simfoni Hitam

2709 Kata
Melihat Diva yang menangis sampai seperti ini, membuat Andrew merasa kesal pada dirinya sendiri. Kesal, karena tidak bisa membantu gadis itu untuk menghadapi masalah yang sedang dihadapinya. Kesal karna dia merasa tak berguna dan hanya bisa melihat sahabatnya terisak tanpa tau masalahnya. Selama mengenal Diva, baru kali ini, dia melihat Diva menangis hingga nyaris membuat matanya tidak terlihat. Membuat wajahnya dan hidung peseknya memerah. Bahkan, mendengar isakan tangisnya sanggup membuat Andrew tak bisa menahan rasa sakit dan sesak yang tiba-tiba saja muncul dihatinya. Seolah menandakan, bahwa Diva sedang mempunyai masalah yang sangat berat dan tidak ingin berbagi dengannya. Andrew tidak membiarkan Diva pulang sendiri. Meskipun gadis itu menolak ketika dia mengutarakan niat untuk mengantarkannya pulang. Namun, bukan Andrew namanya kalau tak bisa membuat sahabatnya mengangguk lemah dan mengikutinya di belakang dan menyodorkan kunci kendarannya, membiarkannya bercakap – cakap dengan satpam sekolah sebentar dan meninggalkan motornya, dan berjanji akan mengambilnya sore nanti sebelum satpam itu akan menggadaikan sahabatnya. “Ayo, naik....” Andrew mengulurkan sebelah tangannya pada Diva yang disambut dengan tatapan ragu. Dengan berat hati dia menaiki jok belakang motor gede Andrew dan berdeham pelan. Kemudian memegang erat besi di belakang motor Andrew dan menatap ke arah lain. Tak mau menatap punggung kokoh sahabatnya yang semakin menghancurkan hatinya tanpa ampun. Andrew merasa tak ada pelukan di pinggangnya setiap mesin motor dia nyalakan. Dia melirik ke arah spion motor dan melihat wajah sendu Diva menatap bak sampah di depan parkir. Membuatnya tanpa sadar mendengus pelan dan mematikan mesin motornya. Diva mengerutkan kening ketika Andrew malah mematikan mesin motornya. Laki-laki itu menaikan kaca helm-nya dan menoleh ke belakang. Membuatnya spontan menatap mata tajam sahabatnya yang terasa menusuknya itu. Dan menundukkan wajahnya. “Diva... boleh gue tau alasan sebenarnya lo ngehindarin gue? Apa gue ada salah?” tanya Andrew sedikit putus asa. Sebenarnya sudah puluhan kali dia menanyakan hal ini, namun jawabannya selalu sama, Diva menjawab dia tak ada salah, dia bilang masalahnya terlalu berat untuk diceritakan padanya. Namun, penolakan Diva secara halus dengan setiap tingkahnya membuatnya frustasi. Dia tau Diva seperti dia mengetahui dirinya sendiri. “Ndrew...” Dia menjawab lemah. Lelah mengulang jawaban itu seperti kaset rusak. Lelah merasakan hatinya berdenyut sakit setiap kalimat itu terluncur dari bibirnya. “gue, kan, udah bilang sama lo tadi... lo nggak punya salah apa-apa,” Jawabnya tanpa menatapnya. Tak mau menatap wajah Andrew yang menatapnya serius. Tak mau tatapan mata tajamnya itu akan memecahkan kantong air matanya terakhir dan membuatnya menangis disini. Andrew menghembuskan napas keras ketika mendengar jawaban yang kini dihapalnya itu. Dia memejamkan kedua matanya sejenak. Lalu kembali membuka kedua matanya. Matanya masih menatap Diva yang kini bermain dengan jemarinya. “Terus, kalau gue gak ada salah apa – apa sama lo, kenapa kenapa lo nggak mau pegangan ke gue?” Pertanyaan bernada polos dan frustasi itu menghentikan gerakan tangannya. Dia menatap Andrew yang masih menatapnya “Apa?” Andrew menghela napas. Sahabatnya mendadak lebih bolot dari yang diperkirakannya. “Pegangan, Diva... seperti yang biasa lo lakuin kalau gue bonceng elo. Gue Cuma nggak mau lo jatuh dari motor dan berujung masuk rumah sakit dengan salah satu anggota tubuh ada yang patah.” Diva berpikir sejenak. Di dalam dirinya. Dia seperti berperang dengan batinnya sendiri. Batinnya menginginkan tangannya memeluk pinggang yang kokoh itu dengan kuat dan menyandarkan wajahnya di punggung sahabatnya itu, menghirup wangi tubuhnya, dan mendengarkan tawanya setiap dia melempar lelucon dan merasakan getarannya di punggung. Tapi, jauh dalam hatinya, dia menolak berat keinginan batinnya dan menyuruhnya untuk turun dari motor sekarang juga, mengambil motor yang dia tinggalkan di parkiran, dan pergi kemana saja dan meneriakkan apa yang dirasakannya. Kemudian kembali seperti biasa esok harinya dan tersenyum riang. Bukan duduk disini, diintimidasi dengan tatapan sahabatnya. Entah apa yang dilakukannya, tanpa sadar kedua tangannya kini memeluk pinggang Andrew seperti sering dia lakukan, dan menyandarkan wajahnya di punggung cowok itu. Menghirup dalam – dalam aroma tubuh Andrew yang sangat disukainya dan menyimpannya dalam lemari kenangan agar setiap dia rindu, dia bisa mengeluarkannya dan memeluknya. Gerakan spontan Diva entah kenapa membuatnya tersenyum dan berbalik ke depan, tangan kiri memegang erat kedua tangan Diva yang memeluk pinggangnya, takut kalau sahabatnya akan menarik tangan lembutnya itu di tengah jalan. Dan tangan kanannya menyalakan mesin motornya Gerakan samar di tangannya membuat Andrew tersadar. Dia mendengar bisikan lirih Diva di punggungnya. “Ndrew... pulang. Gue mau pulang.” Ucapnya dan entah dorongan hati atau batinnya, dia semakin mendekatkan tubuhnya ke punggung Andrew. Seolah mencari sandaran. “Pegangan, Diva.” Ucapnya dan dia menutup kaca helm-nya, dan menjalankan motornya kembali untuk membelah keramaian jalan raya dengan Diva yang masih memeluk pinggangnya. --- Arny melihat semuanya dengan mata terbelalak. Langkah ringannya menuju parkiran motor mendadak berat ketika dia melihat semuanya. Melihat Andrew, cowok yang dicintainya hingga membuatnya rela pulang ke Indonesia itu, kini membiarkan cewek lain memeluknya erat. Dan senyumnya saat cewek itu melakukannya. Seperti menyukainya. Seperti menginginkannya. Kenyataan itu membuatnya tertohok. Dia terdiam di antara pilar – pilar gedung. Menyembunyikan tubuhnya agar tak terlihat. Menyembunyikan serpihan ketika dia merasa ada yang pecah terbanting tanpa ampun di dalam dirinya. Yah, hatinya pecah. Keyakinannya hancur. Andrew tak pernah membiarkan siapapun memeluk dirinya seintens itu. Termasuk dirinya. “Oh Tuhan...” Dia mendadak limbung jatuh ke tanah. Dia lemas, lututnya serasa mencair. Keakraban itu, bukan keakraban sepasang sahabat. Dia bukan cewek bodoh yang bisa menerima alasan Andrew telak kalau semua bukti mengatakan hal yang lain. Dia tau arti tatapannya, dia tau arti setiap sentuhan yang diberikan Andrew pada Diva, tapi dia tak bisa menerimanya. Dia takut jawaban batinnya itu benar. Dan kalau itu benar ... “Apakah aku terlambat untuk meminta semua kenangan indah itu, kembali seperti dulu? Menjadi milikku lagi? Kalau itu benar ... bagaimana caranya agar hatimu yang bercokol kuat dalam hatiku ini, terlepas tanpa harus meninggalkan lubang menganga dan tak bisa kusembuhkan?” “Perasaan ini, apa namanya Ku takut, untuk menyebut apa namanya Bukan karena, ku takut salah. Tetapi, ku takut benar apa yang kurasa.” ** Andrew menghentikan motornya dan mematikan mesinnya ketika pagar rumah Diva berada di sampingnya. Dia merasakan pelukan di pinggangnya itu mengendur. Entah kenapa seperti ada yang terlepas paksa dari hatinya, dan itu membuatnya kehilangan. Dan dia bisa merasakan Diva kini memegang kedua bahunya sebagai pegangan dia untuk turun. Dan kini, cewek itu berdiri di sampingnya. Menatapnya dengan mata bengkak dan memerah seperti baru saja menangis sepanjang perjalanan. Keadaan ini seolah menamparnya keras. “Oh Diva, lo kenapa? Apa masalah lo? Kenapa lo gak kasih tau gue? Jangan bikin gue gila, Diva! “Makasih.” Ucapnya pelan dan kemudian diam membisu. Ini bukan Diva. Diva yang dikenalnya akan bercerocos panjang lebar setelah turun dari motornya. Membuatnya berkali – kali harus mengingatkan untuk balik badan dan berjalan ke arah pintu rumahnya sebelum mereka akan berdiri disini semalaman. Diva mendengar petir dan terlonjak kaget lalu mendongkakkan wajahnya. Dia melihat awan hitam menggantung di langit, angin dingin berhembus entah kenapa membuatnya sedikit kedinginan. Dan dia menatap Andrew yang rupanya juga menatapnya. Mata mereka bertemu. Membuatnya terdiam dan buru – buru mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Pulang, Ndrew. Sebentar lagi harinya hujan. Gue gak mau lo kehujanan gara – gara antar gue ...” Ucapannya terhenti ketika lengannya ditarik dan dia kini berada di pelukan Andrew yang memeluknya erat. Pelukannya itu seolah melemaskan otot – otonya yang tegang. Pelukannya nyaman dan hangat. Namun mengancamnya untuk membasahi baju sahabatnya itu dengan air mata yang menggantung di pelupuk matanya. Dia merasa lemas seketika kalau saja tangan kokoh itu tak memegang lengannya. Dia merasakan kecupan di keningnya ketika pelukan itu terurai, dan tubuhnya ditarik maju ke arahnya. Dia tak pernah dikecup orang lain kecuali papahnya. Perlakuan Andrew yang manis itu, membuatnya ingin menangis saat itu juga. “Ndrew...” Bisiknya ketika Andrew betah mencium keningnya. Seolah tak ingin menjauh. Dan bisikannya itu berhasil. Andrew seolah tersadar dan memundurkan tubuhnya. Dia menatapnya dalam. “Lo tau, kalau sudah begini, gue entah kenapa ingin banget waktu berhenti berputar , berhenti berdetak, untuk menikmati ini lebih lama. Merasakan lebih dalam lagi, Diva. Mempunyai sahabat seperti lo ini membuat hidup gue seperti ada artinya. So,please, just stay in my side. Don’t leave me,” ucapan Andrew yang dalam dan tulus membuat hatinya bergetar sesaat. Sebelum akhirnya tertusuk lebih sakit lagi. Lebih nyeri lagi. Perlahan, genggaman di lengannya terurai. Diva hanya tersenyum mendengarnya. Tak berniat membalasnya. Enta kenapa, senyuman gadis itu membuatnya ikut tersenyum dan mengacak rambutnya pelan. “Gue pulang dulu yah, salam buat kak Rere. Bye.” Pamitnya dan dia mengangguk mengiyakan. “Hati – hati, Ndrew.” Ucapnya tulus ketika Andrew menaiki motornya, memasang helmnya, dan membuka kacanya. “Iya, Diva. Sampai jumpa besok.” Dia tersenyum dan menjalankan motornya pelan. Pelan, hingga akhirnya menghilang dari kompleks rumahnya. Sepeninggal Andrew, dia langsung jatuh tersimpuh di tanah. Air matanya menetes deras membasahi kedua pipinya. Dan dia merasakan rintik – rintik hujan membasahi tubuhnya pelan. Seolah ikut merasakan apa yang dirasakannya sekarang. “Ndrew...” Bisiknya pelan disela isakan tangisnya. Dia tak peduli kalau sekarang tubuhnya basah oleh hujan yang semakin deras. Dia tak peduli keesokannya akan sakit dan tak bisa sekolah. Biar saja dia sakit. Karna dirinya memang sudah sakit dari dulu. Sudah sakit sejak menyadari dia menyukai sahabatnya tapi tak bisa berbuat apa – apa. Dia merasa menggigil. Tubuhnya basah. Namun tak ada niat untuk beranjak dan masuk rumah. Dia membiarkan tubuhnya basah. Karna jauh dari tubuhnya, ada yang lebih basah dan berdarah di dalamnya. hatinya “Malam sunyi ku impikanmu Ku lukiskan cita bersama. Namun selalu aku bertanya, Adakah aku, di hatimu.” Lagu Sherina – Simponi Hitam mengalun terdengar merdu di kamarnya. Seolah menyanyikan isi hatinya yang sedang gulana. Diva yang baru saja pulang dari mengambil motornya di sekolah, terdiam dan mendengarkannya. Tanpa sadar, lagunya itu membuatnya menangis. “Tak bisakah, kau sedikit saja dengar aku Dengar simponiku, simponi hanya untukku.” Diva mengikutinya dengan sepenuh hati. Alunan musiknya mengalun merdu, namun serasa menyayat hatinya. Suara Sherina seolah meneriakkan isi hatinya. Hingga suara ponselnya menyadarkannya. Dia tersentak dan mengambilnya. Tiara menelponnya. Dia mengangkat telponnya bersamaan dengan sebuah ide gila terlintas di otaknya. Dia tersenyum miris. Mungkin ini satu – satunya cara untuknya tenang sekarang. “Halo...” ** “Kenapa, sih, lo nggak jujur aja sama dia, Diva?” Diva terhenyak. Dia menarik napas panjang dan mengusap airmatanya dengan punggung tangannya. Saat ini, dia sedang berada di rumah Tiara. Dia menginap disana. Dia butuh teman bicara. Dan Tiara satu-satunya orang yang dia percayai dan yang tau masalahnya sekarang. Sudah setengah jam Diva disini, duduk bersila didepannya dengan kotak tisu yang isinya hampir habis karna selalu diambilnya. Tiara hanya bisa melihatnya tanpa bisa berkata apa – apa. Isakan Diva ketika dia menelponnya membuatnya tanpa ragu untuk menyuruhnya kemari dan menceritakan semuanya. Tak sampai 10 menit, Diva sudah berada di depan rumahnya dengan wajah memprihatinkan. “Gue... nggak... bisa... Ra...” Diva berkata dengan nada terbata. Isak tangisnya masih terdengar didalam kamar Tiara. Saat ini sudah pukul delapan malam. Beruntung keadaan rumah Tiara sedang sepi. Kedua orangtua gadis itu ada pekerjaan diluar kota. Maka dari itu, Diva memutuskan untuk menginap disana. Dan meninggalkan kakaknya, Rere, sendirian dirumah. “Kenapa nggak bisa?” tanya Tiara lembut sambil menggenggam tangannya erat. Diva sesegukan dan memejamkan kedua matanya. Meredam rasa sesak yang mengerubungi hatinya, seperti gerombolan semut merah yang mengeruminya dengan sengat yang menyakitkan. “Dia... hiks... Cuma... hiks... nganggep gue... sebagai... sahabat....” Diva membiarkan Tiara meremas tangannya. Dia tak tau, tangan siapa yang hangat, dan tangan siapa yang dingin sekarang. “Lo nggak tau apa isi hati Andrew yang sebenarnya, Diva. Jangan membuat spekulasi sendiri.” Tiara kini mengalihkan tangan kirinya ke arah rambut Diva dan mengelusnya lembut. Ucapan Tiara itu membuatnya menggeleng lemah. “Gue... nggak... mau... persahabatan... gue... sama... Andrew... hancur... Ra... Cuma... karena... perasaan... sepihak... gue...,” ucap Diva terbata. “Gue nggak mau hal itu terjadi. Dia terlalu mengerti gue. Dan gue tak mau kehilangan dia, Ra.” Lanjutnya lagi. “Diva....” Tiara berhenti sejenak. Gadis itu mengambil napas panjang dan membuangnya dengan perlahan. “Diva, Andrew berhak tau perasaan lo yang sebenarnya ke dia. He deserve to know. Jangan siksa diri lo sendiri.” “Tiara...” Dia menatap sahabatnya yang menggenggam tangannya, “Dia itu sukanya sama lo, Ra. Bukan gue.” Lirih Diva pelan. Akhirnya, kata-kata itu terucap juga dari bibirnya. Kata-kata dari Andrew yang selalu terngiang-ngiang ditelinganya dan dibenaknya selama ini. Kata – kata yang sanggup memukul mundur harapannya setiap dia berpikir, bahwa, mungkin, Andrew menyukainya. Reaksi Tiara diluar dugaannya. Sahabatnya itu hanya tersenyum tenang mendengar ucapannya. Tidak kaget atau membelalakkan matanya shock. “Gue tau... Andrew pernah bilang sama gue waktu itu.” Kini, dialah yang shock. “Andrew bilang suka sama dia? Kapan? Kenapa gue gak tau? Kenapa? Apakah mereka...” Pertanyaan – pertanyaan terketik di dalam kepalanya. “Berpacaran tanpa sepengetahuan gue?” entah kenapa, pikiran ngawur itu membuatnya tersiksa. Seolah tau apa yang dipikirkan sahabat galaunya itu, Tiara menggeleng. “Gue tau otak lo larinya kemana,Diva. Kami tetap teman sampai saat ini. Gak ada main tusuk. Dia Cuma bilang “pernah” suka sama gue. Itu doang. Kalau lo nanya kapan dia bilang suka sama gue, itu beberapa hari yang lalu. Kalau lo tanya bagaimana ekspresi gue saat itu, gue juju, kaget. Tapi, itu gak seberapa dengan ucapan dia selanjutnya.” “Memangnya dia bilang apa, Ti?” “Lo bolot gak hilang – hilang yah,” keluhnya sambil menoyor kepala Diva pelan. “Dia bilang “pernah,” berarti dulu dia ada rasa, kan sama gue?” Tanyanya dan Diva mengangguk. “ Trus gue tanya lagi, kenapa dia gak suka sama gue lagi. Dia bilang, kalau perasaan ke gue mulai memudar dan dia melihat sosok cewek yang selama ini luput dari matanya, dan dia menyukai cewek itu. Cewek yang membuat seluruh perhatian yang seharusnya buat gue, lari ke cewek itu.” Penjelasan Tiara membuatnya terdiam. Andrew menyukai cewek, dan cewek itu bukan Tiara lagi, Tapi siapa? “Si... apa?” tanya Diva. Entah kenapa dia menjadi gugup sendiri. Dia sangat ingin mengetahui siapa yang disukai sahabatnya itu. Apakah dirinya? Dirinya yang membuat perhatian Andrew yang seharusnya untuk Tiara, beralih padanya? “Bagaimana, kalau dia, menyukai Arny?” Pertanyaan telak dari hatinya membuatnya serasa dipukul satu ton batu besar. “Kenapa dia mengabaikan kenyataan itu?” “Nggak tau juga, gue....” Jawaban dan senyum kecil Tiar membuatnya sadar. Dan itu membuatnya merenung. Dia tau siapa yang disukai Andrew saat ini. Dia sudah melihat buktinya. “Arny, kan?” Ucapnya dengan nada membenarkan daripada meminta kepastian. “Apa?” tanya Tiara memastikan pendengarannya. Dia menatap Diva yang memejamkan kedua matanya dan menarik napas panjang lalu membuangnya dengan pelan. “Arny... pasti, Andrew suka sama Arny lagi. Biar bagaimanapun, Andrew dan Arny terpaksa berpisah karena keadaan, seperti yang pernah lo bilang dulu ke gue. Dan sekarang, benih-benih cinta itu pasti tumbuh lagi di hati Andrew.” “Diva, buk...” Belum selesai Tiara berbicara, sebuah nada dering dari ponsel Diva berbunyi. Diva mengambil ponselnya dari saku celana jeansnya dan menatap layar ponsel. Matanya terbelalak ketika membaca nama si penelepon. Andrew menelponnya. Entah kenapa, nama itu tak membuatnya bahagia seperti dulu. Tapi... “Sepertinya menyakitkan hanya dengan melihat nama seseorang yang dicintai, tapi, dia mencintai orang lain. Seperti tertusuk belati yang tak terlihat. Namun sakitnya terasa. Sakit hingga ingin membelah diri menjadi dua” “Diva?” Diva menoleh dan menyerahkan ponselnya pada Tiara. “Dari Andrew. Angkat gih.” “Kenapa lo kasih ke gue?” “Gue nggak sanggup ngomong sama dia. Gue mohon, lo jangan bilang kalau gue lagi nangis. Bilang gue udah tidur atau dimana kek. Dan kalau dia tanya kenapa gue ada di rumah lo, bilang aja lo yang minta gue untuk menginap disini. Please.” Dia mendesak Tiara yang bingung dengan tingkahnya. Sedangkan ponselnya tak mau kompromi. “Tapi....” “Gue nggak mau dia dengar suara gue yang seperti ini, Ra. Dia akan langsung tau kalau gue... sedang menangis. Dan dia pasti akan langsung mencari gue dan muncul disini. Gue gak sanggup melihatnya, Ra. Dan untuk saat ini, mungkin, pilihan untuk melarikan diri adalah yang terbaik.” Putusnya dan langsung melayangkan tubuhnya di ranjang Tiara yang lembut dan menutup mata. Berusaha untuk terlelap ditengah percakapan Tiara gelagapan dengan intimidasi Andrew di ponselnya. **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN