perasaan aneh

1432 Kata
Andrew berusaha mengatur napasnya dan debaran jantungnya yang meliar. Mimpi itu benar-benar terasa seperti nyata. Dirinya menikah dengan Diva? Diva Lucynda Evelyn, gadis tengil yang notabene adalah sahabatnya sendiri? Ha! Mustahil sekali pemirsa! Bagaimana bisa seorang sahabat menjadseorang pasangan? Benar-benar tidak mungkin, bukan? Andrew meremas rambutnya dan mengerang pelan. Laki-laki itu turun dari kasurnya dan berjalan menuju dapur. Dibukanya kulkas dan diambilnya sebotol air dingin yang langsung ditenggaknya tanpa jeda. Andrew kemudian melempar botol tersebut dan menarik napas panjang. “Kenapa gue bisa mimpi nikah sama si Diva, ya?” Andrew menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sekali lagi, laki-laki itu menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan keras. Jantungnya mulai berdebar tidak karuan lagi. Dadanya bergemuruh hebat. Seperti ada palu yang mengentak-entak dadanya. Rasanya sangat sesak. Tapi jenis sesak yang membuatnya ingin selalu tersenyum. “Holy s**t!” umpat Andrew pelan. “Gue nggak mungkin suka sama sahabat gue sendiri, kan?” Pertanyaan itu menggantung di udara dan di benaknya. Tanpa sadar seulas senyum tercetak di bibirnya. Tatapannya menerawang. Andrew kemudian menarik kursi di dapur dan duduk dengan bertopang dagu. Cowok itu kembali menghela napas panjang. “Hhhh… aneh emang mimpinya, tapi… kalau dipikir-pikir, Diva lumayan menarik juga. Minus kelakuan tomboynya itu. Coba aja kalau dia sedikit lembut dan feminin, Diva pasti keliatan manis dan cantik….” Andrew yang baru tersadar dengan ucapannya barusan langsung meringis dan menjitak kepalanya sendiri. “Begoooo! Andrew Janson Maynard, elo bener-bener lagi nggak waras! Otak lo lagi konslet ya sampai bisa-bisanya lo bilang kalau Diva itu cantik?! Inget, Ndrew, inget, Diva itu sahabat lo. Dari dulu sampai sekarang dan untuk selamanya….” Andrew terengah-engah dan menghembuskan napas panjang. “Lama-lama gue sinting beneran nih!” --- Diva mengusap peluh di pelipisnya. Baru saja dia bermimpi aneh. Dia bermimpi sudah menikah dengan seorang laki-laki yang tidak dia kenali wajahnya. Diva memejamkan kedua matanya dan berusaha mengingat-ingat kembali mimpinya. Nihil. Gadis itu tetap saja tidak bisa mengingat siapa laki-laki yang telah mengucapkan ijab Kabul disebelahnya itu. Diva mendesah berat dan melirik jam berbentuk Tweety yang tergantung di dinding kamarnya. Sudah lewat tengah malam. Sudah pukul setengah dua pagi. Masih terlalu pagi untuk menelepon seseorang. Tapi, Diva merasa dia harus menelepon orang tersebut. Hanya dia yang bisa menenangkan dan menjernihkan pikiran Diva saat ini. Diva mengangguk yakin dan mengambil ponselnya yang diletakkan di bawah bantalnya. Gadis itu kemudian menekan angka satu dan langsung terhubung dengan nomor Andrew. “Halo?” sapa Diva ragu ketika nada sambung di ponselnya telah berganti dengan sebuah suara bernada berat dan serak. Diva jadi merasa bersalah dan tidak enak hati karena dia yakin tidur Andrew sudah terganggu oleh teleponnya. “Kenapa, Diva?” tanya Andrew pelan. Tanpa Diva sadari, Andrew tengah tersenyum di ujung sana. Andrew sendiri tidak tahu kenapa dia bisa tersenyum hanya karena mendengar suara gadis itu. Padahal selama ini, sudah tidak terhitung lagi dia mendengar suara cempreng khas sahabatnya itu dan baru kali ini Andrew tersenyum ketika mendengarnya. “Ganggu, nggak?” tanya Diva takut-takut. Andrew menggeleng pelan. Sadar bahwa sahabatnya itu tidak bisa melihat tindakannya, Andrew berkata, “Santai aja, Diva, kayak yang baru kenal sama gue, aja….” Diva tersenyum kecil dan menghela napas. “Ndrew… gue… gue abis mimpi….” Andrew mengerutkan keningnya dan mengambil buah apel yang berada di atas meja di depannya. Laki-laki itu kemudian menggigit buah apel tersebut dan kembali memusatkan perhatiannya pada Diva. “Mimpi apa?” Diva menggeleng. Kemudian gadis itu bersuara ketika tahu gelengan kepalanya tidak bisa dilihat oleh Andrew. “Nggak tau...,” jawabnya ragu. “Dih….” Andrew kembali mengunyah buah apel nan ranum di tangannya. “Kok lo bisa aneh banget gitu, sih, Diva? Masa mimpi sendiri aja nggak tau?” Diva yang mendengar suara kunyahan Andrew kontan mengerutkan keningnya. “Lo lagi makan, ya, Ndrew?” “Ho-oh… lagi makan apel, gue. Sumpah, lagi pada demonstrasi ini cacing-cacing dalam perut gue, Diva.” Diva mencibir dan memutar kedua bola matanya. Takjub akan kelakuan Andrew yang selalu makan di tengah malam seperti ini namun tidak pernah mengubah bentuk tubuhnya yang tegap dan atletis itu. “Gue mimpi nikah, Ndrew….” Andrew yang mendengar itu langsung terbatuk-batuk dan menyemburkan apel yang sedang dikunyahnya. Laki-laki itu buru-buru mengambil air dalam kulkas dan langsung meneguknya dengan cepat. Diva yang menyadari bahwa Andrew tersedak langsung panik. “Halo? Halo?! Ndrew? Heh, monyet yang suka nongol di cibubur, lo baik-baik aja, kan?” tanya Diva. Mendengar rentetan pertanyaan Diva membuat Andrew mendengus kesal dan menarik napas panjang setelah yakin bahwa tidak ada potongan apel yang tersangkut di tenggorokannya. “Gue ganteng kayak gini lo bilang monyet? Wah, Diva, untung lo sahabat gue, kalau nggak, gue pites, lo!” gerutu Andrew. Di seberang sana, Diva tertawa geli. “Bercanda, Ndrew….” “Balik lagi ke topik awal….” Andrew mengambil jeda beberapa saat sebelum melanjutkan. “Lo beneran mimpi nikah, Diva? Sama siapa?” “Itu dia, Ndrew….” “Itu dia? Dia siapa, maksud lo?” Diva mendengus dan mencoba meredam kekesalan yang mendadak terbit akibat kelolaan Andrew yang tak hilang – hilang juga. “Maksud gue, itu dia, gue nggak tau gue nikah sama siapa, Ndrew!” Andrew menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Rasanya ada yang janggal disini. Kemarin juga sewaktu Andrew pertama kali mendapatkan mimpi bahwa dia tengah menikah dengan seorang gadis, Andrew tidak mengenali siapa gadis itu. Tapi nyatanya malam ini, sesuatu yang tidak diduganya muncul. Laki-laki itu kini tahu siapa yang tengah dinikahinya dalam mimpinya kemarin malam. Gadis itu… Diva. Mengingat mimpinya, dia mendadak seperti menelan biji apel dan tersangkut di tenggorokan. “Mmm, Diva… lo percaya nggak kalau… kalau….” Andrew tidak menyelesaikan kalimatnya. Apa yang akan dikatakan Diva kalau gadis itu tahu bahwa Andrew pernah memimpikannya menikah dengan gadis itu? “Kalau apa, Ndrew?” Andrew tergeragap bingung hendak bicara apa dan langsung menggeleng tegas. “Eh, nggak apa-apa kok, Diva.” Andrew melirik jam yang menggantung di dinding ruangan tersebut. Sudah pukul dua lewat. Sudah lewat tengah malam. Tiba – tiba ide konyol melintas di otaknya seperti komet. “Diva, mau ketemuan, nggak?” Diva terbelalak dan langsung menoleh ke arah jam Tweety miliknya. “Ketemuan gundulmu! Lo nggak liat sekarang jam dua lewat, Ndrew? Kita harus sekolah nanti pagi, tau!” seru Diva tertahan. Gadis itu menajamkan kedua telinganya untuk mengetahui apakah seruannya beberapa saat lalu telah menimbulkan keributan. Diva mendesah lega ketika mendapati bahwa keadaan tenang, aman dan damai sentosa. “Yah, Diva… sebentar aja… ayolah, masa lo tega sih sama gue?” Andrew merajuk dengan nada manja. “Please?” Diva menggigit bibir bawahnya. Rasanya ada yang aneh dengan jantungnya. Entah mengapa Diva merasa jantungnya berdebar melebihi batas normal yang seharusnya. Rasanya aliran darahnya terserap keluar. Rasanya dia ingin melompat dan bertemu dengan Andrew secepatnya. Astaga! Apakah hal ini wajar? Demi Tuhan, dia dan Andrew adalah sahabat. Tidak mungkin dia menyukai Andrew. Itu sangat tidak mungkin! Sahabat tidak akan pernah menjadi sepasang kekasih. Demi Tuhan, Diva, buang pikiran itu jauh-jauh! Ucapnya dalam hati sambil menepuk – nepuk pipinya pelan. “Halo? Diva? Belum mati, kan?” Andrew bertanya lagi ketika tak ada tanda – tanda kehidupan di seberang sana. Diva mencibir. “Sialan lo!” umpat Diva ketus dan membuat Andrew tertawa. “Gimana? Sebentar aja. Soalnya nggak tau kenapa tiba-tiba gue kangen banget sama lo, nih!” DEG! Barusan Andrew bilang apa? Kangen? KANGEN?! “Ndrew?” “Hmm?” “Lo nggak lagi kesambet setan yang suka mangkal di pohon mangga depan rumah lo, kan? Mengingat ini sudah jam dua pagi dan menurut buku yang gue baca kegiatan supranatural itu selalu terjadi antara pukul dua hingga tiga dini hari. Gue yakin seratus persen kalau lo lagi kerasukan sekarang….” Andrew terbahak mendengar ucapan Diva itu. “Sejak kapan lo baca buku, Diva? Jangankan buku supranatural, komik aja lo malas baca!” Ejeknya dan Diva merengut. Mengetahui sahabatnya merajuk, dia tertawa dan melanjutkan, “Tenang, Diva… gue rajin sholat, ngaji, puasa, dan zakat. Tinggal naik haji aja yang belum gue lakuin karena uang gue belum cukup untuk pergi ke sana. Gue sehat, kok, Diva… mental dan fisik. Jangankan setan, kucing aja liat gue terpesona kok!” Dih, ngelantur banget nih bocah. Apa coba hubungannya setan sama kucing yang terpesona sama dia? Diva menghembuskan napas panjang dan tersenyum lebar. Rasanya sangat menyenangkan mendengar suara Andrew, entah kenapa. “Oke. Cuma sebentar aja ya ketemuannya?” Diva memberi syarat pada Andrew. “Mau ketemuan dimana?” “Biar gue yang ke rumah lo. Terus kita nongkrong di atas genteng rumah lo, seperti biasa.” Ucapnya dan entah Diva ketularan sinting atau gimana, setuju dengan ucapannya. ---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN