Hari minggu pagi.
Risman baru selesai mencuci mobil. Rumah sepi sekali. Aay dan Rara ke rumah Afi, setelah Rara selesai memasak untuk sarapan, karena si kembar demam. Shana dan kedua orang tuanya, serta Kai dan nini nya sejak Jumat sore pergi ke Jakarta. Menghadiri acara kumpul keluarga Adams setiap tanggal tiga. Kalau tanggal tiga jatuh pada hari libur, atau weekend mereka selalu menghadirinya. Ara tidak datang ke rumah Nini, karena tidak ada Shana. Ardan dan Rahmi ke rumah mertua Rahma.
Risman menyapu halaman. Sambil terus memasang telinga kalau-kalau Kai memanggil dari kamarnya. Kai dan Nini muncul di pintu teras. Mereka duduk di kursi teras.
"Kai dan Nini mau minum, atau ingin dibuatkan sesuatu?" Tanya Risman.
"Air mineral saja dua botol, Man. Sekalian bawakan gelasnya."
"Iya, Kai."
Risman masuk ke dapur. Ia mencuci tangan kemudian mengambil dua botol tanggung air mineral dan dua gelas kosong. Semua ia letakkan di atas nampan, lalu dibawa ke teras samping.
Risman meletakkan semua di atas meja. Kemudian membantu membuka tutup botol.
"Buka satu saja dulu, Man."
"Iya, Kai."
Risman meneruskan pekerjaannya. Menyapu halaman di pagi hari tanah masih basah bekas embun sehingga tak perlu disiram agar tak berdebu.
"Sepi sekali ya, Kak Razzi."
"Iya. Si gemoy penghibur hati kita ke sini tidak ya," gumam Kai. Nini tertawa. Kai jarang menyebut seseorang tidak dengan nama sebenarnya. Hanya Zia yang disebut Kai dengan nama selain namanya.
"Ketularan Shana, Ara, Afi, dan Rahma. Menyebut Zia si gemoy."
Kai ikut tertawa bersama Nini. Risman merasa bahagia mendengar tawa kedua orang tua itu.
'Ah, Putri Zia, mengingat kamu saja bisa tertawa, apalagi kalau ada kamu di sini.'
"Assalamualaikum!"
"Wa'alaikum salam!"
"Panjang umur dia." Risman bergumam sendirian saat Zia datang bersama Wira, empat pacarnya, dan tiga teman Wira. Sembilan anak itu meletakkan sepeda mereka, lalu berjalan ke teras. Mereka mencium punggung tangan kai, Nini, dan Risman.
"Kalian mau ke mana?" Tanya Nini.
"Mau ke nisi. Kata Abba. Kai dan Nini hanya berdua di rumah, jadi harus kami temani. Eh, tenyatra bertiga sama Peng peng Zia."
"Kalian sudah sarapan?" Tanya Kai.
"Sudah, Kai."
"Abba dan Amma Zia mana, Sayang?"
"Amma sakit perut. Katanya datang bulan. Jadi Abba menemani amma di rumah."
"Oh."
"Man, pergi ke mini market. Belikan anak-anak s**u dan cemilan."
"Iya, Kai."
"Zia, ambilkan dompet Nini di kamar, Sayang," ujar Nini.
"Iya, Nini."
Zia masuk ke dalam, lalu kembali dengan dompet Nini di tangannya.
"Ini, Nini."
Nini mengambil lima ratus ribu di dalam dompet lalu menyerahkan uang pada Kai. Kai menyerahkan uang pada Risman.
"Zia ikut!"
"Pakai mobil yang di garasi saja, Man."
"Iya, Kai."
Risman masuk ke dalam rumah mengambil kunci mobil. Mobil yang baru dicuci tidak dipakai dulu.
"Bang Wira jaga Nini dan Kai dulu ya. Paman belikan kalian s**u dan cemilan."
"Iya, Paman."
Risman pergi bersama Zia.
"Bang, Abang tahu tempat terpal dan karpet yang biasa dipakai untuk duduk di sini?" Tanya Kai pada Wira.
"Tahu, Kai."
"Abang dan teman-teman ambil, lalu gelar di depan teras."
"Iya, Kai."
Anak-anak itu mengikuti langkah Wira untuk mengambil terpal dan karpet. Setelah terpal dan karpet digelar.
"Sekarang ambil air mineral gelas satu dus dan toples berisi keripik di dalam."
"Iya, Kai."
Wira dan teman-temannya kembali masuk ke dalam rumah.
"Makan keripik dan minum air mineral dulu sambil menunggu Paman Risman dan Zia."
"Iya, Kai. Terima kasih."
Sambil makan keripik anak-anak itu ramai sekali sambung ayat. Kai senang sekali mendengarnya. Jaman sekarang kebanyakan anak-anak lebih suka main ponsel di kamar daripada berteman seperti ini.
Risman dan Zia tiba di mini market. Risman mengambil dua keranjang sekaligus.
"Zia mau susunya yang mana?" Tanya Risman.
"Yang ini, Paman." Zia mengambil satu s**u dengan kotak warna hijau.
"Semua yang itu?"
"Iya."
Risman mengambil 5 pak s**u.
"Cemilannya yang mana."
"Sebentar, Zia pilih dulu."
Risman hanya mengikuti saja, membiarkan Zia mengambil Snack yang diinginkan.
"Bang Risman!"
Risman dan Zia serentak menoleh ke arah asal suara.
"Oh, Nining!"
"Borong nih! Ini siapa?"
"Hay. Aku Zia." Zia mengulurkan tangan disambut gadis yang dipanggil Ning oleh Risman dengan senyum di bibirnya.
"Hay, aku Ning. Adik tingkat Bang Risman di kampus."
"Oh." Zia manggut-manggut, lalu kembali memilih Snack.
"Dia siapa?" Ning bertanya penasaran.
"Cicitnya bos ku."
"Oh. Cantik sekali."
"Kamu kok di sini?"
"Mau ke Banjarbaru, lupa bawa cemilan buat keponakan jadi mampir di sini."
"Oh."
"Paman ayo, jangan pacaran! Zia laporkan Kai nih!"
"Iya, Sayang. Sebentar."
"Sayang? Dih, Bang Risman seperti dengan pacar saja!"
Risman tertawa.
"Dia cicit bos yang paling aku sayang."
"Paman!"
"Iya, Sayang. Aku duluan ya."
"Iya."
Risman kembali mengikuti Zia. Satu keranjang sudah diletakkan di atas meja kasir. Satu lagi masih Risman pegang karena Zia belum selesai belanja.
"Mau ice cream!" Zia menunjuk tempat ice cream dengan wajah memelas.
"Tidak boleh, Zia." Risman menggeleng tegas.
"Umm, ya sudah, Zia ke mobil duluan."
"Ini sudah selesai belanjanya?"
"Iya."
Zia ke luar mini market. Risman membayar belanjaan di kasir.
"Pasti ngambek gara-gara ice cream." Kasir mart menebak, karena sudah biasa hal itu terjadi setiap Risman belanja dengan Zia.
"Sampai hapal ya, Mbak."
"Kok tidak boleh makan ice cream, Mas?"
"Kalau makan es, batuk pilek. Jadi es jenis apapun terlarang buat dia."
"Kasihan sekali."
"Mencegah lebih baik dari mengobati, Mbak."
"Benar juga."
"Berapa, Mbak?"
"Tiga ratus tujuh puluh tujuh ribu seratus empat puluh lima rupiah."
Risman membayar semua belanjaannya. Setelah mendapat kembalian, Risman membawa ke luar empat goodie bag berisi s**u dan Snack dibantu salah seorang karyawan mini market.
Risman masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang setir. Tatapan Zia ke depan, wajahnya cemberut.
"Orang suka cemberut cepat tua," ujar Risman.
"Biarin cepat tua, biar cepat nikah!"
"Eh, kenapa ngomongnya begitu. Anak kecil tidak boleh ngomong begitu, Zia."
"Zia kesal ya, Paman genit. Paman itu sudah di keep Acil Ara. Kepana masih genit ke Acil-acil lain!?"
"Paman tidak genit. Itu tadi hanya bicara biasa."
"Biraca biasa, tapi Acil itu liatin muka Paman retus. Padahal Paman tidak seganteng Kokok dan Mimin. Tapi kepana banyak cewek yang suka Paman?"
Sampai sekarang Zia tetap menyebut Jun Kok itu Kokok, dan Ji Min itu Mimin.
"Mana Paman tahu, Zia."
"Ya sudah. Nanti Zia tanya Acil Ara dan Acil Kia. Ehm, Kak Sha ditanya tidak ya?"
Mendengar nama Shana disebut, perasaan Risman jadi berdebar. Ada rindu yang ia rasakan.
"Paman awas!"
Risman terkejut, ia menginjak rem secepatnya.
*