Risman memarkir mobil di depan rumah Zia.
"Ck. Zia ternyata." Ara berdecak, padahal sudah deg-degan dari tadi.
"Iya, Paman nih. Kenapa bawa si gemoy sih." Shana protes.
"Dia kesayanganku. Harus dibawa menikmati makanan kesukaannya."
Risman keluar dari mobil. Lalu tak lama kembali bersama Zia.
"Assalamualaikum." Zia menyapa yang ada di dalam mobil.
"Wa'alaikum salam." Semua menjawab salam Zia. Zia masuk ke dalam mobil.
"Acil Ara terima kasih ya, Zia diajak makan bakso."
"Iya."
Risman membawa mobil menuju warung bakso.
"Asik ya lakau perginya begini. Zia suka! Tapi cowoknya cuma Paman Risman. Biar adil, Paman Risman duduknya dekat sama Zia saja ya."
"Iya." Risman menjawab sambil tersenyum. Itulah tujuannya membawa Zia. Agar tak ada cemburu di antara gadis yang menyukainya.
"Acil Ara dan Acil Kia jangan cerumbu sama Zia ya. Zia masih kecil," ucap Zia
"Iya." Ara dan Kia menjawab. Shana hanya diam karena Zia tidak menyebut namanya. Zia hanya tahu Ara dan Kia yang menyukai Risman.
Shana tahu, Risman mengajak mereka semua pasti karena ingin menghindari pergi berduaan saja dengan Ara. Dan mengajak Zia untuk menghindari ada persaingan di antara para gadis yang terang-terangan menyukainya. Jadi dengan adanya Zia, tidak ada seorangpun di antara mereka yang akan berusaha menarik perhatian Risman. Karena Risman pastinya akan memberikan seluruh perhatiannya kepada Zia. Zia juga pasti tidak akan memberi kesempatan Risman untuk memperhatikan orang lain selain dirinya. Hal yang bagus menurut Shana, agar tidak terlalu tampak persaingan diantara Ara dan Kia. Shana merasa kasihan pada Kia, pasti Kia minder di hadapan Ara. Pasti Kia merasa dirinya berada jauh di bawah Ara dalam segala hal.
Risman memarkir mobil di depan warung bakso. Mereka semua keluar dari dalam mobil dan masuk ke dalam warung bakso.
"Zia seperti biasa ya, Sayang?" tanya Risman yang sudah sangat hapal kebiasaan Zia dalam makan bakso.
"Iya, Paman, pentolnya saja," jawab Zia.
"Ara?" Risman menatap Ara.
"Komplit!"
"Kia?" Risman beralih menatap Kia.
"Komplit!"
"Shana?" Tatapan Risman ke arah Shana.
"Komplit, plus cinta Paman Risman," jawab Shana yang diiringi dengan tawa. Padahal itu isi hati Shana.
"Huuu!" Ara dan Zia berseru,
Risman tersenyum, perasaannya berdebar bahagia. Padahal Shana sudah sering berkata seperti itu dengan nada bercanda seperti saat ini. Risman tahu, Shana hanya menggoda saja.
Mereka duduk, Risman paling ujung, lalu Zia, kemudian Kia. Di seberang mereka masih dalam satu meja, duduk Ara dan Shana. Mereka berdua memilih duduk di situ agar bisa puas menatap pria yang mereka puja.
"Waduh, Risman. Mau poligami, Mam!?" Goda seorang pria warga kampung mereka yang masuk ke warung bakso dengan istrinya.
"Ya, kalau mereka mau, Bang." Risman menjawab seraya tertawa.
"Maunya Paman begitu. Hiiy!" Ara bergidik.
"Poligigi itukan buat periksa gigi, Paman."
"Poligami!" Serentak Ara dan Shana berseru.
"Origami itu kertas buat bikin burung."
"Poli-gami, Zia," ujar Ara.
"Oh. Itu artinya apa?"
"Banyak istri."
"Berapa banyak?"
"Maksimal empat." Shana yang menjawab.
"Oh boleh ya. Jadi Abba boleh punya amma empat?"
"Boleh." Shana menganggukkan kepala.
"Oh. Nanti Zia bilang ke Abba deh. Kata Kak Sha, Abba boleh punya Amma empat."
"Jangan dong! Nanti Kak Sha dimarahi Amma Zia."
"Kok marah? Katanya boleh."
"Aduh anak kecil kepo, mana susah mengerti dijelasin juga."
"Makanya. Bicara dengan Zia itu harus disaring." Risman mengingatkan Shana.
"Disaring itukan untuk cairan tepung biar tidak apa ya. Ya sepetri Acil Rima buat kue."
"Zia kapan sih tidak kepeleset kata lagi?" Tanya Ara.
"Enggak tahu. Zia juga nggak mau keselepet terus, Acil Ara."
"Ayo makan jangan bicara terus." Risman membantu Zia menambahkan saos dan kecap di baksonya.
"Jangan bilang Paman jatuh cinta ke Zia ya." Ara melotot ke arah Risman.
"Ya Tuhan, dia masih kecil, Ara!"
"Ya siapa tahu Paman tidak mau cepat nikah karena menunggu Zia besar."
"Kamu ini sembarangan kalau bicara."
"Iya nih, Acil Ara. Cerumbu ya?"
"Sudah. Ayo makan."
Kia hanya diam mendengarkan setiap pembicaraan. Kia tidak berani ikut bicara, karena merasa posisinya tidak sederajat dengan mereka. Shana dan Ara sesekali menatap Risman yang telaten menanggapi celotehan Zia.
Shana menatap Risman, Kia, lalu Ara.
'Kenapa aku harus ada dalam pusaran cinta persegi ini. Harusnya aku menghindari ini. Harusnya aku memupusnya lebih awal, bukan mencoba memupuknya sehingga tumbuh subur dan berbunga. Hanya sampai berbunga, tak akan pernah menjadi buah, karena pria yang aku cintai, cintanya entah untuk siapa. Ikhlas, Shana, ikhlas.'
Shana menghela nafas.
"Kenapa, Kak Sha?" Tanya Ara karena mendengar helaan nafas Shana.
"Hah!" Shana menoleh pada Ara. Lalu menatap yang lain. Risman, Zia, dan Kia juga tengah menatapnya. Shana menatap Risman lagi. Ara dan Kia mengikuti arah tatapan Shana.
"Ada apa, Kak Sha?" Ara mengulangi pertanyaannya. Shana buru-buru mengalihkan tatapan pada Ara.
"Tidak apa-apa." Shana tersenyum.
Mereka melanjutkan makan. Hanya Zia dan Risman yang bicara. Tiga gadis diam dengan pikiran mereka masing-masing.
Setelah makan bakso mereka tidak langsung pulang, tapi mampir dulu ke gerobak jagung bakar dan ayam pok. Zia membawakan untuk Wira, Rama, dan Risma. Risman mengantar Zia pulang, sebelum menuju rumah nenek.
"Terima kasih, Paman. Sudah ditraktir. Terima kasih, Kak Ara, Kak Sha. Aku ke dalam." Kia pamit masuk ke rumah.
"Iya."
"Acil Ara nginap?" Tanya Shama pada sepupu Amma nya itu.
"Tidak. Aku pulang saja. Terima kasih ya, Paman. Jangan kapok traktir kita."
"Iya."
"Aku mau pamit Kai dan nini dulu." Ara masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Risman dan Shana berdua saja di teras samping.
"Terima kasih atas traktirannya, Paman."
"Sama-sama, Sha."
Ara ke luar.
"Aku pulang ya. Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
Shana dan Risman menatap Ara yang pergi dengan mobilnya.
"Ara cantik, Paman yakin menolak cintanya?" Shana memancing isi hati Risman. Risman menoleh ke arah Shana.
"Aku belum ingin menikah sekarang. Jangan tanya kenapa. Aku sudah sering mengatakan alasannya."
"Apa itu alasan sebenarnya?"
"Kenapa kamu berpikir itu bukan alasan yang sebenarnya?"
"Mungkin Paman tidak ingin menyakiti salah satu dari gadis yang menyukai Paman."
"Tidak juga. Alasanku ya seperti yang selalu aku katakan."
"Atau ...."
"Atau apa?"
"Atau Paman memang menunggu Zia besar dan siap untuk Paman nikahi."
"Jangan aneh-aneh, Sha. Nanti terdengar orang lain dikira aku pedofilia."
"Eh, benar juga."
Shana tertawa diikuti Risman. Mereka tidak tahu hati seorang gadis terluka mendengar tawa mereka berdua. Kia, saat Risman dan Shana tertawa, Kia harus menghapus air mata. Setelah melihat tatapan Shana pada Risman di warung bakso tadi, Kia merasa kalau Shana juga ada hati pada Risman.
*