat-kuat untuk mengusir pikiran menyakitkan itu. Nggak, mereka berdua nggak mungkin balikan. Andrew sendiri yang bilang kalau dia menyukai Tiara. Jadi, Andrew tidak mungkin akan mengajak Arny untuk kembali menjalin hubungan seperti di masa lalu! Tapi…. Sekali lagi, Diva melirik Andrew dan Arny. Diva terkesiap dan langsung mengalihkan pandangannya ketika mengetahui bahwa Andrew juga tengah menatapnya sambil menaikkan satu alisnya. Diva merutuki dirinya sendiri karena tertangkap basah sedang memperhatikan Andrew. “Bego! Bego! Bego! Lo kenapa bisa bego banget gitu, sih, Diva?!” Rutuknya dalam hati Diva langsung bangkit dari duduknya dan meminta izin untuk ke kamar mandi kepada wali kelasnya. Begitu dia akan membuka pintu kelas dan keluar, sekali lagi, Diva melirik ke arah Andrew. Laki-laki itu sedang asyik berebut pulpen dengan Arny. Diva terpana. Belum pernah dia melihat senyum Andrew seperti itu sebelumnya. Hati Diva serasa diiris dan diberi air jeruk nipis. Rasanya begitu perih. Dengan kesal, Diva membanting pintu kelasnya dan langsung keluar. Sama sekali tidak sadar bahwa tindakannya barusan telah membuat sang wali kelas juga teman-temannya menoleh kaget ke arah pintu, termasuk Andrew. Laki-laki itu mengerutkan kening dan memikirkan alasan Diva membanting pintu. Jo memperhatikan kejadian itu dengan senyum terukir di bibirnya. Laki-laki itu hanya terkekeh pelan dan melanjutkan kembali aktivitas mencatatnya. “Well, udah sangat jelas kalau ada yang salah dengan persahabatan kalian, Diva!” desis Jo. --- Andrew menoleh ke kanan dan ke kiri. Sudah dua puluh menit dia berdiri seperti patung penjaga di depan toilet cewek semenjak Diva izin ke kamar mandi, namun gadis itu belum juga kembali ke kelas. Andrew jadi sedikit cemas dan takut kalau sesuatu terjadi pada Diva. Bagaimana kalau gadis itu sedang tidak enak badan dan pingsan di kamar mandi? Dia menggeram kesal karena tidak ada satu orang murid perempuan yang ingin masuk ke dalam kamar mandi. Dia ingin meminta tolong untuk memastikan bahwa Diva baik-baik saja di dalam sana. Menunggu selama itu membuatnya frustasi berat hingga hampir pecah batok kepalanya. “Apa gue dobrak aja pintunya yah?” Andrew langsung melempar jauh – jauh pikiran paling gila yang pernah muncul di otaknya itu. Kalau ada yang melihat, apa yang harus dia katakan? Dia tak mungkin bilang gak liat tanda toilet cewek segede baliho itu, kan? Namun Diva tak keluar dari tadi membuatnya gila. Saking gilanya, dia menggaruk kepalanya dengan kasar dna menghentakkan kaki frustasi ke lantai. “Lama-lama gue dobrak juga deh, nih, pintu!” “Lo ngapain, Ndrew?” Andrew menoleh dan mendapati sosok Arny sedang berdiri di hadapannya. Gadis itu terlihat bingung dan mengerutkan keningnya karena Andrew berdiri layaknya satpam kurang kerjaan di depan pintu kamar mandi perempuan karna mondar – mandir seperti setrika rusak. Andrew menghela napas luar biasa lega ketika melihat pahlawannya muncul disaat di butuhkan. “Kebetulan lo datang, Ar.” Tanpa peduli dia sedang kebingungan, dia langsung menarik lengan Arny ke pinggir dan berbisik sangat pelan. “Gue bisa minta tolong?” Arny mengangguk ragu dan melirik ke arah lengannya yang masih dipegang oleh mantan pacarnya itu. Ada desiran halus dalam dadanya ketika Andrew memegang lengannya. Rasanya suhu tubuhnya mulai meningkat dan darah dalam tubuhnya terserap keluar. Jantungnya berdegup liar dan Arny harus berusaha sekuat tenaga agar tidak terlena dengan aroma tubuh Andrew yang memabukkan dengan memasang wajah sedatar mungkin. “Apaan?” “Begini...” Andrew mendadak salah tingkah harus mengatakan itu pada mantan pacarnya sendiri. “Si Diva, dari dua puluh menit yang lalu dia minta izin mau ke toilet, sampai sekarang belum keluar juga. Gue takut dia kenapa-napa di dalam sana.” “Diva?” Ulangnya. Berusaha meyakini diri sendiri kalau dia tak salah dengar. Andrew mengangguk. “Bisa tolongin, gue, kan?” Arny merasa ada perasaan tidak senang ketika mendengar nada cemas dalam suara Andrew. Raut wajah cowok itu juga menunjukkan kekhawatiran yang sarat akan keadaan Diva. Arny berusaha untuk tersenyum dan meredam rasa cemburu yang mulai terbit dalam dirinya. “Gue bisa kok. Bisa dilepasin gak?” Andrew membalas senyuman Arny dan melepaskan pegangannya pada lengan gadis itu. Arny melangkah perlahan ke dalam kamar mandi, meninggalkan Andrew yang menunggu di luar dengan perasaan yang semakin tidak enak. Beberapa detik seakan seperti setahun tanpa kabar yang pasti buat Andrew, ketika melihat Arny keluar. Andrew langsung mendekatinya dan menatap gadis itu tepat di manik mata. “Diva nggak ada di dalam, Ndrew…,” lapor Arny. Andrew langsung mengerutkan keningnya. “Lo yakin?” Arny mengangguk. “Gue udah coba liat ke semua bilik, tapi Diva nggak ada. Mungkin dia udah keluar dari kamar mandi.” “Tapi, dia nggak balik ke kelas.” Andrew mulai panik dan kebingungan sekarang. Dalam hati, dia sudah berjanji akan mengomeli Diva habis-habisan karena sudah membuatnya khawatir seperti ini. Diva itu memang pintar kalau dalam urusan membuat dirinya kelabakan. “Ndrew… Diva itu udah gede, udah dewasa. Kenapa lo sampai cemas dan panik kayak gitu, sih? Ini kan masih di lingkungan sekolah. Diva pasti baik-baik, aja.” Arny menyadari tingkah ganjil Andrew dan mengatakan apa yang ada di pikirannya tanpa ralat sama sekali. Andrew menghembuskan napas keras dan mendesah berat. “Diva itu sahabat gue, Ar. Gue nggak bisa nggak cemas dan nggak peduli sama dia. Dia itu penting banget buat gue.” Arny mengalihkan pandangannya dari wajah Andrew menjadi mempelototi bak sampah dan mendengus. Rasa cemburu itu hadir kembali dengan kuat. Mematikan seluruh akal sehatnya. Membakarnya dari dalam. Sejujurnya, dia masih mencintai cowok yang berdiri di depannya ini. Yang sedang mencemaskan keadaan sahabatnya ini daripada bertanya bagaimana hatinya sekarang. Jujur, Dia ingin Andrew kembali padanya dan balik ke Indonesia serta mencari keberadaan cowok itu karna dia tak sanggup meninggalkannya. Namun, entah kenapa, kehadiran Diva yang bertitle sahabat dekat itu menghalanginya. “Apa benar lo Cuma nganggap dia sebagai sahabat lo aja?” Andrew mengerutkan kening. Tak mengerti arah pembicaraan Arny yang sekarang menatapnya tajam. “Maksud lo apa ngomong kayak gitu?” “Cuma bingung aja. Tingkah lo itu bukan seperti seorang sahabat, tapi lebih seperti orang yang lagi takut kalau pacarnya kenapa-napa!” Andrew berniat untuk membalas ucapan Arny, namun niat itu diurungkannya. Saat ini yang paling penting adalah menemukan Diva. Andrew langsung meninggalkan Arny yang masih berdiri sambil memandang laki-laki yang mulai menjauh darinya itu dengan tatapan tajam dan mendecak kesal. “Awas lo, Diva!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN