Kia berusaha mengatasi rasa sakit di hatinya. Kia beranjak ke dapur. Ia memeriksa apakah kompor sudah dimatikan dan semua perabot sudah dicuci. Lantai dapur juga diperhatikan apakah masih ada ceceran minyak, air, atau sampah yang tertinggal. Tempat sampah juga diperiksa apakah sudah dibuang, atau belum. Dari dapur, Kia memeriksa kamar mandi yang ada di dekat dapur. Setelah yakin semua beres, Kia masuk kamar untuk mengambil tas, kemudian pamit pulang pada Nini dan kai.
"Semua sudah dibersihkan, Nini. Aku pamit pulang." Kia mencium punggung tangan Nini dan Kai.
"Hati-hati di jalan."
"Iya. Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
Saat Kia ke luar, Shana tidak ada lagi. Hanya ada Risman yang sedang video call dengan adiknya.
"Permisi pulang, Paman. Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam. Hati-hati, Kia."
"Iya terima kasih."
Kalimat pendek dari Risman sudah membuat Kia bahagia. Kia meninggalkan rumah keluarga Ramadhan dengan senyum di bibir. Rasa sakit yang tadi dirasakan terhapus oleh perhatian kecil Risman.
Sementara itu.
Ara dalam perjalanan pulang. Perasaannya sedikit terganggu dengan tatapan Shana kepada Risman. Ara merasa itu bukan tatapan biasa.
'Apa Kak Sha mencintai Paman Risman juga? Selama ini apa yang Kak Sha katakan pada Paman Risman, apakah hanya sekadar candaan, atau dari hati. Atau aku salah menilai arti tatapan Kak Sha? Apa aku harus bertanya pada Kak Sha? Apa Kak Sha akan menjawab dengan jujur nantinya? Aku yakin, andai benar Kak Sha juga mencintai Paman Risman, dia pasti akan menyimpan perasaannya sendiri demi aku. Aduh, bagaimana ini? Apa aku amati saja dulu ya. Ya Allah jangan biarkan ada persaingan dan perpecahan di antara kami hanya karena seorang pria.'
Meski sudah memutuskan apa yang akan dilakukan, tapi tetap saja perasaan Ara galau jadinya. Ara tidak ingin bersaing dengan Shana. Ara memilih lebih baik mundur kalau Shana memang mencintai Risman juga. Ara lebih memilih hatinya yang sakit daripada menyakiti hati Shana.
'Aku yang kurang peka dengan perasaan Kak Sha, atau Kak Sha yang terlalu pandai menyembunyikan perasaannya pada Paman Risman? Sepertinya aku harus menjaga mulutku agar tidak banyak bicara tentang Paman Risman. Atau justru aku harus banyak bicara untuk memancing reaksi Kak Sha. Aduh, aku bingung.'
Shana tiba di rumah. Ia ke bengkel orang tuanya yang masih satu bangunan dengan tempat tinggal mereka.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
Ara mencium punggung tangan kedua orang tuanya.
"Tidak jadi menginap di rumah Shana?" Tanya Cici, Amma nya.
"Tidak, Amma. Tadi makan bakso sama Kak Sha, Kia, Paman Risman, dan Zia. Setelah itu pulang." Ara duduk di samping orang tuanya. Di sofa yang disediakan untuk konsumen yang datang ke bengkel mereka.
"Kalau tahu kamu ke depan, Abba titip bakaran dan molen mini."
"Tidak ada rencana, Abba. Paman Risman traktir kita semua."
"Happy dong ditraktir pria idaman." Andra, Abba Ara menggoda putrinya.
"Ish, Abba. Paman Risman sudah jelas mengatakan, tidak ingin menikah cepat. Ara tidak mungkin menunggu Paman Risman sepuluh tahun lagi."
"Jadi Ara sudah menyerah?" Tanya Amma nya.
"Menyerah sih belum, Amma. Tapi Ara mencoba realistis saja. Kalau dalam satu tahun ini Paman Risman masih pada pendiriannya ya sudah. Yang jelas Ara tidak mau menunggu sepuluh tahun lagi untuk menikmati surganya dunia." Ara berdiri dari duduk.
"Hey apa itu maksudnya? Masih kecil ingin tahu surga dunia!"
"Amma juga masih kecil, tapi sudah punya dua anak besar. Bye, Ara mau ke kamar."
"Kelakuan anakmu, Bang!"
"Anakmu juga!"
"Ish!"
Andra tertawa melihat wajah cemberut istrinya.
Sementara itu.
Shana membuka pintu rumahnya.
"Assalamualaikum!"
Tidak ada yang menjawab.
"Ini rumah, atau kuburan sih!"
Shana menggerutu karena rumahnya sangat sepi. Ada Acil yang membantu di rumah, tapi datang jam tujuh pagi, sebelum Amma Shana berangkat kerja dan pulang jam lima sore setelah Amma Shana pulang dari kantor.
"Assalamualaikum!" Shana berteriak keras di depan pintu kamar orang tuanya.
"Wa'alaikum salam!"
Pintu kamar terbuka. Abba nya muncul hanya dengan celana pendek saja. Shana tersenyum.
"Ada apa senyum-senyum? Mau minta uang?" Tanya Abba nya.
"Mau minta adik, Abba," jawab Shana.
"Ck. Darimana?"
"Tadi sudah pamit Amma makan bakso. Amma mana?"
"Mandi."
"Mandi wajib ya, Abba."
"Eh!"
Shana menjauh sambil tertawa.
Al, Abba Shana hanya geleng-geleng kepala dengan tingkah putri kesayangannya.
Shana menaiki anak tangga menuju lantai dua, dimana kamarnya berada. Shana duduk di tepi tempat tidur. Shana teringat tatapan Kia pada Risman.
'Kasihan Kia. Mungkin diantara aku, Kia, dan Acil Ara, Kia yang memiliki harapan paling besar pada Paman Risman. Cintanya sudah 100%. Kalau aku dan Acil Ara, aku rasa belum sebesar itu. Apa aku bantu Kia untuk mendapatkan cinta Paman Risman ya? Tidak mungkin. Nanti Acil Ara menganggap aku penghianat. Dan pasti itu membuat aku harus lebih kuat mengatasi luka hatiku sendiri. Aduh, Paman Risman! Kenapa kamu cuma satu sih! Kenapa tidak kembar tiga seperti adikmu! Aduh ....'
Shana menggaruk kepalanya. Bingung sendiri harus bagaimana.
"Sha!"
Terdengar suara Amma nya memanggil di depan pintu kamar.
"Sebentar, Amma!"
Shana beranjak membuka pintu.
"Ara tidak jadi menginap di sini?" Tanya Zizi, Amma Shana.
"Loh, memangnya Acil Ara tadi mau nginap. Tadi Sha tanya katanya pulang saja."
"Tadi Amma nya telepon memberitahu kalau Ara mau menginap. Tapi kok bisa tidak jadi ya."
"Sha tidak tahu, Amma."
"Kalian bertengkar?" Amma nya menatap ke dalam bola mata Shana.
"Tidak. Ini baru pulang makan bakso bareng." Kepala Shana menggeleng.
"Ya sudah. Amma telpon Amma nya saja."
"Iya, Amma. Sha juga mau telepon Acil Ara."
Amma Shana meninggalkan depan pintu kamar Shana. Shana menutup pintu lalu mengambil ponselnya. Shana menelepon Ara.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam. Ada apa, Kak Sha?"
"Katanya mau nginap, kok nggak jadi?"
"Iya. Tiba-tiba nggak enak badan. Tekanan darah tinggi, atau kolesterol tinggi mungkin, karena makan bakso." Ara menjawab diiringi tawa.
"Besok ke rumah sakit. Periksa ke laboratorium jadi tahu lebih awal biar bisa diobati."
"Iya."
"Sepi rumahku tanpa Acil Ara."
"Minta adik."
"Umur Amma sudah empat puluh tahun. Mungkin ngadon tiap hari, tapi nggak dimasukin oven jadi kue nya ngak jadi."
Ara tertawa terbahak-bahak.
"Acil Ara kenapa tidak minta adik?"
"Senasib kita, Kak Sha. Ya sudahlah biar kita jadi putri kesayangan orang tua kita."
"Sudah mau Maghrib. Semoga badannya segera enakkan. Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam. Terima kasih, Kak Sha."
Shana meletakkan ponselnya. Shana tidak yakin alasan Ara tidak jadi menginap karena tidak enak badan. Shana merasa ada yang Ara sembunyikan darinya.
'Apa ada hubungannya dengan Paman Risman? Tidak mungkin Acil Ara mencium perasaanku pada Paman Risman. Aku sudah berusaha menutupi dengan sangat rapat. Aduh, nggak tahu ah. Pusing!'
"Sha, ikut ke musholla tidak?" Suara Abba nya memanggil di luar pintu.
"Ikut, Abba. Sebentar!"
Shana membuka pintu.
"Abba tunggu di bawah ya."
"Iya."
*