Di Bali.
Di tengah ramainya saudara dari pihak abba nya yang ikut menikmati liburan, perasaan Shana tengah nelangsa. Gampang berkata ikhlas, tapi kenyataan tak segampang ucapan. Ada rasa cemburu yang harus ia atasi. Walau Risman di kebun tak hanya berdua dengan Ara, tapi ada rasa cemburu yang hadir di hati. Namun ucapan Ara terngiang di telinganya. Bahwa hanya raga Risman yang ada di kebun, tapi jiwanya di Bali
'Apa maksud Acil Ara mengatakan itu. Tidak mungkin Acil Ara tahu perasaanku pada Paman Risman. Aku yakin sudah menyimpan rasa cintaku dengan sangat rapat. Tidak akan ada orang lain yang bisa menciumnya. Acil Ara pasti hanya bercanda saja. Akh, Paman Risman, pada siapa sebenarnya cintamu kau titipkan? Padaku? Pada Acil Ara? Pada Kia? Apa Paman sama seperti aku, menyimpan rasa pada seseorang? Atau Paman memang sungguh tidak punya rasa pada siapa-siapa? Aduh, Sha. Katanya mau ikhlas, kenapa masih memikirkan dia.'
"Sha. Ayo ke pantai!" Salah seorang sepupu jauhnya memanggil Shana.
"Ayo!" Shana berdiri kemudian mengikuti langkah beberapa keluarganya yang melangkah lebih dekat ke tepi pantai. Untuk sesaat galau di hati Shana sirna, karena suasana riang gembira yang diciptakan oleh saudara-saudaranya yang ikut berlibur ke Bali. Mereka jarang bertemu, tapi saat bertemu seperti teman lama yang sangat dekat.
*
Kia baru selesai salat malam. Ia masih duduk di atas sajadah. Air matanya berjatuhan.
"Ya Allah. Aku tak menyesali cinta yang kau titipkan di hatiku untuknya. Aku tak akan mengeluh atas rasa sakit karena cintaku bertepuk sebelah tangan padanya. Aku hanya ingin memohon kepada Mu, kuatkan selalu hatiku. Beri aku keikhlasan dalam menerima takdir Mu. Aku pasrah jika dia memang bukan jodohku. Aku mohon kepada Mu, beri dia bahagia selalu. Ijinkan aku tetap menyimpan cinta tanpa harapan ini, sampai Kau titipkan lagi cinta baru di dalam hatiku. Aku mohon jaga hatiku agar tak ada rasa benci dan dengki hanya karena cinta, aamiin."
Kia mengusapkan ke wajah, kedua telapak tangan yang tadi ia tadahkan ke atas. Kepala Zia menunduk dalam. Air mata berjatuhan. Ia sudah berjuang mengusir rasa malu di hadapan Risman untuk mengungkapkan perasaannya. Kia hanya ingin Risman tahu, tak harus Risman memikirkan itu. Kia yakin ia sanggup menahan sakit karena patah hati.
'Semangat, Kia. Kamu pasti bisa melewati semua ini. Yakinlah jika dia jodohmu pasti akan menyebut namamu di depan penghulu. Jika dia bukan jodohmu, yakinlah, Allah sudah mempersiapkan jodoh terbaik untukmu.'
Kia melepas dan melipat mukena. Ia ingin menjalani hari-hari dengan mengikuti alur yang diatur oleh Nya saja. Tak ada yang ingin ia perjuangkan. Termasuk cinta Risman.
*
Semua orang sudah sarapan dengan masakan Rara, istri Aay.
Aay dan Rara sudah pergi bekerja. Kia pergi kuliah. Paman pergi ke pabrik keripik. Di rumah hanya ada Acil, Nini, dan Kai.
"Man, jangan ke kebun dulu. Ada yang ingin Nini bicarakan." Acil memanggil Risman yang bersiap pergi ke kebun.
"Iya, Acil."
"Di tunggu Nini di ruang tengah, Man."
"Iya, Acil."
Perasaan Risman penasaran apa yang ingin Nini bicarakan secara khusus dengannya. Ini jarang terjadi. Biasanya kai yang memanggil saat tanggal gajian tiba.
Risman masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ruang tengah. Ruangan yang paling sering digunakan untuk tempat kumpul keluarga. Di ruang tengah sudah menunggu Kai dan Nini.
"Duduk, Man." Nini menunjuk sofa.
"Inggih, Nini "
Risman duduk di sofa.
"Ada yang ingin Nini sampaikan, Man."
"Ada apa, Nini?" Risman menatap Nini.
"Kamu punya pacar, Man?"
Risman terkejut mendengar pertanyaan Nini.
"Tidak ada, Nini." Kepala Risman menggeleng.
"Ada gadis yang kamu sukai?"
Risman tidak langsung menjawab, ia terdiam sesaat.
"Tidak ada, Nini."
"Sungguh tidak ada gadis yang menarik hatimu?"
"Tidak ada, Nini."
Nini menghela nafas.
"Apa kamu mau kalau Nini Carikan calon istri?"
Risman kembali terkejut mendengar pertanyaan Nini.
"Maaf, Nini. Aku belum ingin menikah sekarang."
"Usia kamu sudah cukup untuk menikah, Man. Menikahlah segera, apa lagi yang kamu tunggu."
"Aku punya janji akan menikah setelah tiga adikku sarjana, atau menikah, Nini."
"Pendidikan adikmu jangan dipikirkan, Man. Kamu juga harus memikirkan diri sendiri. Nini dan Kai ini sudah tua. Kami memang bukan Nini dan Kai kandungmu, tapi kami mencintai kamu seperti cucu sendiri, Man." Nini menarik nafas sejenak.
"Nini ingin melihat kamu menikah sebelum Nini meninggal, Man. Kalau Nini boleh memilihkan calon istri untukmu. Kia gadis yang baik, Man. Tapi jika kamu punya pilihan sendiri, Nini akan terima siapapun pilihan kamu, Man. Soal biaya resepsi dan sebagainya, Nini yang akan membiayai, Man."
Risman diam, tidak tahu harus berkata apa. Risman tahu, Nini dan Kai tulus mencintainya.
"Pikirkan saja dulu, Man. Nini mengatakan ini bukan bermaksud untuk mendesak apalagi memaksa. Nini hanya ingin kamu tahu apa yang Nini harapkan."
"Iya, Nini."
"Itu saja yang ingin Nini sampaikan, Man. Kamu bisa pergi ke kebun sekarang."
"Iya, Nini. Aku permisi ke kebun, Kai, Nini." Risman mencium punggung tangan Kai dan Nini. Kai tidak bicara apa-apa. Kai hanya memberi tepukan lembut di bahu Risman. Tepukan yang membuat perasaan Risman sedikit tenang setelah galau mendengar apa yang Nini sampaikan.
Permintaan Nini membuat Risman melamun di sepanjang jalan menuju kebun. Tatapan mata Nini yang membuat perasaannya tidak tega menghancurkan harapan Nini. Risman dilema. Ingin memenuhi harapan Nini, tapi ia tidak ingin menikah dengan Kia. Tidak ingin juga dicarikan calon istri oleh Nini. Walau cintanya sudah untuk Shana, tapi Risman tak ingin menjadikan Shana istrinya. Risman tidak ingin memilih diantara Shana, Ara, dan Kia. Risman lebih memilih memendam rasa cintanya pada Shana.
Karena melamun, Risman tak sadar sudah melewati jalan masuk kebun. Perasaan Risman lebih galau dari sebelumnya. Jika kemarin hanya galau karena rindu, kali ini galau karena berada di persimpangan jalan. Nini berkata tidak memaksakan, tapi tatapan Nini yang penuh harapan terus membayangi.
"Astaghfirullah Al adzim. Aku dimana?" Risman baru sadar setelah mendengar klakson dari mobil truk di belakangnya. Risman memperhatikan sekitar. Ia berada di jalan Trikora menuju ke rumah orang tua Ara.
"Ya Allah kenapa aku nyasar ke sini."
Risman ingin memutar balik arah. Jalan itu tidak memiliki pembatas di bagian tengah. Jadi satu jalan besar itu dipakai untuk dua arah tanpa pembatas.
Risman yakin kalau sudah tidak ada mobil, sehingga ia langsung menyeberang untuk memutar arah. Sayangnya Risman hanya jeli melihat ke belakang lewat spion motornya, tidak jeli melihat ke depan. Suara benturan keras terdengar.
"Allahu Akbar!"
*