Risman membuka mata. Ia terkejut melihat keadaan di sekitarnya. Ia berada di sebuah tempat yang sangat asing baginya. Sebuah padang luas dengan tanaman kaktus berduri di sekitarnya.
"Aku dimana." Risman bergumam sendirian. Risman berjalan terseok di padang gersang itu.
Risman mengentikan langkah, Risman tertegun. Angin yang bergulung dahsyat menuju ke arahnya. Risman terpaku di tempatnya berdiri, tanpa bisa bergerak apalagi melarikan diri dari angin bergulung tinggi yang semakin dekat.
"Pegangan!" Suara seseorang mengagetkannya. Tapi Risman tetap saja tak bisa bergerak.
"Pegangan!"
Tangan mungil merih telapak tangan Risman sebelum tubuh Risman ditelan oleh gulungan angin dahsyat.
Risman merasa telapak tangannya dipegang dengan sangat kuat. Sehingga tidak terlepas dan ia tidak terbawa oleh angin meski tubuhnya terasa terangkat. Angin dahsyat itu akhirnya bergerak menjauh. Tubuh Risman terhempas ke bawah setelah sesaat tadi malayang, nyaris terbawa pusaran angin.
"Paman tidak apa-apa?"
Risman membuka mata. Wajah yang sangat ia kenal. Risman bangun dan ia bisa melihat salah satu lengan gadis itu penuh luka.
"Ini kenapa?" Risman menunjuk luka berdarah di lengan gadis itu.
"Tertusuk duri pohon kaktus. Tadi aku memeluk pohon kaktus agar kita tidak terbang."
"Wajahmu pucat."
"Mungkin beracun ...." Tubuh kecil itu jatuh ke tanah.
"Zia!"
"Bang! Abang!"
Risman membuka mata lalu langsung duduk.
"Zia mana?"
"Kenapa mencari Zia?"
"Zia mana!?" Risman berseru panik. Rasa cemas menerjang perasaannya.
"Di sekolah, Bang! Abang kenapa mencari Zia?"
"Dia baik-baik saja kan?"
"Iya. Dia masih di sekolah."
"Alhamdulillah."
"Ada apa? Abang mimpi Zia."
"Iya. Aku melihat dia pingsan."
"Abang tadi mau ke mana, kok ada di jalan Trikora?"
"Astagfirullah Al adzim. Aku tabrakan ya. Orang yang aku tabrak bagaimana?"
"Hanya luka ringan."
"Alhamdulillah. Orangnya mana?"
"Sudah diijinkan pulang."
"Motornya bagaimana?"
"Diganti yang baru oleh Bang Raka. Kasihan motornya sudah tua sekali. Beliau guru di SMP. Abang juga luka ringan, tapi pingsan lumayan lama. Abang kenapa bisa ada di jalan Trikora? Kata Kai, pagi tadi Abang mau ke kebun."
Risman bingung harus menjawab apa.
"Eh, ditanya malah bengong."
"Kamu setelah nikah kenapa jadi bawel!"
"Ditanya malah balik nanya. Abang mau ke mana ada di jalan Trikora?'
"Mau ke rumah Bapak sebentar. Kangen Ibu."
"Tumben pakai motor lama. Biasanya kalau pulang pakai motor baru yang dibelikan Nini."
"Niatnya mau ke kebun, tiba-tiba ingat ibu."
"Yakin ingat ibu?"
"Eh, kenapa bicara begitu?"
"Ya siapa tahu saja ada yang sedang dirindukan."
"Siapa?"
"Kak Endang, Mbak Menik, Uni Fivi ...."
"Sebut saja tuh semua gadis di kampung kita." Risman kesal sekali Rima mengabsen nama-nama gadis di dekat tempat tinggal orang tuanya.
"Abang enak, aku yang tidak enak. Setiap ketemu dititipi salam. Memangnya aku kurir! Makanya cepat nikah, Bang!"
"Kamu kan tahu aku tidak ingin cepat nikah."
"Alasan Abang itu terlalu lebay!"
"Sembarangan kalau bicara."
"Hey. Kenapa malah ribut." Raka datang melerai perdebatan kakak dan adik itu.
"Risman itu baru saja kecelakaan, kenapa kamu ajak berdebat, Sayang."
"Tidak apa, Bang. Hanya debat sayang kakak dan adik."
"Kamu harus nginap di rumah sakit, Man."
"Kenapa, Bang? Aku baik-baik saja. AW!" Risman menatap kakinya. Ternyata kakinya diperban.
"Luka di kakimu perlu perawatan. Sabar saja. Hitung-hitung istirahat. Nini, Kai, Abba, dan Amma sedang menuju ke sini."
"Aku minta maaf, Bang. Sudah merepotkan."
"Merepotkan apanya. Ini musibah, Man. Sesuatu yang tidak kita kehendaki dan tidak bisa dihindari."
"Iya, Bang."
"Aku ke luar sebentar cari makan. Kamu ingin makan apa, Sayang."
"Nasi pecel saja, Bang."
"Kamu, Man?"
"Nasi pecel juga."
"Aku pergi dulu ya. Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
Raka ke luar dari ruang perawatan Risman.
"Anak-anak mana?"
"Di rumah Bapak."
"Bapak tidak ke sini?"
"Aku minta jaga anak-anak saja di rumah. Sebaiknya Abang jangan banyak gerak dulu. Kepala Abang juga luka. Untung tidak parah."
"Si gemoy bagaimana ya kalau tahu aku kecelakaan."
"Pasti minta ke sini."
Pintu diketuk.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
Rima membuka pintu.
Nini, Kai, Abba, dan Amma yang datang. Rima mencium punggung tangan empat orang tua itu.
"Ini, Amma bawakan cemilan dan untuk makan siang." Amma menyerahkan dua goodie bag yang tadinya dipegang Abba.
"Terima kasih, Amma."
Empat orang tua itu mendekat ke tempat tidur tempat Risman duduk.
Risman mencium punggung tangan keempat orang itu.
"Nini sampai jantungan, Man. Antara percaya dan tidak. Karena Kita baru saja mengobrol." Nini mengusap dadanya sendiri .
"Maaf jadi merepotkan semuanya."
"Tidak ada yang merasa direpotkan, Man. Ini musibah," sahut Kai.
"Kenapa kamu ada di jalan Trikora, Man? Bukannya mau ke kebun?" Tanya Amma.
"Tiba-tiba kangen ibu, Amma. Jadi mau pulang dulu sebelum ke kebun." Sesungguhnya Risman tidak enak hati berbohong. Tapi tidak mungkin ia mengatakan yang sebenarnya kalau ia melamunkan permintaan Nini.
"Lain kali lebih hati-hati, Man."
"Iya, Abba."
"Ini Zia kalau tahu pasti langsung minta ke sini,"
Abba dan Kai duduk di tempat tidur untuk penunggu pasien. Amma dan Nini duduk di sofa.
"Dari sini nanti anak-anak Amma jemput Rima."
"Iya, Amma."
"Mungkin kedua orang tuamu ingin menginap di sini menemani Risman."
"Iya, Amma."
"Itu kaki Risman terkilir, atau apa?" Tanya Nini.
"Luka robek, Nini. Entah kena bagian apa di motor."
"Dijahit?" Tanya Amma.
"Iya, Amma. Tujuh jahitan."
"Aduh. Ngilu rasanya mendengarnya." Nini memegang pipinya sendiri.
"Risman sedang diminta istirahat okeh Allah. Karena selama sekian tahun bekerja tidak pernah ambil cuti," kata Kai.
"Sehari saja tidak ke kebun rasanya tidak enak, Kai," sahut Risman.
"Kalau begitu. Nanti kalau kamu sudah menikah. Bikin rumah di kebun saja, Man."
"Itukan tanahnya Kai. Mana bisa begitu, Kai."
"Siapa lagi yang bisa merawat kebun, pondok, dan gazebo kalau bukan kamu, Man. Ya semoga ada jodoh kamu dengan salah satu cucu, atau cicit Kai. Jadi Kai merasa lega. Kalau kamu menikah dengan orang lain belum tentu istrimu mau tinggal di kebun."
"Iya, Kai."
"Risman mau nikah sembilan, atau dua belas tahun lagi, Abba. Ara dan Shana tidak mungkin mau menunggu selama itu. Kecuali jodoh Risman Fani, atau Zia." Amma tertawa pelan.
Kai, Abba, dan Nini ikut tertawa. Rima dan Risman hanya tersenyum.
"Kami ini hanya bisa memberi saran, Man. Hidupmu adalah milikmu jadi jangan jadikan beban harapan-harapan para orang tua ini."
"Iya, Kai."
Ponsel Amma berbunyi.
"Eli. Assalamualaikum, ada apa?"
"Amma. Zia kecelakaan." Suara Elia panik di seberang sana.
"Apa!?"
Semua tatapan terarah kepada Amma mendengar Amma berteriak cukup nyaring.
"Ya Allah, Zia. Bagaimana keadaannya, Eli?"
"Dia ...."
*