PART. 8 MELAMUN

1006 Kata
Mobil berhenti sebelum menabrak bebek yang menyeberang bersama empat anaknya. "Huh, Paman! Hampir saja. Kalau bebeknya ketabrak bagainama?" Mata Zia melotot ke arah Risman. "Maaf, Zia." Risman jadi salah tingkah. Semua karena rindu pada Shana. "Paman memulan Acil tadi ya?" Zia menatap curiga pada Risman. "Tidak. Paman melamunkan Ka ...." "Kai?" Tebak Zia. "Iya." Kepala Risman mengangguk, hampir saja ia keceplosan. "Apa sih Kai dimulankan. Aneh deh Paman." "Iya, maaf ya." Risman menjalankan lagi mobil menuju pulang. "Zia laporkan Kai nanti lakau Paman ceboroh!" "Iya, Paman salah, maaf ya." "Huh!" Wajah Zia masih cemberut. Risman menghela nafas. 'Ini gara-gara aku ingat kamu, Sha. Aku baru tahu begini rasanya rindu. Mau telepon tidak mungkin, aku malu. Sabar, Risman. Sore ini dia pasti pulang. Aduh, ada apa lagi dengan hatiku. Aku sudah berjanji untuk menghapus rasa cintaku. Kenapa sekarang berharap lagi. Jadi pria jangan plin plan, Risman. Kalau ingin maju ya maju. Kalau mau mundur konsisten. Cinta pertama yang sungguh menyakitkan.' "Paman!" "Eh maaf!" Ban mobil masuk lubang di jalan. "p****t Zia sakit tahu! Zia tidak mau lagi naik mobil ikut Paman! Paman memalun terus nih!" Zia berseru kesal. "Maaf, maaf." "Maaf retus! Paman kepana sih!?" "Jangan marah-marah terus dong, Sayang." "Zia keselek, eh kesal. Tahu gini Zia nggak ikut." "Zia kok marah-marah terus sih!" "Ya marah, Paman salah. Bikin Zia keselek!" Risman menoleh untuk menatap Zia. Kalau sedang marah bukan hilang gemoy nya, tapi tambah menggemaskan. Mereka tiba di rumah. Zia ke luar mobil dengan membanting pintu. Zia meninggalkan Risman tanpa mau membawakan belanjaan. "Bang, bantu Paman!" Risman memanggil Wira. Wira dan teman-temannya mendekat. "Zia kenapa?" Tanya Nini sambil menunjuk Zia yang masuk ke dalam rumah. "Dari tadi dia marah-marah saja, Nini." "Amma!" Tiba-tiba terdengar teriakan dari dalam. Risman, Wira, dan yang lain berlari ke arah suara Zia. Zia menangis di pojok kamar mandi. "Zia kenapa?" Risman memegang bahu Zia. Risman sangat khawatir melihat Zia menangis "Jangan pegang-pegang!" Zia menepis tangan Risman. "Ada apa?" Nini bertanya bingung. "Panggilkan Amma, Nini. Zia cuma mau bicara sama Amma." Zia menghapus air matanya. "Telepon Eli, Man." "Iya, Nini." "Yang lain ke luar ya. Dimakan cemilannya dan diminum susunya. Ayo, Bang. Ajak teman-temannya duduk lagi." "Iya, Kai." Risman menelepon Elia. Nini mendekati Zia. "Ada apa, Sayang?" Tanya Nini uang penasaran kenapa Zia berteriak lalu menangis. Zia melihat Risman di luar kamar mandi lalu berbisik pada Nini. "Zia datang bulan." "Hah! Zia sudah paham datang bulan?" Nini sangat terkejut. "Tahu, Nini. Acil Fani sudah datang bulan juga waktu masih SD. Acil Fani cetira, jadi Zia tahu. Tapi Zia takut." Air mata Zia kembali berjatuhan. "Zia tunggu Amma di sini ya." "Heum." Nini ke luar kamar mandi. "Sudah ditelepon, Man?" "Sudah, Nini. Bang El dan Kak Eli langsung ke sini. Dia kenapa, Nini?" Risman masih merasa cemas karena Zia masih di dalam kamar mandi. "Datang bulan." Nini bicara dengan suara berbisik. "Hah!" Risman melongo. Risman melongok ke dalam kamar mandi. Zia masih berdiri di pojok kamar mandi. Sementara Nini membuka lemari, mencari celana Zia dan mencari persediaan pembalut. Risman masih menatap Zia yang berdiri gelisah. 'Gadis kecilku sudah remaja sekarang. Pantas saja sensitif sekali. Marah-marah terus. Apa kamu tidak terlalu cepat besar, Zia ....' "Nenek, mana Zia?" Elia dan El datang. "Di kamar mandi. Dia datang bulan." "Hah!" El dan Elia sama terkejutnya. Elia cepat masuk ke kamar mandi. "Amma!" "Tidak apa-apa, Sayang. Itu tandanya Zia sudah besar." "Betari Zia sudah lobeh nikah, Amma?" "Belum, Sayang. Umur Zia baru sepuluh tahun. Nikah itu paling sedikit umur sembilan belas tahun." "Yah masih lama ya." "Memangnya Zia ingin cepat nikah?" "Biar Amma cepat punya cucu." Zia terkekeh pelan. "Ish. Masih kecil, sekolah dulu yang benar!" "Iya." "Eli, suruh ganti celana dulu!" Nini menyerahkan celana dalam yang sudah diberi pembalut. "Ganti celana dalam Zia. Sekarang celana dalam cuci sendiri. Tidak boleh lagi minta cucikan orang lain." "Kenapa, Amma?" "Gadis yang sudah datang bulan harus cuci sendiri celana dalamnya. Nanti Amma ajari caranya. Cucunya tidak boleh sembarangan." "Iya deh." Di ruang tengah. Duduk Kai, El, dan Risman. "Aku kok deg-degan ya, Kai. Zia datang bulan." "Itu wajar, El. Artinya kamu merasa cemas. Putrimu bukan anak-anak lagi. Dia sudah remaja. Tapi kita harus percaya, Zia pasti bisa menjaga diri dengan baik." "Aamiin." * Sampai sore hari Shana dan orangtuanya belum pulang. Risman mulai gelisah. Ingin menelepon Shana tidak berani. Lagipula kalau menelepon apa alasan yang harus disampaikan. Tidak mungkin berkata jujur kalau sedang rindu. Risman ke luar dari dapur, membawa cemilan untuk Kai dan Nini. Dulinat dan teh hangat tawar. Dulinat adalah singkong yang diparut, diberi isian gula merah kemudian digoreng. "Man, coba telepon Shana. Kenapa belum pulang. Apa tidak jadi pulang hari ini," ujar Nini. "Hah!" Risman melongo, tidak percaya Nini meminta ia menelepon Shana saat rindu membuatnya merana. "Kok hah. Telepon Shana. Eh video call saja sekalian." "Iya, Nini. Maaf." Tangan Risman gemetar saat mencoba menghubungi Shana. "Tanganmu kenapa gemetar begitu, Man?" Tanya Nini. "Tidak apa-apa, Nini." "Kamu ini seperti gugup mau kencan pertama saja!" "Maaf, Nini." Wajah Risman merah padam. Jantungnya berdetak lebih cepat. Perasaannya berdebar tak menentu. "Assalamualaikum, Paman." "Wa'alaikum salam. Nini mau bicara." "Ish. Aku pikir Paman yang kangen aku!" Wajah Shana cemberut. "Iya. Eh, anu. Maksudku Nini yang kangen. Ini Shana, Ni." Risman menyerahkan ponsel hadiah ulang tahunnya tahun lalu dari El dan Elia kepada Nini. Ponsel sudah diserahkan, tapi Risman masih merasa melihat wajah Shana di depannya. Risman mendengarkan obrolan Shana dengan Kai dan Nini. "Tidak jadi pulang hari ini, Sha?" "Tidak jadi, Nini. Sepupu Abba mengajak ke rumahnya di Bali. Jadi kami tiga hari nanti di Bali." "Ya sudah. Selamat berlibur. Titip salam buat orang tuamu dan semua keluarga di sana ya." "Iya, Nini. Sha titip salam juga buat semuanya, terutama si gemoy. Aduh kangen sama Zia. Ya sudah, Nini. Sha mau video call Zia. Assalamualaikum." "Wa'alaikum salam." 'Hhh, dia kangennya cuma sama Zia, bukan sama aku.' "Risman, kamu melamun!" "Eh, iya, Nini." Risman terkejut sekali. "Ini ponsel kamu!" "Iya, Nini." "Kamu melamun apa, Man?" "Tidak ada, Kai." Kepala Risman menggeleng. Merasa malu kepergok Kai dan Nini sedang melamun. *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN