nggak mungkin sih.

2087 Kata
Suara tidak percaya keluar dari bibir Diva membuat Andrew terdiam. Membuatnya salah tingkah sekarang. Haruskah dia mengulangi ucapannya lagi? Agar Diva, orang yang dianggapnya sahabat itu, mengetahui isi hatinya yang sebenarnya? Bahwa sebenarnya Andrew menyukai Diva lebih dari sekedar sahabat? Mata besar yang tadinya menatap Andrew dengan sorot ketakutan itu, kini mulai berubah. Perlahan Diva mulai mengenali sosok Andrew. Entah karena ucapannya beberapa saat yang lalu atau karena perasaan gadis itu sendiri yang mulai menyadari bahwa Andrew bukanlah orang jahat. Bahwa dia bukanlah Jo. “What..., what did you say?” tanya Diva terbata. Dia ingin memastikan bahwa pendengarannya barusan tidak salah. Bahwa Andrew memang mengatakan hal yang paling dia ingin dengar beberapa hari ini. Andrew semakin salah tingkah. Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Matanya melirik Diva yang menatapnya dengan sorot seolah mengatakan “Cepet jawab pertanyaan gue, Andrew!” membuatnya menghela napas dan... Tiba – tiba dia tertawa keras. Tawa yang sangat keras sampai – sampai tubuhnya terguncang hebat. Membuat Diva terlonjak karena kaget. Gadis itu langsung mengerutkan keningnya dan menyipitkan mata ketika melihat cowok di depannya itu tertawa entah karena alasan apa. Membuat Diva yang tadinya menangis ketakutan, seketika berhenti. “See? Gue berhasil, kan, bikin lo berhenti nangis ketakutan? Ucapan gue barusan benar-benar ampuh, kan, sampai bikin lo melongo kayak tadi?” tanya Andrew disela tawanya. “Gue lega banget bisa bikin lo berhenti nangis dan bingung karena ucapan gue tadi, Diva...” Dia terdiam untuk mengambil napas dan melirik Diva yang menatapnya dengan tatapan tak terbaca. “Karena, gue gak tau harus dengan cara apa lagi buat lo berhenti nangis natap gue seolah-olah gue si b******n k*****t itu!” PRANG! Hatinya berdenyut sakit. “Yah, bodoh sekali gue percaya dengan lelucon gak laku itu. Andrew gak mungkin, sama sekali gak mungkin suka sama gue.” Batinnya sakit dalam hati. Sakit karna ucapan yang dia nantikan, terwujud dalam bentuk lelucon semata. Lelucon yang sukses membuat harapannya terbang ke langit ketujuh sebelum jatuh ke lautan tanpa ampun. Kalau Andrew bertanya apakah leluconnya itu sempurna untuk membuatnya tersenyum. Dia akan mengangguk membenarkan. Sempurna menyakiti hati gue dan membuat gue merasa cewek paling t***l sedunia dan tersenyum paling pilu. “Diva?” Diva tersentak saat melihat Andrew menggoyangkan tangannya di depan wajahnya. Cowok itu terlihat cemas dan khawatir. Kemudian, dengan seulas senyum tipis, Diva menatap Andrew dengan sorot berterima kasih sekaligus sorot penuh ... Luka. “Gue udah nggak apa-apa, Ndrew... makasih udah ada di samping gue disaat gue seperti ini.” Diva berkata dengan nada lelah lalu spontan mengikuti keinginan hatinya yang masih sakit, dia menjauhkan dirinya dari Andrew, ketika cowok itu mengulurkan tangannya. Ingin menyentuhnya. “Diva?” Andrew mengerutkan kening saat uluran tangannya malah membuat Diva menjauhinya. Membuatnya kembali diserang kebingungan yang teramat besar saat melihat Diva menolak tanpa kentara untuk berdekatan dengannya. Entah kenapa, membuatnya tak rela diperlakukan seperti orang asing yang berniat jahat. “Diva, lo... beneran nggak apa-apa, kan?” tanya Andrew cemas. Sejujurnya, sikap Diva saat ini benar-benar membuat Andrew frustasi. Gadis itu seolah menjauhinya, menyamakannya dengan Jo yang berniat jahat padanya. “I’m okay...,” jawab Diva dengan nada pelan. Gadis itu menolak untuk melakukan kontak mata dengan Andrew dan memilih menatap jempol kedua kakinya yang bergerak – gerak. Sikap tubuh Diva yang gelisah membuat Andrew yakin bahwa Diva jauh dari kata baik-baik saja. “You don’t have to worry, Diva.” “Dan lo juga tak ada hak untuk khawatirin gue, Andrew. Please, pergi. Gue ingin sendiri!” Hatinya berteriak mengusir Andrew yang menatapnya. Tapi mulutnya terlalu kelu untuk mengucapkan. Dia tak sanggup. Selama beberapa detik lamanya, yang dilakukannya hanyalah diam. Sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Andrew terus menatap ke arah Diva, sementara gadis itu sibuk menghindari tatapan Andrew dan memperhatikan kedua kakinya. Ketika merasa ada gerakan sangat, sangat, sangat perlahan, spontan Diva langsung refleks mundur ke belakang dan membentur pinggiran meja belajarnya. Tatapan mereka beradu. Yang satu menatapnya penuh frustasi karna sifatnya yang keterlaluan, dan dia sendiri, entahlah. Seperti kelinci terperangkap di kandang ular. Andrew terhenyak gerakan Diva yang refleks menjauhinya Dan gerakan itu menyakitinya tanpa ampun. Mengoyak hatinya menjadi dua dengan kasar. Benar-benar membuatnya merasa kehilangan sosok Diva yang dikenal. “Mmm... Ndrew... gue laper. Lo bawa makanan, kan, tadi?” Suara Diva yang gugup dan sorot mata ketakutan ketika mereka bertatapan sekali lagi, membuatnya tersadar dari lamunan dan menghela napas panjang. Mati – matian dia menahan diri agar tidak menarik kasar Diva kemudian memeluknya hingga remuk sambil meyakinkannya bahwa dia adalah Andrew! Bukan Jo si k*****t itu dan berbisik lembut di telinganya yang mungil bahwa dia tak suka, dan tak sudi dperlakukan seperti Jo. Ingin hatinya berkata bahwa dia takkan mungkin menyakiti hatinya. Jika gadis itu bertanya, mungkin ... Karena dia, mencintai gadis itu. Yah. Pada akhirnya, dia mencintai Diva, sahabatnya sendiri. Tapi kalau ditanya kenapa dia selalu mengingkarinya, Dia takut kehilangan Diva yang mungkin, sudah nyaman dengan kondisi seperti ini dan memutuskan untuk memilih persahabatan saja. Karna hanya cara inilah dia bisa mencintainya. Andrew mengangguk dan tersenyum. “Iya. Yuk,” ajaknya sambil mengulurkan tangan ke arah Diva. Namun gadis itu hanya menatap tangannya yang terulur dengan tatapan sangsi. Hatinya menyuruh untuk menyambut uluran tangan itu dan menggenggamnya erat. Tapi dia takut. Tangannya terlalu gemetar untuk melakukannya. Dia tak berani. Helaan napas Andrew membuat Diva mendongak dari tatapan tangan Andrew dan cowok itu menatapnya dengan senyum paling getir yang pernah di lihatnya. Dengan pelan, Andrew menarik uluran tangannya. Dan seketika, perasaan penyesalan itu menyerang batinnya. Kenapa lo tarik? Gue pengen menyambut uluran tangan lo dan menggenggam erat. Karna gue takut jatuh. “Nggak apa-apa kalau lo nggak mau menyambut uluran tangan gue. Nggak apa-apa kalau lo menjadi sedikit takut sama gue atau sama laki-laki manapun karena ulah b***t Jo. Tapi, satu hal yang harus lo ingat didalam benak dan hati lo, Diva.” Senyuman dan tatapan lembut Andrew seakan menyihir Diva. Dia tidak bisa mengalihkan tatapannya dari cowok yang berdiri di depannya sekarang. Namun, entah apa, dia refleks memundurkan tubuhnya lagi saat Andrew mencoba mendekatinya. Tapi, kali ini keberuntungan tak berpihak padanya. Tak sadar kaki kirinya menyentuh kain licin yang ada di kamarnya, membuat keseimbangan tubuhnya goyang dan hampir terjatuh kalau saja Andrew tak melingkarkan tangannya di pinggangnya lalu menariknya hingga mereka berpelukan. Tangan Andrew yang kokoh dan hangat itu memeluk pinggangnya, seolah melindunginya, seolah memberinya kekuatan. Dan dia bisa merasakan detak jantung Andrew seolah menyentuh pipinya. Andrew seperti memeluk patung. Diva membeku di pelukannya. Dia bisa merasakan tubuh Diva terlalu gemetar untuk bereaksi sedikit gerakan. Dia bisa merasakan wajah mulus Diva menyentuh dadanya, membuat jantungnya semakin berdegup kencang, hela napasnya yang lembut bercampur ketakutan untuk menjauhkan diri sangat kental. Membuatnya mendesah dan menatap Diva yang rupanya, sejak daritadi menatapnya dengan tatapan ketakutan. Seperti kelinci terperangkap. Kenyataan ini membuatnya tersenyum miris. “Diva,” Dia memperketat pelukannya dan bisa merasakan penolakan lemah Diva untuk menjauh. Namun dia tak peduli. Dia ingin memeluk tubuh langsing itu selama dia ingin, menghirup aroma tubuhnya yang khas, dan harum rambutnya yang enak. Dia tak ingin melepasnya. Dan tak akan melepasnya. Sampai kapanpun. “I am not him... and, i’m not gonna hurt you.” Keesokan harinya, Diva memberanikan diri untuk masuk sekolah. Dia sengaja berangkat sangat pagi sekali. Dia melakukannya untuk menghindari Andrew yang berjanji akan menjemputnya. Cowok itu sendiri yang mengatakannya kemarin. Untuk saat ini, Dia belum siap berinteraksi dengan laki-laki manapun, termasuk dengan sahabatnya sendiri. Kejadian waktu itu benar-benar membekas dalam memorinya, mengalahkan akal sehatnya dan membuatnya selalu diserang ketakutan berlebihan. “Yes...” Bisiknya puas karna bisa ke sekolah dengan selamat dan tak bertemu satu makhluk Adam pun yang membuatnya tanpa sadar mengerut ketakutan. Dengan ringan dia masuk kelas dan seketika terpaku di ambang pintu. Dia merasakan suhu tubuhnya dingin seketika. Dia melihat Jo. Seseorang yang sudah membuatnya ketakutan setengah mati, nyaris merebut apa yang paling berharga dalam dirinya, ternyata sudah berada didalam kelas, duduk dengan santai dengan satu kaki di atas meja sambil membaca buku. Menyadari siapa yang datang, senyumnya muncul. Di matanya, Diva seperti kelinci kecil yang shock karna masuk kandang Singa kelaparan seperti dirinya. Membuatnya tertawa riang dan tanpa sadar menyeringai licik ketika dilihatnya, ekspresi Diva langsung kaku. “Good morning, Sunshine...,” sapa Jo dengan nada menggoda. Dengan santai dia meletakkan buku setebal kamus di atas meja, lalu menurunkan kakinya dan melangkah pelan sambil bersiul ke arah Diva yang seperti manekin di ambang pintu. Keterdiaman Diva membuat batinnya menari – nari kegirangan. “Run, Diva! Run!” Batinnya berteriak menyuruhnya lari. Tapi dia tak bisa. Kakinya serasa menempel kuat di lantai, syaraf – syarafnya seolah membeku karna tatapan Jo yang menusuk dan langkahnya yang semakin mendekat ke arahnya berdiri sekarang, membuatnya tanpa sadar menggigil ketakutan. Saking takutnya, dia merasakan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya dengan deras. “Gue kangen sama lo, nih,” ucapan Jo membuatnya semakin ketakutan saja. Cowok itu bahkan sengaja memperlambat langkahnya agar menciptakan suasana dramatis antara mereka. Bahkan dia melihat seringai licik semakin jelas di wajah tampannya itu. Kontras dengan wajahnya yang setegang patung. “Udah dua hari lo nggak masuk. Dan selama dua hari itu pula, gue harus menerima tatapan membunuh yang dilayangkan oleh sahabat tercinta lo itu. Hmm...” Dia berada di depan Diva sekarang. Menikmati ekspresi ketakutan setengah mati dan sorot matanya yang ingin melarikan diri tapi tak bisa. “Coba waktu itu si b******k Andrew nggak datang, pasti gue udah berhasil mendapatkan tubuh lo, ya? Harus gue akui, bibir lo emang nggak ada duanya. Sweet like candy, beib.” Bisikan Jo di telinganya seperti nyanyian petaka bagi dirinya. Tersadar karna jarak semakin menipis, Diva langsung membalikkan badannya, bersiap untuk lari. Namun terlambat. Jo yang menyadari mangsanya ingin kabur, langsung menarik kasar lengannya dan mendorongnya begitu saja ke dinding hingga terdengar bunyi benturan keras. Yah, Dia sengaja membenturkan kepala Diva ke dinding karna sangat menikmati wajah yang membuatnya tak bisa tidur itu penuh ketakutan dan sakit karna perbuatannya. Dia tersenyum licik ketika kedua tangannya merentang kokoh seperti penjara untuk menutup akses Diva melarikan diri. Diva ketakutan sekarang. Sakit karna benturan tidak sebanding dengan ketakutannya sekarang. Otaknya mati karna ketakutan yang menggila. Dia melirik jam dinding yang baru menunjukkan pukul 06.30, dia sadar takkan ada satupun yang datang. Kalaupun ada, belum tentu melewati kelasnya yang berada paling pojok lantai dua. “Ayo Diva lakukan sesuatu! Lakukan sesuatu!” Batinnya berteriak frustasi sekarang. Dia ingin berteriak, tapi suaranya ntah raib kemana. Kalaupun bisa juga percuma karna takkan ada yang mendengar. “Tendang saja kakinya atau dimana saja, Diva!” Batinnya berteriak memberikan ide untuk segera dilakukan. Tapi kakinya berubah menjadi batu. Serasa berat untuk digerakkan. Serasa susah untuk melakukan. Mati otaknya, lumpuh kakinya. Dia semakin menggigil ketika tangan Jo mengelus pipi kanannya dengan gerakan berulang – berulang dan tatapan tajamnya seakan mengeksploitasi wajahnya. “Jo... sing..singkirin tangan lo..” Decitnya lemah meminta Jo menjauhkan tangannya. Tangannya berusaha menjauhkan tangan Jo. Tapi Jo langsung menangkap tangannya dan mengurungnya di belakang punggung dengan kuat. Seperti tertancap paku. Jo semakin puas melihat Diva bergetar hebat dibawah kuasanya. Tangan yang direntangkannya kini mengelus pipinya. Merasakan getar hebat ketika sentuhannya memberikan efek kengerian bagi Diva. Sampai tangannya mengelus bibir Diva yang gemetar. Bibir yang menggodanya sejak pertama kali bertemu. Dan bibir yang membuatnya selalu ingin, ingin mengecupnya lagi, memberikannya sensasi ketagihan seperti narkoba. Jari jempolnya menekan lembut bibir bawah Diva lalu melepasnya dan dia menundukkan wajahnya kemudian menarik bibir bawahnya itu dengan bibirnya sendiri dan menghisapnya pelan hingga tanpa sadar Diva mengerang. Dan membuatnya melumat bibir itu sekali dengan kurang ajarnya. “Gitu dong, Diva... pasrah aja. Nikmatin semuanya...,” kata Jo melepas ciumannya dan berbisik di depan bibirnya sendiri dengan nada penuh nafsu yang menggebu – gebu. Melihat Diva pasrah, dia menggigit bibir bawahnya dengan keras dan membuat gadis itu menjerit lemah. Diva merasa tamat riwayatnya sekarang. Membiarkan dirinya disentuh dua kali dengan kurang ajar oleh Jo yang sekarang menyentuh seluruh tubuhnya sekali lagi dengan tangannya. Dia sungguh ingin berteriak, tapi suaranya hilang. Yang ada hanya erangan tanpa makna ketika tangan Jo menyentuh lehernya dan dia merasakan wajah Jo menunduk lalu menggigit lehernya dengan agak keras. Membuatnya serasa ingin luruh saat itu juga. Kedua matanya yang asalnya tertutup pasrah, kini terbuka ketika mendengar suara meja didorong kasar hingga terdengar menakutkan. Matanya melotot ketika Jo ditarik menjauh oleh seseorang dari belakang lalu orang itu menghajarnya membabi buta. Mengeluarkan sumpah serapah. Diva terbelalak ketika orang itu menoleh cemas ke arahnya lalu menarik kerah baju Jo dan membanting tubuh cowok ke lantai tanpa ampun dengan amarah tak tanggung – tanggung. Seketika itu juga dia tau siapa yang menyelamatkannya sekali lagi. Andrew. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN