Risman sejak pagi di kebun. Masih sibuk menebang pohon-pohon tua. Kai juga sudah meminta beberapa orang untuk membongkar akar pohon yang sudah ditebang Risman. Pohon pengganti yang dipesan sudah datang. Siap menggantikan pohon-pohon tua yang disingkirkan. Ini hari ketiga Zia di rumah sakit, Risman merasa sangat kesepian, tak ada yang bisa membuatnya tertawa.
Risman membuat es sirup, merebus kacang tanah, dan membuat pisang goreng serta singkong goreng untuk empat orang yang membantunya membongkar akar pohon. Saat lelah mereka duduk, minum, dan mengobrol sejenak.
Sebelum waktu Dzuhur, orang-orang itu pulang untuk mandi, salat dzuhur, dan makan siang. Sementara Risman mandi dan salat Dzuhur di pondok kebun. Kia datang membawakan makan siang seperti biasa. Tapi kali ini Kia tidak langsung pulang, tapi duduk di gazebo menemani Risman makan dan Kia sendiri makan kacang rebus, pisang goreng, dan singkong goreng.
"Bagaimana kuliahmu, Kia?"
"Alhamdulillah lancar, Paman."
"Syukurlah."
Hening di antara mereka. Kia pendiam, Risman tidak pandai membangun komunikasi, walaupun Risman bisa bicara banyak kalau dapat lawan bicara yang juga banyak bicara.
'Apa begini kalau menikah dengan orang pendiam. Apa yang dibicarakan dalam rumah tangga dua orang pendiam. Kai Razzi tidak banyak bicara, tapi Nini Rara suka bicara. Paman Aay tidak banyak bicara, tapi Acil Rara orangnya humoris. Acil Lala pendiam, tapi Paman Aan banyak bicara. Saling melengkapi. Kalau aku menikah dengan Kia bagaimana. Sama-sama tidak pintar bicara. Beda kalau aku nikah dengan Ara, atau Shana. Ya Tuhan, Risman. Kenapa pikiranmu ke sana. Apa kamu ingin menikahi ketiga gadis itu? Tentu saja tidak. Aku tidak akan menikahi satupun dari mereka. Biar hatiku saja yang terluka, jangan sampai aku melukai hati mereka.'
"Pantas saja Paman suka di sini. Tenang dan damai," gumam Kia.
"Iya."
"Kenapa Paman mau bekerja kasar seperti ini? Dengan ijasah sarjana yang Paman miliki, Paman bisa mencari pekerjaan yang lebih baik. Duduk di balik meja, memakai kemeja." Kia menatap Risman.
"Aku tidak tahu kamu orang keberapa yang mengajukan pertanyaan itu. Tapi jawabanku tetap saja, walau ada satu juta orang yang bertanya. Aku mencintai pekerjaanku. Aku mencuntai tempat ini. Aku mencintai rumah Kai. Aku mencintai Nini dan Kai. Aku mencintai keluarga Ramadhan."
Kia menatap bola mata Risman.
"Mencintai keluarga Ramadhan?"
"Ya. Mereka memperhatikan dan menyayangi aku seperti aku adalah bagian penting dari keluarga mereka. Itulah kenapa aku mencintai mereka semua."
"Kenapa Paman tidak menerima cinta Ara?"
Risman cukup terkejut dengan pertanyaan Kia. Risman tak menyangka, Kia berani mengajukan pertanyaan itu.
"Aku belum ingin menikah sekarang, Kia. Aku sudah sering mengatakan hal itu. Aku tidak mungkin meminta Ara menunggu aku sepuluh, atau dua belas tahun lagi. Itu hal konyol."
"Itu artinya sebenarnya Paman menyukai Ara, hanya saja Paman terikat oleh janji."
"Aku menyukai kalian semua. Para gadis yang aku kenal dekat dalam hidupku. Kamu, Ara, dan Shana ....."
Khusus nama terakhir, membuat hati Risman berdebar saat menyebut nama itu. Ada rindu yang harus dipendam.
Kia menghela nafas.
"Dalam hidup. Tak selamanya apa yang kita harapkan bisa Kita dapatkan, Kia."
Helaan nafas Kia bagi Risman terdengar seperti ungkapan rasa kecewa.
"Aku tahu itu, Paman."
Kepala Kia menunduk dalam.
"Paman pasti tahu perasaanku. Tapi aku juga mengerti, cinta bukan sesuatu yang bisa dipaksakan." Suara Kia bergetar, merasa malu karena sudah mengungkapkan perasaannya, tapi itu sedikit mengurai rasa sesak di dalam dadanya.
"Aku memahami. Saling cinta saja belum tentu bisa saling memiliki, apalagi cinta yang bertepuk sebelah tangan." Kia mengusap air mata di pipinya. Risman jadi merasa bersalah. Tapi Risman tak ingin bersandiwara pura-pura mencintai Kia demi rasa kasihan. Lebih baik Kia belajar menerima kenyataan.
"Kamu pasti menemukan, seseorang yang bisa mencintai dan akan kamu cintai, Kia."
Kia mengusap pipinya lagi.
"Terima kasih, Paman. Cinta bertepuk sebelah tangan memang menyakitkan, tapi aku baik-baik saja. Tak bisa memiliki cinta pria yang aku cintai tak membuat hidupku berhenti."
Kia menatap Risman. Risman tak menyangka Kia bisa bicara terus terang seperti ini. Kia tersenyum.
"Paman pasti bingung, kenapa aku banyak bicara hari ini. Aku harus bicara, agar resah hatiku bisa sirna. Memendam sendiri itu menyakitkan, Paman. Karena itu aku ungkapkan agar sedikit lega perasaan."
Kia mengusap lagi pipinya yang basah oleh airmata.
Risman melihat kepasrahan dalam diri Kia. Kia ternyata lebih berani dari dirinya dalam mengungkapkan perasaan. Sementara dirinya tak berani mengungkap isi hati pada Shana.
'Bukan karena aku tidak berani, tapi aku harus menjaga banyak hati. Masalahku bukan sekadar ungkapan cinta, tapi apa yang akan terjadi setelah itu. Bagaimana hubungan Shana dan Ara nantinya. Sedikit banyak pasti akan ada rasa tidak enak di antara kedua gadis itu..'
"Apa kamu akan tetap tinggal di sini setelah lulus kuliah, Kia?" Risman berusaha mengalihkan percakapan.
"Iya. Aku akan mencari pekerjaan di sekitar sini saja."
"Tidak ingin mencoba tinggal di luar kampung."
"Bukan hanya Paman yang mencintai tempat ini dan menyayangi keluarga Ramadhan, tapi aku juga."
"Pria muda Ramadhan sangat banyak. Ada tujuh orang. Mungkin salah satunya akan menjadi jodohmu, Kia."
Kia tertawa pelan. Tawa yang bergetar karena hatinya tengah menangis pilu. Kia menyeka air mata di pipinya.
"Aku tidak ingin berkhayal terlalu tinggi, Paman. Aku akan jalani dan nikmati saja proses perjalanan hidupku. Biar Allah saja yang menghadirkan jodoh ke hadapanku. Terima kasih Paman sudah menemani aku bicara dan mau mendengarkan isi hatiku. Perasaanku sudah lega, meski jujur hatiku tergores dan terluka. Aku menghargai keputusan Paman." Kia bangkit dari duduknya.
Kia merapikan rantang bekas makan Risman. Rantang empat susun itu sudah dirapikan lalu dimasukkan goodie bag.
"Maafkan aku, Kia," ucap tulus Risman melihat air mata Kia yang tak berhenti menetes.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Paman. Setiap orang berhak menentukan jalan hidupnya. Begitu juga Paman. Aku hanya ingin mengungkapkan tanpa harus Paman jadikan beban pikiran. Aku pulang, Paman. Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam. Hati-hati di jalan."
Kia meninggalkan Risman sendirian. Risman menghela nafas. Kemudian mengingat apa saja tadi yang sudah ia bicarakan dengan Kia. Sungguh Risman tak menyangka, Kia bisa bicara seberani itu mengungkapkan perasaannya. Tiba-tiba Risman ingat Zia. Risman merasa butuh Zia untuk menghibur hatinya.
"Assalamualaikum, Paman, Zia kangen!"
Risman menegakkan kepala. Seketika senyum hadir menghiasi bibirnya. Melihat Zia dan Wira datang dengan dibonceng motor oleh Abba mereka.
"Wa'alaikum salam. Alhamdulillah Zia sudah sembuh."
"Paman!" Zia turun dari motor lalu berlari ke arah Risman. Zia memeluk pinggang Risman. Zia menangis dengan suara nyaring.
"Paman nakal. Kepansa tidak datang lihat Zia di rumah sakit!" Kepala mungil itu mendongak.
"Paman sudah datang dengan pacar-pacar Zia waktu itu. Zia lupa?"
"Itu cuma selaki. Paman tidak kangen. Zia ya? Zia kangen selaki sama Paman."
"Dari rumah sakit dia ngotot ingin ketemu kamu langsung, Man," ujar El.
"Jadi baru pulang ini, Bang?"
"Baru saja sampai."
"Kita duduk ya." Risman mengajak Zia duduk di tepi gazebo.
"Abba kalau mau pulang, pulang saja. Biar Abang dan Zia di sini." Wira berkata kepada Abba nya.
"Tidak apa, Man, mereka aku tinggal?"
"Tidak apa, Bang. Mereka sudah makan siang?"
"Sudah, Man. Aku tinggal ya."
"Iya, Bang."
"Wira, Zia, jangan bikin susah Paman Risman ya. Abba pulang dulu."
"Iya, Abba."
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
El menjalankan motornya meninggalkan kebun.
"Kalian ingin minum?" Tanya Risman.
"Mau es sirup." Zia menunjuk teko plastik besar yang berisi es sirup.
"Tidak boleh, Sayang." Risman berkata tegas.
"Sedikit saja, Paman." Zia merayu dengan wajah memelas.
"Tidak!"
"Paman ...." Zia merengek.
"Tidak, Zia! Kalau Zia terus memaksa, Paman telepon Abba biar jemput kalian!"
"Huh, Paman nakal!"
Zia berlari menaiki anak tangga pondok. Zia masuk ke dalam pondok yang pintunya terbuka karena tadi Risman istirahat dan salat Dzuhur di dalam pondok.
"Zia ngambek terus sejak datang bulan, Paman."
"Perempuan kalau sedang datang bulan memang begitu, Bang. Abang mau minum apa, biar Paman buatkan."
"Tidak usah, Paman. Abang mau bikin s**u coklat sendiri."
"Ya sudah. Paman mau meneruskan pekerjaan Paman ya."
"Iya."
Risman melepas kaos oblong yang ia pakai. Risman ingin meraih kapak, tapi urung karena mendengar teriakan Zia.
"Paman!"
Risman mendongak. Zia berdiri di puncak tangga pondok.
"Ada apa?"
"Pempruan ngambek itu didatangi, dilepuk, dijubuk, jangan di ... dicueki!"
Risman tersenyum ia mengerti maksud Zia dilepuk itu dipeluk. Dijubuk itu dibujuk.
"Gadis yang sudah datang bulan, tidak boleh dipeluk lelaki yang bukan suaminya, Zia. Nanti bisa hamil!"
"Hah!"
Zia berlari menuruni anak tangga. Risman menahan nafas melihatnya. Takut Zia jatuh.
"Tadi Zia peluk, Paman! Serakang Zia hamil dong!"
Zia mendongak menatap Risman. Risman tidak bicara apa-apa.
"Huaaa! Zia tidak mau hamil serakang! Zia mau selokah! Amma, Zia hamil!" Zia menangis dengan suara nyaring. Risman garuk-garuk kepala, bingung harus bagaimana dan menyesali ucapannya tadi yang menimbulkan drama Zia.
"Tidak begitu, Zia." Wira mendekati adiknya.
"Tidak begitu bagainama, Abang?'
"Kalau dipeluk langsung hamil. Adik kita pasti banyak sekali. Abba dan Amma sering pelukan. Tapi Amma tidak hamil-hamil tuh!" Wira menjelaskan. Zia mengusap air matanya.
"Eh, iya. Paman bohong nih! Di film yang ada di posnel Kak Sha, Zia lihat Paman Lele itu peluk tante siapa namanya, tantenya tidak hamil kok. Padahal belum nikah!"
"Paman juga tidak bohong, Zia. Kata Kai kalau belum nikah, dosa pegangan perempuan dengan laki-laki."
"Eh iya, Zia lupa. Zia cuma lobeh peluk Abba, Abang, Kai, dan Paman Raka ya. Eh peluk Rama juga lobeh.Tadi Zia peluk Paman karena kaaangeeeen selaki! Jadi Zia lupa, Bang. Perut jangan hamil ya." Zia mengusap perutnya. Risman tak bisa menahan tawa melihat gaya Zia mengusap perutnya.
"Ih, Paman. Zia ngambek lagi nih!" Zia melotot ke arah Risman.
"Jangan dong, Sayang. Paman juga kangen Zia. Jangan sakit lagi ya."
"Zia nggak akan sakit tapi ada rasatnya."
"Apa."
"Boleh minum es sirup."
"No!" Risman dan Wira berseru bersamaan. Zia menghela nafas.
"Iya deh. Minum s**u coklat saja."
"Ya sudah. Paman buatkan."
"Tidak usah, Paman. Biar Abang yang buat. Paman kerja saja."
"Terima kasih, Bang."
"Iya, Paman."
Risman kembali meneruskan pekerjaan dengan senyum menghiasi bibirnya. Sumber kegembiraan yang bisa mengundang tawa dan mengusir galau hatinya sudah kembali.
*