Risman masih sibuk bekerja. Orang-orang yang membantunya datang lagi untuk meneruskan pekerjaan mereka. Zia dan Wira tidur siang di dalam pondok. Menjelang ashar para pekerja pulang, Risman mandi dan salat ashar bersama Wira, sedang Zia dibiarkan tetap tidur karena masih datang bulan tidak salat.
Selesai salat ashar Wira minta Risman mengajari membuat kolak. Mereka memasak di tungku. Risman merebus gula merah lebih dulu. Wira mengupas ubi jalar dan pisang. Setelah gula merah larut semua lalu disaring untuk membuang kotoran yang ada di gula merah. Setelah itu dimasukkan potongan ubi, pisang, garam, gula putih, lembaran daun pandan, vanili bubuk, dan kocokan telur serta santan.
"Bagaimana, Bang? Gampangkan?"
"Iya, Paman."
"Bangunkan Zia."
"Abang!"
Zia menuruni anak tangga.
"Cuci muka. Rambut Zia dirapikan," ujar Risman seraya menunjuk rambut Zia yang berantakan. Zia mendekati kran air, ia mencuci muka. Risman mengambil handuk kecil dan sisir di ruangan belakang gazebo, ia serahkan pada Zia. Zia mengusap tetes air di wajahnya. Kemudian handuk diserahkan lagi pada Risman.
"Enaknya bau kolak." Zia duduk sambil melepas ikatan rambutnya.
"Bang Wira yang buat."
"Abang bisa?" Zia menatap abangnya tak percaya.
"Abang baru belajar. Rapikan dulu rambut Zia, setelah itu kita makan kolak."
"Eko, Abang."
Zia selesai menyisir dan mengikat rambutnya. Zia menikmati kolak bersama Risman dan Wira.
"Zia tidak ingin belajar masak seperti Abang?" Tanya Risman.
"Zia takut api, Paman?"
"Kenapa takut?" Risman menatap Zia.
"Enggak tahu." Kepala Zia menggeleng.
"Zia harus berani. Nanti kalau Zia punya suami, pasti suami Zia ingin makan masakan Zia. Seperti Abba, Kai, dan Paman Raka." Wira memberi nasehat adiknya.
"Kata Abba tidak apa tidak bisa masak. Nanti ada acil yang masak."
"Kalau Paman punya istri, Paman ingin makan masakan istri Paman tidak?" Tanya Wira pada Risman.
"Ya ingin." Kepala Risman mengangguk.
"Tuh kan, Zia. Paman Risman ingin istri yang bisa masak."
"Ya sudah. Zia kan bukan istri Paman Risman. Nanti Zia mau cari suami seperti Kai buyut saja. Nini buyut tidak pernah tuh masak. Kai buyut sering ke dapur."
"Itu karena Nini Rara sudah tua, Zia. Waktu muda juga pasti Nini Rara yang masak," ucap Risman.
"Ya sudah. Zia cari suami chef yang pintar masak."
"Kalau alasan Zia takut api. Harus dilawan rasa takutnya, Sayang. Dulu Zia pernah takut naik mobil, setelah itu tidak takut lagi."
"Nanti deh, Zia mewalannya. Serakang mood Zia lagi jelek."
"Mood itu apa?" Risman tersenyum.
"Ya itulah. Zia suka marah-marah. Suka keselek."
"Oh."
"Acil Ara!"
Wira menunjuk mobil yang memasuki area kebun.
Ara ke luar dari mobil.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
Zia dan Wira mencium punggung tangan Ara.
"Makan bakso yuk!"
"Ih, kita sudah kenyang makan kolak, Acil."
"Yah. Besok mau. Sama Paman Risman juga."
"Paman mau tidak?" Tanya Zia.
"Kalau Zia ikut. Paman ikut."
"Zia mau deh. Ajak Acil Kia juga ya."
"Boleh."
"Acil Ara mau kolak? Ini buatan Abang."
"Ih, mau dong. Abang pintar ya."
Wira mengambilkan kolak untuk Ara.
"Zia kapan pulang dari rumah sakit?"
"Tadi siang sungsang ke nisi. Kangen Paman Risman."
"Eh, kangen ya?"
"Iya dong. Peng Peng Zia nih cuma jenguk Zia selaki aja ke rumah sakit." Tatapan Zia ke Risman, wajahnya cemberut.
"Paman banyak pekerjaan, Sayang."
"Lebih sayang pekerjaan daripada Zia. Huh! Keselek deh!"
Ara tertawa melihat gaya marah Zia.
"Masih kecil gayanya sudah seperti orang dewasa."
Wira meletakkan mangkuk berisi kolak di hadapan Ara.
"Ini, Acil."
"Terima kasih, Abang."
"Sama-sama, Acil."
Ara menikmati kolak buatan Wira.
"Enak, Bang."
"Alhamdulillah."
Ponsel Ara berbunyi. Ara mengambil ponsel dari dalam tas kecilnya.
"Video call dari Kak Sha."
Deg
Hati Risman langsung berdebar.
"Assalamualaikum, Acil Ara."
"Wa'alaikum salam, Kak Sha. Dimana?"
"Masih di Bali. Besok pagi pulang. Acil Ara di mana?"
"Di kebun sama Paman Risman."
"Oh. Mana Paman Risman nya. Aku kangen!"
Debaran di dalam hati Risman semakin menggila, walau ia yakin rasa kangen Shana hanya bercanda.
"Ini!"
Ara menyerahkan ponselnya pada Risman
Risman bisa melihat wajah Shana. Bahagianya luar biasa.
"Assalamualaikum, Paman."
"Wa'alaikum salam."
"Hanya berduaan di kebun? Hati-hati disenggol setan ya."
"Ada Zia dong!" Zia berlutut di belakang Risman. Dagunya menumpang di pundak Risman.
"Hay gemoy! Kak Sha kangen. Kapan pulang dari rumah sakit?"
"Tadi siang. Zia sungsang ke sini. Kangen Paman Risman."
"Kak Sha juga kangen."
"Kak Sha tidak lobeh kangen Paman Risman. Yang lobeh kangen cuma Acil Ara, Acil Kia, dan Zia!"
"Ih Zia pelit. Masa kangen sama Paman Risman saja Kak Sha tidak boleh. Nanti tidak Kak Sha bawakan halo-halo. Mau halo-halo tidak?"
"Mau dong! Lobeh deh kangen. Cuma kangen ya."
"Iya. Acil Ara mana?"
Risman menyerahkan ponsel pada Ara.
"Yang lagi bahagia bisa dekat-dekat pujaan hati." Shana menggoda Ara. Ara hanya tersenyum.
"Acil Ara kenapa? Sedang sakit gigi ya?"
"Tidak. Pulang bawakan aku bule satu buat aku nikahi ya."
Shana tertawa dengan suara keras.
"Duduk dekat pujaan hati kok minta oleh-oleh bule sama aku. Aneh nih, Acil Ara."
"Yang dekat itu cuma raganya, Kak Sha. Jiwanya entah dimana. Mungin ada di Bali sana."
Bukan cuma Shana yang terkejut tapi Risman juga.
"Aneh-aneh aja nih, Acil Ara." Shana tertawa.
"Paman, memangnya jiwa dan raga bisa dipisah ya?" Zia berbisik di telinga Risman.
"Pssst, Acil Ara sedang bicara dengan Kak Sha. Nanti Zia tanya Acil Ara saja ya."
"Iya deh."
Mereka memperhatikan Ara yang masih video call dengan Shana. Terdengar suara lelaki juga dari sana.
"Banyak cowoknya." Zia berbisik lagi pada Risman.
"Itu mungkin keluarga Abba nya Kak Sha." Risman menanggapi dengan berbisik juga. Kalimat untuk menghibur dirinya sendiri.
"Keluarga abba nya Kak Sha ganteng-ganteng semua. Paman sih lewat, mental Paman."
Meski ada rasa sedih disebut Zia begitu, tapi Risman tetap bisa tersenyum.
"Lewat dan mental ke mana?" Tanya Risman.
"Paman itu gantengnya segini." Zia menunjukkan jari telunjuk dan jempol yang diberi jarak sedikit.
"Mereka itu gantengnya segini." Jarak dua jari Zia diperlebar.
"Tapi Paman jangan sedih. Bagi Zia, Paman paling ganteng sedunia."
"Ah masa?"
"Iya. Ay am suwir deh!" Zia mengangkat dua jari.
"Nasi bakar ayam suwir memang enak."
"Ih bukan ayam suwir, tapi ay-am-suwer."
"Oh. Terima kasih sudah menjadikan Paman orang paling ganteng di dunia bagi Zia."
"Paman, gemoy, dan Bang Wira dapat salam dari Kak Sha."
"Kapan Kak Sha pulang, Acil?"
"Besok pagi, Bang."
"Semoga selamat sampai ke sini, aamiin."
"Aamiin."
*