Shana ke luar dari kamar membawa mukena dan sajadah. Kedua orangtuanya melangkah lebih dulu ke luar rumah, Shana mengikuti di belakang. Dari rumah Nini keluar Kai, Aay dan Risman yang akan pergi ke musholla juga. Istri Aay tidak ke musholla, salat di rumah saja dengan Nini. Shana dan Risman sempat bertukar pandang sesaat. Risman berjalan di samping Abba Shana. Aay dengan Kai. Shana dan Amma nya paling belakang.
Ke luar dari pekarangan mereka bertemu El sekeluarga. El, Elia, Wira, dan Zia.
"Hanya berempat, Abba, Amma, dan Raka mana?" Tanya Kai pada El.
"Raka di rumah orang tua Rima. Abba sedang tidak enak badan. Jadi Abba dan Amma salat di rumah saja." El menjawab pertanyaan Kai.
"Oh. Semoga abba mu cepat sembuh." Kai mendoakan menantunya.
"Aamiin, terima kasih, Kai."
Shana pindah berjalan di belakang bersama Zia. Elia di samping Zizi. Wira bersama Abba nya.
"Hay, gemoy!" Shana menyapa Zia.
"Hay, Kak Sha." Zia melambaikan telapak tangan pada Shana.
Mereka berjalan beriringan menuju musholla. Shana menatap Risman yang berjalan di depan. Shana merasa Risman sangat ganteng kalau pakai baju Koko, sarung, dan peci. Auranya berbeda.
"Aduh!" Shana tersandung batu karena terlalu asik menikmati sosok pujaan hati yang berjalan di depannya.
"Hati-hati, Sha." Zizi menegur putrinya.
"Kak Sha tidak lihat jalan, Acil. Kak Sha asik lihat Paman Risman. Hayo, Kak Sha suka Paman Risman juga ya seperti Acil Ara dan Acil Kia." Zia menudingkan telunjuk ke arah Shana.
"Zia, jangan sok tahu deh. Nanti dikira benar Kak Sha suka Paman Risman. Tidak enak sama Acil Ara." Shana tak menyangka kalau Zia akan bicara seperti itu. Shana merasa berdebar takut perasannya pada Risman ketahuan orang lain.
"Memang kepana lakau benar? Paman Risman bukan Paman kita beneran, jadi kita boleh suka sama Paman Risman. Paman Risman belum punya istri. Lakau sudah punya istri kan boleh poli gigi!"
"Poligami." Shana meralat ucapan Zia.
Semua tertawa setelah tahu poli gigi yang dimaksud Zia adalah poligami.
"Anakmu, Bang, sudah tahu poligami segala," gerutu Zizi.
"Ya tahu. Lah gaulnya sama Shana dan Ara. Darimana lagi Zia dapat kata-kata begitu kalau bukan dari Shana dan Ara," sahut El. Zizi tertawa.
"Bingung juga Zia mau gaul sama siapa. Cuma Fani yang seumuran, lah Fani juga gaul dengan Shana dan Ara," ucap Zizi.
"Nanti dewasa sebelum waktunya," gumam Aay.
"Tidak apa. Shana dan Ara pasti tidak akan memberi contoh buruk pada Zia dan Fani," kata Kai.
"Risman bagaimana, sudah ada pilihan gadis mana yang ingin diberi mahar?" Tanya Al, Abba Zizi yang berjalan di samping Risman.
"Belum ingin menikah sekarang, Paman."
"Risman ingin menunggu adik-adiknya sarjana dan menikah dulu." Amma Shana menjelaskan pada Abba Shana.
"Aduh, kelamaan itu, Man."
"Tidak apa, Bang."
"Ya, memang tidak apa-apa. Jodoh tidak akan ke mana ya, Man. Kalau jodoh Risman Shana aku ikhlas." Al tertawa pelan. Tentu Abba Shana hanya menggoda Risman, karena Abba Shana juga tahu Ara menyukai Risman.
Jantung Shana serasa berhenti berdetak mendengar ucapan Abba nya.
"Ih, Paman. Paman Risman itu sudah di keep Acil Ara!" Zia protes.
"Oh begitu ya. Ya sudah. Paman doakan Paman Risman berjodoh dengan Acil Ara."
"Aamiin."
Hanya Risman yang tidak mengaminkan. Shana ikut mengaminkan dengan hati nelangsa.
'Ikhlas, Sha. Ikhlas. Agar tenang hidupmu, tidak gelisah lagi.'
Shana menghela nafas untuk mengusir sesak di dadanya yang datang dengan tiba-tiba.
"Kenapa, Sha?" Tanya Amma nya.
"Tidak apa-apa, Amma. Cuma agak pegal jalan. Mungkin karena makan bakso tadi, kolestrol dan tekanan darah naik." Shana memberikan alasan. Tentu saja Shana berbohong.
"Ke rumah sakit besok. Periksa, jangan dibiarkan! Amma temani besok ke rumah sakit."
"Tidak usah, Amma. Sha pergi sendiri saja."
"Ya sudah. Tapi benar ke rumah sakit ya."
"Iya."
Shana merasa bersalah karena sudah berbohong pada amma nya.
'Maafkan Sha, Amma. Ampuni aku ya Allah, karena terpaksa berbohong. Aku tidak ingin satu orangpun tahu isi hatiku pada Paman Risman. Aku tidak ingin menyakiti Acil Ara.'
Mereka tiba di musholla dan salat Maghrib di sana. Setelah Maghrib mereka pulang ke rumah masing-masing.
*
Setelah salat isya, Risman masuk ke kamarnya. Risman melepas peci, sarung, dan baju Koko, kemudian duduk di tepi tempat tidur. Risman teringat kejadian saat berangkat salat Maghrib tadi. Ia sempat bertemu pandang dengan Shana, itu menghadirkan debaran di dalam hatinya. Apa lagi saat mendengar ucapan Zia, kalau Shana terantuk batu kakinya karena terus menatapnya. Risman merasa melambung, tapi ucapan Zia juga yang menyadarkannya. Ada banyak hati yang harus ia jaga.
Terkadang muncul keinginan untuk bersikap egois dengan mengungkapkan perasaan cinta pada Shana, apalagi Risman mulai merasakan kalau Shana juga ada rasa padanya. Namun keinginan itu selalu mental saat teringat wajah Kia yang sendu, dan wajah Ara yang terang-terangan menyukainya. Risman bukan hanya harus menjaga hati para gadis, tapi juga perasaan keluarga Ramadhan. Biarlah perasaan cintanya dikorbankan untuk menjaga agar jangan ada rasa sakit hati jika ia memilih salah satu.
Saat ini, kisah cinta yang rumit ini membuat hatinya sedih. Tapi kalau bertemu Zia hilang seketika rasa sedihnya. Tingkah dan ucapan Zia selalu bisa menjadi pelipur lara baginya.
'Dia selalu bisa membuatku tertawa lepas. Semoga begitu selamanya ya, Sayang. Jadi pelipur lara Paman.'
"Ay pol yu, poreper, alwais, until Jannah, Zia sayang." Risman tersenyum mendengar ucapannya sendiri yang menirukan ucapan Zia.
Di rumah Ara.
Ara belum bisa tidur. Tatapan Shana pada Risman dan helaan nafas Shana mengganggu pikirannya. Ara butuh jawaban dan kepastian dari apa yang ia pikirkan dan rasakan tentang perasaan Shana pada Risman.
'Bagaimana cara aku mengetahui perasaan Kak Sha tanpa harus bertanya. Kalau bertanya Kak Sha pasti mengelak. Ya Allah. Aku tidak ingin menyakiti hati Kak Sha. Bagaimana dengan Kia? Aku berani tetap maju meski tahu Kia menyukai Paman Risman, karena aku lihat Paman Risman sikapnya biasa saja dengan Kia. Sikap Paman Risman ke aku dan Kak Sha juga biasa saja, tapi aku tidak ingin bersaing dengan Kak Sha. Aduh bagaimana ini? Aku belum dapat jalan ke luar. Apa aku pancing-pancing saja ya. Untuk itu aku harus menyiapkan hati dulu. Bagaimanapun aku suka Paman Risman, bohong kalau aku tidak sakit hati. Kalau benar Kak Sha menyukai Kak Sha, aku harus belajar ikhlas.'
Membayangkan tak bisa memiliki Risman, membuat air mata Ara menetes.
"Cinta pertama kok bikin sakit hati sih!" Ara menutup wajah dengan bantal untuk meredam suara tangisnya.
*