haruskah seperti ini?

1884 Kata
Andrew membanting ponselnya dengan keras ke atas kasurnya. Laki-laki itu meremas rambutnya dengan frustasi lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Andrew memandang langit-langit kamarnya dengan tatapan menerawang. Diva benar-benar aneh beberapa hari terakhir ini. Apa sebenarnya yang sedang mengganggu pikiran gadis itu? “SIAL!” Andrew melempar bantal ke arah pintu kamarnya hingga berdebum keras. Dadanya bergemuruh hebat. Emosinya mulai naik ke permukaan. Dia sangat ingin Diva berkeluh kesah padanya. Semuanya. Tentang apapun yang sedang gadis itu rasakan. Apapun yang sedang gadis itu pikirkan. Bukan seperti ini. Keterdiaman Diva membuatnya frustasi tanpa sadar. “b******k! b******k! b******k!” Andrew memejamkan kedua matanya dan memijit kedua alisnya yang mulai nyut – nyutan. Dia melepas kacamatanya sambil mengelus d**a, Berusaha meredam gemuruh hebat yang siap dia tumpahkan. Dia memang baru menyadari perasaan itu. Dia menyukai Diva. Tapi, dia tidak ingin perasaannya ini justru membuat persahabatannya dengan Diva hancur. “Apa yang harus gue lakuin? Bilang gue suka sama dia?“ Bagaimana kalau dia gak merasakan apa yang gue rasakan?” Bagaimana kalau dia enak dengan hubungan ini dan ...” “Dia akan meninggalkan gue?” Entah kenapa, pertanyaan terakhir itu membuatnya terdiam. Tidak, tidak, dia takkan pernah sanggup ditinggalkan Diva. Kehilangan sebagian jati diri Diva saja membuatnya gila, “Apa jadinya kalau gue benar – benar kehilangan dia?” Dia menghela napas keras. Otaknya buntu. “Lo harus ngomong, Ndrew kalau lo suka sama dia. Jangan saling pendam begini. Pendam perasaan itu gak enak, Ndrew. Bikin sakit jiwa.” Nasihat Tiara beberapa hari yang lalu saat dia bilang pernah suka dengannya sebelum mengaku bahwa akhirnya, dia menyukai Diva, terngiang – ngiang di kepalanya. Seolah membisikinya. Memberinya dorongan batin. “Gue harus ngomong sama Diva! Harus!” Andrew bangkit dari tidurnya. Dia menyambar jaket jeans yang tergantung dibelakang pintu kamarnya, mengambil kunci motornya dan bergegas keluar kamar untuk pergi pergi ke rumah Tiara. Dia tak peduli kalau Diva sedang tidur, sedang tengkurap di lantai, atau sedang menghitung ribuan bintang di atas langit. Dia tak tahan lagi. Kebisuan Diva membuatnya gila. Dan dia harus menyelesaikannya. Kalau perlu ... Dia akan bilang, kalau dia menyukainya. Entah sejak kapan. ** Diva merapatkan jaket yang dikenakannya. Tubuhnya mulai menggigil. Ini sudah pukul sembilan malam dan Diva pamit kepada Tiara untuk berjalan-jalan sebentar keluar, sekedar mencari oksigen. Dia butuh udara malam yang segar untuk menghilangkan sesak dihatinya. Tadinya, Tiara ingin menemani, namun Diva menolak dengan halus. Diva butuh waktu untuk sendiri dan menenangkan pikirannya yang carut marut. Diva mendesah berat dan berhenti di pinggir jalan yang sepi dan hanya ada rumah kecil yang terlihat tak berpenghuni dengan lampu sangat minim. Dia berdiri Tepatnya di samping jembatan dimana ada sungai yang mengalir dibawahnya. Diva menatap aliran sungai ya itu dengan tatapan kosong. Sekosong hatinya saat ini. Udara malam ini begitu dingin hingga menusuk tulangnya. Sedingin hatinya saat ini. “Ndrew...,” lirih gadis itu sambil mengusap airmata yang mulai mengalir di pipinya dengan punggung tangannya. “Apa yang harus gue lakukan? Gue nggak sanggup....” “Gimana kalau lo temanin gue? Gue akan menghilangkan semua kesedihan lo, beban pikiran lo, semuanya. Gue juga akan menghangatkan elo. Kita akan bersenang-senang. Gimana?” Diva langsung memutar tubuhnya ketika mendengar suara berat bernada rendah itu. Dia menoleh dan wajahnya seketika pucat pias, seolah aliran darah berhenti di suatu titik dan tak mau mengalir ke wajahnya ketika dia tau siapa yang mengatakan dengan kurang ajar itu padanya. Jo, menatapnya dari atas hingga bawah dengan pandangan nafsu. Seperti prredator yang menatap mangsanya dengan kelaparan. Matanya menikmati sorot ketakutan Diva yang terpampang jelas di depannya. Bibirnya gemetar ketakutan. Entah kenapa, membuat nafsunya langsung dalam posisi ON. Siap untuk menyerangnya. “Ap... pa yang lo lakuin disini?!” Ucapnya dengan nada berusaha dingin, menghilangkan ketakutan ketika Jo mendekatinya perlahan. Senyum sinis terpampang diwajahnya. “Menikmati keberuntungan gue ketemu lo, Diva.” Dia tersenyum dan kini berdiri tepat di depan Diva yang pucat pasi. Dia tak bisa mundur karna belakangnya adalah sungai yang berarus keras, dan kalau dia meloncat, kemungkinan ada dua, dia terbawa arus tanpa ujung, atau mati karna terbentur batu sungai, dan dia tak bisa lari ke kiri atau ke kanan karna aura Jo mengintimidasinya. “just enjoyed, Diva.” Tiba – tiba, sebuah pukulan telak mengenai tengkuknya. Membuat seluruh syaraf – syarafnya berhenti seketika. Dia merasakan pandangannya memudar, dan dia merasa tangan Jo memegang tubuhnya, terakhir dilihatnya ... Jo tersenyum puas. “Andrew...” Panggilnya pelan sebelum akhirnya menutup mata. Dia pingsan. ** “Diva...” Entah kenapa, hatinya daritadi selalu memanggil namanya dan mengirimkan sinyal pertanda buruk untuknya. Dia tak tau apa yang terjadi sampai akhirnya dia menghentikan kendaraan di persimpangan jalan. Dia melihat kendaraan terparkir di pinggir jalan, dekat sungai. Entah kenapa, dia turun dari motornya dan berjalan menghampiri motor Ninja Hitam itu. Dia melihat plat motornya dan terdiam. Dia tau siapa pemilik motor ini. Suara jeritan terdengar nyaring dan tak jauh darinya membuatnya menoleh dan dia melihat rumah kosong itu. Setaunya, rumah kosong itu lampunya tak pernah seterang ini. Lampunya selalu redup. Kesadaran menghentaknya hingga membuatnya menggigil menahan emosi. Dia tau suara jeritan itu. Suara itu... “Gue bunuh lo, JO!” ** Diva menjerit ketakutan ketika dia terbangun, dia melihat tangannya terikat di tiang ranjang usang dengan tali rafia yang disimpul mati, dia berusaha menggerakkannya, tapi bukannya lepas, malah menyakiti pergelangan tangannya. Dan di ujung sana, dia melihat Jo, tersenyum penuh kepuasan batin melihatnya menderita. “Sudah bangun, sayang? Akhirnya...” Dia mendekati Diva yang menatapnya ketakutan, duduk di sampingnya, dan mengelus pipinya lembut. Tatapan matanya membahayakan Diva. “Ma...mau ngapain lo?” Diva semakin ketakutan ketika Jo menindihi tubuhnya, menarik kasar reselting jaket hitamnya hingga baju kemeja yang bekerah rendah terpampang jelas. Dia melihat Jo menelan ludah susah payah melihat keadaannya sekarang. “Sssh...” Jo menempelkan telunjuknya di bibirnya yang bergetar dan tersenyum manis. Namun membawa maut baginya, “Sayang, bisa diem sebentar? Pesta kita berdua akan segera dimulai, jangan agresif gitu, nanti gue tambah nafsu sama lo,” ucap Jo masih dengan seringai setannya. Jeritannya semakin menggila ketka Jo membuka kancing atas kemejanya. “Jo...lo...lo mau ngapain? Janga.. Jangan!” teriak Diva panik. Alarm di kepalanya memberikanya petunjuk bahwa laki – laki itu akan berbuat jahat padanya. Diva semakin berusaha menggerakkan tangannya yang terikat di atas kepalanya. Namun, bukannya longgar, yang ada malah menyakiti lengannya. Keadaan itu membuat Jo langsung menahan kedua tangan Diva. Mengurung tubuh mungil Diva. Tangan kiri laki –laki itu menahan kedua lengan Diva di atas kepala gadis itu, sementara tangan kananya mulai bergerilya di tubuh Diva. Menyentuh semua jengkal tubuh yang dia inginkan sejak pertama kali melihat gadis itu “Jo, gue mohon, Jo...jangan apa –apain gue,” pinta gadis itu terisak, dia sudah merasa putus asa. Hanya memohon pada laki –laki itu adalah jalan satu – satunya. Jo tersenyum lebar mendengar ucapan yang keluar dari bibir mungil Diva. Permohonannya bagai lagu indah di telinga Jo yang sudah terhanyut nafsu. Dia menghentikannya dan memegang dagu Diva, dan mendekatkan wajahnya hingga mereka saling bersentuhan ujung hidung. “Lo tau, Diva? Dari pertama liat lo, gue penasaran banget pengen ngerasain bibir tipis lo ini,” bisik Jo tepat di depan bibirnya yang membuatnya terbelalak. Apalagi wajah laki – laki itu semakin mendekat, membuang jarak keduanya. Ketakutan Diva semakin bertambah hingga membuat tubuhnya lemas. Bahkan untuk menjeritpun dia sudah tidak sanggup. Air mata Diva masih terus mengalir, meratapi nasibnya yang sebentar lagi akan hancur gara – gara b******n ini. Diva menggeleng lemah, berusaha kembali memohon pada Jo. “Jo... jang...” Jeritnya terhenti ketika mulut Jo menutup kata – katanya, memainkannya dengan kasar. Membuatnya tak bisa bernapas. Membuat pertahannya hancur seketika. Lebih hancur dari dibayangkannya. Ciuman pertamanya, ciuman yang seharusnya diberikan kepada cowok yang dicintainya, yang dijaganya selama 18 tahun, hilang dalam satu malam oleh cowok b******n yang sekarang puas dengan ketidak berdayaannya. “Hmm.. i like your smell.” Jo menghentikan ciuman di bibirnya yang tipis kemerahan itu dan tanpa peringatan, mencium lehernya, menggigit tengkuknya hingga dia menjerit. Meminta agar Jo melepasnya. “Joo.. jangaann... jangann...” Ucapnya histeris dan penuh ketakutan ketika Jo masih berada di lehernya, sedangkan tangan kirinya membuka kancing kemejanya satu – persatu, “Oh tidak.. tidak...” “Gue suka dengar teriakan lo, Diva. Sexy voice.” Sambil berkata begitu, dia menggigit leher Diva hingga membekas kemerahan. Gigitannya membuatnya menjerit kesakitan. Diva menutup matanya ketika Jo semakin “bermain” di tubuhnya, habis tenaganya untuk berontak, ketakutan menutupi akal sehatnya, trauma yang seharusnya dia lupakan tentang percobaan perkosaannya dengan tetangganya itu, menyerang mentalnya. BRAK! Seseorang menarik tubuh Jo hingga terpental jatuh ke lantai dengan kasar. Suara teriakan penuh kemarahan, kata – kata kasar berloncatan dari mulutnya, dan tendangan bertubi – tubi hingga barang – barang jatuh, membuatnya berani membuka mata, dan kaget dengan siapa yang dilihatnya. “Andrew?” Ucapnya pelan sebelum dia pingsan karna mentalnya tertekan segitu beratnya. *** Percobaan perkosaan itu membuat Diva trauma. Dia sudah 2 hari tak turun sekolah. Kedua orang tuanya tak tau karna saat Andrew mengantarnya pulang, mereka sedang keluar kota dan hanya Rere, kakaknya yang menghadapinya, mengantarnya masuk kamar tidur, dan tidur disampingnya sambil memeluknya setiap dia mimpi buruk. Mimpi akan perlakuan Jo. Pintu kamarnya terbuka, namun Diva tak menyadarinya. Matanya fokus menatap dinding kamar. Semenjak kejadian itu, Diva seolah mayat hidup. Raganya hadir, tapi rohnya entah pergi kemana. Dia menjadi rapuh, tak bisa tersentuh. Andrew menatap sahabatnya yang hanya duduk di ujung ranjang dengan bersandar di tembok dan memeluk kedua lututnya dengan perasan terluka. Seandainya dia terlambat menyadarinya, seandainya dia tak datang hari itu, seandainya... Mungkin, Diva akan... “Diva, liat, gue bawa makanan kesukaan lo.” Andrew berjalan menghampirinya dan duduk disampingnya yang hanya menatap kosong tembok, entah tak menyadari kehadirannya, atau, dia memang tak tau kalau Andrew duduk disampingnya. Dengan pelan, Andrew menyentuh lengan Diva dengan lembut. Ingin menarik lembut sahabatnya yang terlalu berdiam diri di kubang kegelapan hingga tak menyadari kehadirannya, “Diva, ini gue...” “Tidaaakkkk!!! Menjauh dari gue! Menjauh!” Diva berteriak ketakutan ketika Andrew menyentuhnya. Matanya nyalang ketakutan, sorot matanya yang kosong itu berubah menjadi penuh ketakutan. Semakin dia mendekat, semakin Diva beringsut menjauh, menghindarinya sambil berteriak ketakutan dan kini berjongkok di lantai sambil memeluk tubuhnya. Air mata membasahi pipinya. Melihatnya, membuat Andrew sakit dan merasa tertusuk. Diva tidak mengenalinya. Andrew beringsut dari ranjang, berjalan mendekati Diva yang berteriak menyuruhnya mundur, untuk tak mendekatinya, dia duduk di depan Diva dan memeluknya erat, walau gadis itu berteriak kesakitan seolah pelukannya menyakitinya, walau gadis itu berontak dengan memukul dadanya agar bisa terlepas. Dia tak peduli. Setetes air mata membasahi pipinya ketika Diva menangis lemah dipelukannya. Dia tak pernah menangis seumur hidupnya. Bahkan saat diputusi Arny pun dia masih bisa tertawa terbahak – bahak. Tapi, melihat Diva, sahabatnya, cewek yang disukainya, tak mengenalinya, menganggapnya sama seperti cowok b******n itu, membuatnya sakit. “it’s me, Diva! It’s me, andrew! Listen to me! I promise that i’ll kill that bloody jerk! I’ll kill him into the pieces! I’ll send him to the deepest hell!” Dia berkata dengan nada dendam. Nada yang menjanjikan kegelapan bagi siapa saja yang mencari gara – gara dengannya, “ Cause i love you... I love you with all my heart! And i won’t let anybody hurt you!” Ucapan terakhir itu membuat Diva terdiam. Tak menyangka. Dan menatap Andrew dengan tatapan kosong. “What?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN